Kamar 1126, Syanthika Hotel
Qiandra kini duduk di sofa yang terdapat di dalam kamar hotel tersebut. Kepalanya menunduk, matanya mengarah pada kaki telanjangnya yang terasa dingin. Sesekali ia mencuri pandang pada wanita paruh baya yang duduk bersedekap dada dihadapannya. Qiandra menautkan kedua tangannya, kakinya terasa lemas. Sungguh, Ia merasa seperti sedang menunggu vonis hakim.
Sebelumnya wanita paruh baya itu berbicara empat mata dengan perempuan dewasa satunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa waktu yang lalu, Qiandra hanya berdua dengan pria yang terus menatapnya dingin.
"Dasar Kau, perempuan tak tau malu, Aku yakin Kau mempunyai tujuan tidak baik terhadapku. Apa Kau ini penguntit? Ppppfffttt, huuh, Aku tau Aku ini memang sangatlah tampan, tapi bagaimana bisa perempuan seperti Dirimu ini menjadi penguntit. Sejak kapan, katakan sejak kapan Kau mengikutiku?" Tanya Barra tanpa basa-basi.
Qiandra ternganga mendengar penuturan si tuan over percaya diri itu.
"What? Dia bilang Aku penguntit? Dasar Pria Over Percaya Diri ," Qiandra membatin.
"Hei, Tuan, jangan asal bicara. Kau pikir di dunia ini hanya Kau yang tampan. Aku bukan penguntit, camkan itu!" Sanggah Qiandra memberi pembelaan.
Baru saja Ia ingin melanjutkan pembicaraannya, namun kedatangan dua wanita itu membuat Ia mengurungkan niatnya. Ya, kini mereka berempat berada di dalam satu ruangan.
“Ekhemmmm."
Suara deheman mama Renata menyentakkan lamunan Qiandra, membuat adrenalinnya berpacu cepat. Ia sempat terlonjak lalu mengangkat kepalanya seketika, tanpa sadar matanya mulai nanar. Sekuat tenaga Ia menahan agar tidak ada air mata yang terjatuh.
“Itu, aaaa.”
Qiandra tergagap, tak bisa berucap. Mulut dan pikirannya tidak sejalan kali ini. Ia ingin cepat-cepat beranjak, mengingat jadwal kepulangannya ke Jakarta bersama teman sekaligus sahabat baiknya Arlie siang ini. Namun, lidahnya kelu suaranya pun tercekat. Dikumpulkannya sisa-sisa keberaniannya, lalu dengan mengepalkan kedua tangannya yang telah berpindah ke sisi tubuhnya, ia bersuara.
“Nyonya, Tuan, tolong maafkan Saya sudah lancang memasuki kamar ini. Sungguh Saya tidak tau kenapa saya bisa ada di sini. Saya rasa Saya sedikit pusing hingga salah melihat nomor kamar. Kamar Saya 1129 Nyonya, Tuan, saya bisa menunjukkan kartu aksesnya.”
Dengan setengah berteriak Qiandra mulai menjelaskan apa yang ada di kepalanya. Ia ingat samar-samar apa yang terjadi , hanya saja Ia heran karena sangat yakin hanya menegak jus jeruk semalam.
“Cih, dasar tidak tahu malu. Dia bohong Mom, pasti dia punya niat jahat sama Barra, “ komentar pedas Barra membuat Qiandra menatapnya sembari mengernyitkan kedua alisnya.
“Siapa namamu?” Selidik Mama Renata, tegas.
“Nama Saya Qia Nyonya, Qiandra Andalusia,” Jawab Qiandra masih dengan perasaan campur aduk.
“Usia mu?” sambung Mama Renata, Masih dengan wajah dan suara yang tegas.
“Du, Dua Puluh Tiga tahun Nyonya.” Qiandra lagi-lagi menunduk, tidak berani menatap wajah Mama Renata. Dalam hati Ia bergumam, “Kenapa Nyonya ini menanyakan usiaku? Apa hubungannya?” Buru-buru dia memfokuskan pendengarannya lagi.
“Di mana rumah mu? Apakah Kamu berasal dari kota ini?” Tanya mama kembali, lagi-lagi Qiandra merasa seperti seorang pesakitan diintrogasi oleh detektif .
“Jakarta nyonya, Ssa-ya kemari berlibur dan akan kembali dengan penerbangan siang ini. S-saya mohon, le-lepaskan Saya Nyonya, sungguh Saya tidak bermaksud apapun. Saya bisa ketinggalan pesawat.” Mohon Qiandra, sambil mengatupkan kedua tangannya menghiba maaf dari mama Renata.
Sungguh demi apapun, mama Renata begitu menyukai sosok Qiandra sejak pandangan pertama. Mata dan hidung Qiandra mengingatkannya pada sosok sahabat SMA nya dulu, Zasqia. Sejak lulus SMA, mereka berpisah sebab mama Renata melanjutkan pendidikan bisnis di Australia sedangkan sahabatnya harus kembali ke kota orang tuanya sebab ayahnya Zasqia terkena PHK.
Sejak saat itu hingga sekarang, dia tidak pernah menemui sahabatnya itu lagi. Dulu, mereka bahkan berjanji, jika punya anak dengan yang berbeda jenis kelamin, Mereka akan menjodohkannya agar anak-anak mereka memiliki mertua yang notabene bukan orang lain. Dulu sekali, setelah menyelesaikan pendidikannya, Mama Renata sempat mencari sahabatnya itu ke kota kelahirannya, namun nihil.
“Baiklah, urusan kita belum selesai. Sepulangnya kami dari sini, kita akan bertemu di Jakarta. Kami akan pulang besok. Berikan nomor handphone mu!” titah mama Renata sambil menyodorkan ponselnya pada Qiandra. Dengan sigap Qiandra mengambil dan langsung memasukkan nomor handphonenya. Mama Renata langsung memastikan nomor yang diberikan Qiandra aktif dengan menelfonnya. Seketika handphone Qiandra berbunyi pertanda panggilan mama Renata terhubung.
"Itu nomor hape Tante, Kau bisa menyimpannya. Kita akan bertemu lagi secepatnya. Jangan harap Kamu bisa melarikan diri!" Tegas mama Renata kembali. Qiandra hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Mama Renata tersenyum tipis hingga tak terlihat, dalam hatinya ia bergumam, “Entah mengapa aku merasa kau mirip sekali dengan Zasqia. Zas, Jika dia memang putrimu, izinkan Aku menjaganya dan menjadikannya menantuku." Mata mama Renata langsung berpaling, seiring dengan kristal bening yang menggenang di pelupuk matanya.
“Baiklah, Kau bisa pergi Anak Muda,” ucap mama Renata lagi. “Sampai berjumpa lagi ,sayang,” gumam mama dalam hati.
“Mom, ini tidak adil, kenapa Mama melepaskannya begitu saja,” Barra mendengus kesal sambil menggelengkan kepalanya.
“Terimakasih Nyonya, Saya pamit dulu. Saya bisa pastikan Saya tidak berbohong. Permisi Nyonya, sekali lagi terimakasih." Qiandra menyalami tangan Mama Renata dan Manda , kemudian berlalu tanpa menoleh ke arah Barra sedikitpun.
“Dasar wanita tidak tahu diri, kembali Kau, urusan Kita belum selesai, heeii!” Barra berteriak dan maju hendak menghadang Qiandra, namun mama Renata langsung menarik lengan anak bungsunya itu.
“Jika Kau berani mengusiknya Mama tidak akan segan memukulmu Barra.”Barra kaget mendengar ancaman mamanya.
“What? Mama bilang apa? Come on Mom, I am your Son, Aku adalah korbannya. Kenapa Mama malah membelanya,”Kesal Barra pada mamanya.
“Percayakan semua pada Mama Sayang, Mama tau yang terbaik untukmu, hemmmm. Kau adalah anak Mama, My Baby, My Big Baby." Mama mencoba merayu anak kesayangannya itu, bagaimanapun kerasnya Barra, Dia selalu mendengarkan Mamanya. Sambil memeluk Barra, mengusap-usap Bahunya, dan terakhir menciumi seluruh wajah Barra.
“Hahahaha, Mom, ternyata dia memang bayi besarmu Ma,” goda Manda pada adik laki-lakinya itu. “Barra, apa yang dipikirkan karyawan mu jika melihat kau semanja ini, hahahaha.” Manda terus menertawai adik bungsunya itu hingga membuat Barra kesal.
“Urus saja anak dan suami mu sana!” ketus Barra pada kakak semata wayangnya.
"Manda, kau ingat bukan apa yang Mama bilang tadi?" Mama Renata mengingatkan. Manda hanya mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian mereka pun bangkit dan meninggalkan Barra yang masih merasa kesal dengan kehadiran perempuan tak terduga itu di kamarnya.
Di sisi lain Qiandra telah sampai di kamarnya. Ia terkejut melihat barang-barang Arlie sudah tiada. Ia berlari menuju lemari, mencari-cari sesuatu hingga membongkar kopernya. Tak kunjung Ia temukan, Qiandra mulai menghubungi Arlie tapi panggilan itu tidak bisa tersambung.
“Aaarrrrrghhhh, bagaimana ini....”
***ToBeContinue***
Hai, Readers, terimakasih sudah membaca dan mendukung Karya Author ini yah. Mohon dukung terus ya dengan beri like dan komen kalian. Arigatou☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
deasyna
mulai ngikutin dan bikin pinisirin😉😉
2022-01-14
0
👑☘ɴͪᴏͦᴠᷤɪͭᴛͤᴀᷝ💣
asikk bgt. alurnya padat... n bkin gak mau skip. smangatt, dear otor💋💋
2021-07-03
4
Ade Suryani
hadir☝️☝️
2021-03-16
1