Brumm!!
Brumm!!
Brumm!!
Kedua mata Justin yang sebelumnya tertutup kini terbuka sepenuhnya setelah mendengar deru suara motor yang memecah dalam heningnya suasana malam. Dari tempatnya berdiri Justin melihat sedikitnya ada sepuluh motor besar mencoba untuk membuat kekacauan di sana.
Orang-orang yang berkumpul dan bersantai langsung berhamburan pergi karna tidak ingin terlibat masalah dengan para gangster itu termasuk Jia juga anak-anak jalanan itu. "Kakak, kami takut." Ucap salah satu dari keenam anak-anak jalanan itu sambil memeluk Jia.
Jia menarik anak-anak itu untuk bersembunyi dibelakangnya. Belum jauh Jia berjalan motor-motor besar itu justru menggelilingi dirinya. Salah satu dari sepuluh motor itu tiba-tiba berhenti dan seorang pria menghampirinya.
"Mau apa kalian?" meskipun nadanya bergetar namun Jia mencoba untuk bersikap tenang.
"Mencari kesenangan," jawabnya santai ."Tidak disangka jika ada bidadari secantik ini di sini." Ucapnya sambil menyentuh dagu Jia yang segera ditepis oleh gadis itu ,kasar.
"Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu." Ucapnya ketus.
"Wow! Ternyata kau sangat liar, Sayang. Aku sangat menyukainya." Ujar laki-laki itu menyeringai. "Pegang dia untukku, sepertinya akan sangat mengasikkan jika aku bisa menikmatinya di sini."
"Mau apa kalian? LEPASKAN!!" jerit Jia menuntut, sedangkan para anak-anak itu sudah menangis sejak beberapa saat yang lalu. Mereka begitu ketakutan melihat Jia ditarik-tarik seperti itu. "Lepaskan, tolong.... tolong..." Meskipun banyak orang yang melihat dan mendengar Jia yang terus berteriak tapi tidak ada satu pun dari orang-orang itu yang menolong Jia.
Bukan karna tidak mau tapi mereka takut berurusan dengan geng yang terkenal bringas itu sampai seseorang datang dan menjauhkan tubuh laki-laki itu dari Jia.
DORR!!
DORR!!
"Aaaahhh."
Tanpa ragu sedikit pun Justin melepaskan tembakannya pada kaki dan tangan dua orang yang memegangi Jia lalu menarik gadis itu untuk berdiri dibelakang punggung kekarnya. "Pergilah dan bawah anak-anak itu bersembunyi ditempat yang aman." Justin melirik Jia menggunakan ekor matanya, gadis itu mengangguk kemudian pergi dan bersembunyi.
"Brengs**, siapa kau? Berani sekali ikut campur urusanku? Apa kau tidak tau siapa kami? Sudah bosan hidup eo?" amuk laki-laki yang nyaris saja memp*rkosa Jia.
"Justin Qin, Leader Five Corner." Jawab Justin dengan begitu santai.
"Ka..kau? Justin Qin?"
"Hm," sahutnya. "Kenapa tiba-tiba saja diam? Bukankah kau ingin membuat keributan? Kemarilah, aku akan melayanimu. Perintahkan anak buahmu untuk maju semuanya biar kupatahkan leher mereka semua." Ujar Justin sambil menatap orang itu satu persatu dengan tatapan dingin dan menusuk.
"Kau boleh melakukannya tapi tidak malam ini, kita pergi. Seret dua orang tidak berguna itu."
"Baik bos.
Setelah memastikan orang-orang itu sudah tidak ada, segera Jia keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Justin yang hanya menatap datar kepergian para gangster tersebut. "Kau tidak apa-apa? Apa bajingan-bajingan itu melukaimu?" kedatangan Jia langsung dibrondong pertanyaan oleh Justin.
Gadis itu menggeleng dan meyakinkan pada Justin jika dia baik-baik saja. "Aku tidak apa-apa. Terimakasih karna sudah menolongku dan ini ketiga kalinya kau menyelamatkanku dan aku tidak tau apa jadinya diriku jika kau tidak datang tepat waktu." Ujar Jia panjang lebar.
"Ini sudah malam sebaiknya aku antarkan kau pulang." Ucap Justin dan berlalu begitu saja. Bahkan Justin tidak memberikan kesempatan pada Jia untuk sekedar menjawab ya atau tidak.
Setelah meminta anak-anak itu pulang, Jia segera menghampiri Justin yang sedang menunggunya. Dari kejauhan Jia melihat Justin yang sedang duduk diatas motor besarnya sambil menikmati sebatang rokok. Kemudian Justin membuang puntung rokoknya yang hanya tinggal setengah saat menyadari kedatangan Jia. "Naiklah," pintanya sambil menunjuk jok belakang menggunakan dagunya.
"Apa ini tidak terlalu merepotkan? Justin, lagi-lagi aku-"
"Dasar cerewet, sudah naik saja." Pinta Justin untuk kedua kalinya. Nadanya begitu datar. Jia mendesah berat, dengan sedikit keraguan gadis itu naik keatas motor besar Justin.
Agar tidak jatuh, Jia meletakkan kedua tangannya pada bahu tegap pemuda itu. Justin seperti merasakan setruman saat jari-jari lentik itu menyentuh bahunya. Melirik sekilas gadis yang duduk dibelakangnya dan dalam hitungan detik motor itu melesat jauh meninggalkan khawasan Hongdae.
Sepanjang perjalanan tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir Justin maupun Jia, keduanya sama-sama diam dalam keheningan. Kedua tangan Jia pun sudah tidak lagi bersandar pada bahu Justin. Jia meletakkan jari-jarinya pada pangkuannya.
Tubuhnya sedikit gemetar dan peluh tampak pada dahinya. Jia merasa sedikit ketakutan karna Justin mengendarai mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi.
Dan setelah berkendara selama tiga puluh menit tanpa suara mereka tiba disebuah rumah yang ukurannya tidak bisa dikatakan kecil. Rumah itu memiliki pagar besi yang menjulang tinggi, ada air mancur serta taman yang hanya ditumbuhi tumbuhan bonsai di sana.
"Masuklah lebih dulu aku akan membuatkan teh hangat untukmu."
"Tidak perlu, sebaiknya kau tidak lagi kelayapan malam-malam seperti ini. Itu sangat berbahaya untuk gadis sepertimu." Justin menghidupkan kembali mesin motornya dan detik berikutnya hanyalah kesunyian yang Jia rasakan karna tidak ada orang lain lagi di sana selain dirinya.
Jia merebahkan tubuhnya pada kasur king size miliknya, wajahnya menatap lurus langit-langit kamarnya. Ingatannya membawa Jia pada kejadian yang terjadi pagi ini waktu di mana dia dipertemukan kembali dengan mantan kekasihnya setelah satu tahun berlalu. Ada rasa sesak menghimpit dadanya, pertemuan singkat itu membuka kembali luka lama yang tertanam di hati Jia.
Jia mengangkat tangan kanannya yang kemudian ia arahkan pada dadanya yang berdegup kencang dan saat itu pula Jia menyadari jika telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga, satu-satunya benda peninggalan Ibunya
"Kalungku?"
.
.
.
Jam didinding menunjuk angka 11 malam namun wanita itu masih tetap terjaga. Wanita bertubuh mungil itu berdiri didepan jendela kamarnya yang terbuka sambil menatap langit malam.
Pertengkaran hebatnya dengan mantan kekasih yang kini merangkap sebagai putra tirinya beberapa hari lalu membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pemuda itu meninggalkan rumah dan belum pulang sampai malam ini. Kata-katanya yang begitu tajam kembali terngiang-ngiang ditelinganya.
"Bahkan aku berharap supaya kau mati saja, Hanna Kim,"'
Wanita itu 'Hanna' menutup matanya rapat-rapat saat mengingat kembali ucapan Justin. Ia akui jika dialah yang bersalah dan memang sudah sepatutnya Justin membencinya. "Sayang?" perhatian Hanna sedikit teralihkan karna panggilan seseorang.
Sontak saja dia menoleh dan mendapati Alex duduk bersandar pada sandaran tempat tidurnya. "Apa yang kau lakukan di sana? Kenapa tidak tidur?" Hanna menutup kembali jendela kamarnya kemudian menghampiri Alex.
Wanita itu menerima uluran tangan Alex kemudian duduk disamping ayah tiga anak itu. "Masih memikirkan ucapan, Justin?" Hanna mengangguk lemah
"Sudahlah, dia sudah besar tidak perlu dicemaskan. Toh nanti dia akan pulang sendiri, lagi pula sudah sangat biasa brandalan itu minggat dari rumah kemudian pulang lagi." ujar Alex.
Tidak ada penyesalan sedikit pun pada raut wajah Alex meskipun sudah menampar Justin malam itu dan berbicara kasar padanya. Bahkan Alex tidak berusaha mencegah ketika Justin memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. "Tapi tetap saja ini karna salahku. Justin, tidak mungkin bersikap seperti ini jika saja kita-"
"Tidurlah ini sudah malam." pinta Alex menyela ucapan Hanna. Hanna mendesah kemudian mengangguk.
"Baiklah."
🌹🌹🌹
Setelah mengantarkan Jia pulang kerumahnya. Justin kembali pada teman-temannya. Pemuda itu melihat Thomas dan Felix yang sedang bermain game diruang tengah sedangkan Sean dan Leo sedang keluar untuk memburu kesenangan.
Justin merebahkan tubuhnya yang terasa lelah pada sofa samping dua pemuda itu duduk dan sepertinya mereka belum menyadari kepulangannya karna terlalu asik bermain game diponsel masing-masing.
"Yes! Aku menang lagi." Seru Thomas dengan nada memekik membuat Felix yang duduk disampingnya terlonja kaget.
"Yakk! Hyung, apa kau ingin membuatku jantungan eo? Bagaimana jika aku mati secara mendadak? Kau mau bertanggung jawab." Amuknya kesal.
Pletakk!!
Alih-alih permintaan maaf, Felix malah mendapatkan jitakan keras pada kepalanya. "Tidak usah berlebihan, bocah. Aku hanya mengekspresikan rasa bahagiaku, itu saja." ujarnya tak mau kalah.
"Iya! Tapi tidak perlu menjitakku juga." keluh Felix sambil mengusap kepalanya yang baru saja dijitak oleh Thomas. "Bagaimana jika otakku yang super duper jenius ini tiba-tiba menjadi bodoh?"
"Cih, jenius kau bilang. Yang benar saja." Cibir Thomas mendecih.
"Yakkk!!"
"Hm." Dan perdebatan mereka berdua terhenti detik itu juga karna deheman seseorang dari arah kanan. Keduanya pun menoleh dan terlonjak kaget mendapati keberadaan Justin di sana. "Omo! Hyung, kau mengejutkan kami! Memangnya kapan kau masuknya." Pekik Thomas dan Felix sambil mengelus dada.
Bukannya menjawab, Justin malah meninggalkan kedua pemuda itu dan pergi kekamarnya. Kepalanya sudah pusing ditambah lagi dengan perdebatan mereka berdua yang tidak pernah ada habisnya. Justin lelah dan ingin segera beristirahat. Namun di tengah langkahnya tiba-tiba sesuatu yang berkilau jatuh tepat diatas kaki kirinya.
Justin membungkuk dan mengambil benda tersebut. Dahinya menyernyit melihat benda berkilau yang kini berpindah ketangannya. "Kalung?" gumamnya, Justin membawa kalung itu kedalam kamarnya dan meletakkan pada nakas kecil samping tempat tidurnya kemudian menjatuhkan tubuhnya yang terasa lelah pada kasur king size super nyaman miliknya. Justin ingin segera beristirahat, bukan hanya fisiknya saja yang terasa lelah namun juga otaknya.
Visual Justin Qin...
.
.
BERSAMBUNG.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Dewi Dina
Jia ,untung ada Justin yang selalu menolong mu
2022-09-01
0
Nur Azizah
budi dibalas baik..
2021-12-10
0
Cherry
ditolong udah tiga kali berarti berjodoh.... wkwkwk
2021-08-24
0