Sepasang suami istri itu baru saja mengarungi indahnya puncak asmara. Masih dengan napas tersengal, Wira menghunjami Naina kecupan basah, hampir di seluruh wajah cantik yang kelelahan melayani gairahnya.
“Thanks, Sayang. Love you all the time,” bisik Wira masih belum rela melepas penyatuannya setelah pergulatan panas begitu menggelora. Tersenyum menatap kagum tubuh terkulai tidak berdaya setelah pertempuran yang baru saja mereka lakoni.
Tubuh mungil yang masih berada di bawa kungkungannya, bermandikan peluh dan keringat. Begitu mengkilap kala tersorot kemilau lampu kamar, putih mulus bak porselen. Pemandangan yang membuat Wira tergoda setiap saat. Naina selalu terlihat menggairahkan dengan tubuh polos tanpa sehelai benang, begitu pasrah di bawah kekuasaannya.
“Sayang, kamu lelah?” tanya Wira, mengukir lekuk wajah Naina dengan ujung telunjuk.
“Sayang,” sapa Wira dengan aksen manjanya, melihat Naina tidak membalas pernyataan cintanya. Mata indah itu terpejam dengan napas tersengal, kelelahan setelah memadu cinta.
“Hmm,” gumam Naina, tersenyum begitu cantik.
“Tidurlah,” bisik Wira, mengecup pipi kiri dan kanan Naina. Kemudian melepas penyatuannya dengan perlahan.
Terdengar lenguhan pelan istrinya saat keintiman itu berakhir. Wira tidak tega, istrinya sudah terlampau lelah. Ia hanya bisa menarik selimut untuk menutup tubuh indah Naina dan menyusul tidur di samping wanita cantik yang mengisi ranjangnya selama lima tahun ini.
Senyumnya kembali merekah, kala menatap gundukan kembar yang kenyal dan begitu menggoda, penuh tanda kemerahan hasil karyanya.
***
Naina terbangun saat jam di dinding menunjukkan pukul 05.00 pagi. Mengerjap perlahan, mengumpulkan nyawanya yang mengembara selama tidur. Kedua sudut bibir tertarik ke atas saat mendapati Wira yang tidur sembari memeluknya. Begitu dekat hingga kulit tubuh menempel lekat, bahkan Naina bisa merasakan embusan napas teratur suaminya yang menerpa mengenai kulit tubuhnya.
Perlahan, memindahkan lengan yang membelit dirinya, Naina segera ke kamar mandi, menyalakan air panas untuk membersihkan diri. Tubuhnya masih lengket keringat, bahkan aroma maskulin suaminya bercampur merasuk di kulitnya.
Setelah mandi, Naina langsung berganti dengan setelan kaus biasa dan celana pendek bahan. Ia harus menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat ke kantor. Di rumah mereka memang ada Mbok Sumi, tetapi untuk pekerjaan memasak, Nainalah yang mengurus semuanya. Suaminya sudah terbisa dengan makanan buatan tangannya. Bahkan, di kala Naina sibuk dengan butiknya sekalipun, tetap harus menyiapkan makanan untuk suaminya.
Keluar kamar dengan rambut dicepol asal, Naina bergegas menuju dapur. Menu pagi ini adalah nasi goreng spesial telur dadar. Seperti biasa, begitu keluar Naina sudah disambut senyum bahagia Mbok Sumi.
“Pagi Mbok, semua bahan sudah siap?” tanya Naina.
“Sudah Bu.” Asisten rumah tangga paruh baya itu menyingkir dari tempatnya berdiri. Memberi ruang untuk majikannya mengambil alih semua bahan yang tadi sudah dipotongnya.
“Bu, masakan yang kemarin masih banyak sisa. Apa mau dipanaskan?” tanya Mbok Sumi. Wanita paruh baya itu memilih mencuci piring, sembari melirik Naina yang mulai memanaskan minyak di penggorengan, bersiap membuat telur dadar.
“Masih bagus?” tanya Naina, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan panas di depannya.
“Masih, Bu.”
“Kalau Mbok Sumi mau, boleh dipanaskan. Aku hari ini mau ke kantor Mas Wira membawakan makan siang, jadi nanti tidak makan siang di rumah.”
“Ibu tidak ke butik?” tanya Mbok Sumi heran. Tidak biasanya majikannya tidak ke butik.
“Pergi sebentar, Bu. Setelah itu mau ke kantor Mas Wira, mungkin pulangnya mau mampir ke rumah Mama bersama Mas Wira,” jelas Naina.
“Jadi kita tidak makan siang dan makan malam di rumah?" lanjut Naina lagi.
Mbok Sumi mengangguk. Kali ini pandangannya tanpa sengaja tertuju pada leher jenjang majikannya yang mulus dengan dipenuhi tanda kemerahan. Melihat itu saja, Mbok Sumi tahu seberapa mesra hubungan kedua majikannya. Tidak jarang, tanpa sengaja melihat keduanya berciuman di salah satu sudut rumah ini, yang akhirnya membuat dirinya malu sendiri.
Mbok Sumi masih senyum-senyum sendiri mengingat kelakuan majikannya, tiba-tiba Wira sang majikan laki-laki sudah berdiri di antara mereka, bergabung di dapur menemani istrinya. Cukup dengan kode lirikan mata dari Wira, Mbok Sumi sudah paham. Menyingkir dan memberi kesempatan keduanya melanjutkan keintiman yang dibawa dari kamar tidur.
“Morning, Nainaku,” sapa Wira, tiba-tiba memeluk istrinya dari belakang. Kecupan demi kecupan sudah menghunjami wajah segar tanpa sapuan make-up itu.
“Ah, Mas Wira! Mengagetkanku saja,” protes Naina. Sodet di tangannya terlepas, mengusap bekas kecupan suaminya yang membasahi hampir seluruh area wajahnya.
“Kenapa tidak membangunkan Mas?” tanya Wira, mengeratkan belitan di perut istrinya. Lelaki tampan itu sudah mengambil alih sodet dari tangan Naina, membantu membolak-balikkan telur di atas wajah.
“Mas sepertinya kelelahan. Nai tidak tega membangunkanmu, Mas,” jelas Naina, mengusap tangan kiri Wira yang masih betah memeluknya.
“Ini sudah, Nai,” ucap Wira, mengangkat telur dan meletakannya di atas piring yang dipegang Naina.
“Ayo, kita lanjutkan. Seperti biasa, aku yang memasak, Nai yang memasukkan semua bahannya,” ucap Wira mengedipkan sebelah matanya, menatap Naina yang berbalik melihatnya.
Naina segera memasukkan sedikit mentega ke dalam penggorengan. “Mas tolong pelukannya jangan terlalu kencang,” protes Naina, saat dia kesulitan bergerak karena ulah tangan Wira yang membelit pinggangnya.
“Ssst, jangan berisik, Nyonya. Ini namanya romantis,” sahut Wira masih memegang sodet di tangan kanannya. Bersiap mengaduk-aduk bahan yang dimasukkan istrinya ke dalam penggorengan.
“Pelan-pelan, Sayang. Ini kebanyakan. Susah mengaduknya,” protes Wira, saat Naina memasukkan sayuran potong.
“Nanti juga layu, Mas.”
“Ya sudah bantu pegang wajannya. Ini susah, Sayang, jadi bergeser. Tangan kiriku tidak mau berpindah, dia sudah nyaman di sarangnya,” perintah Wira lagi. Masih belum rela melepas pelukannya pada sang istri, sebaliknya, tangan itu semakin nakal menyusup masuk ke kaus longgar yang dikenakan Naina dan merayap naik ke atas.
“Sayang, jangan seperti ini,” keluh Naina. Di saat konsentrasi suaminya mulai terbagi. Tangan kanan sibuk mengaduk nasi goreng, tangan kiri Wira mulai nakal, menjelajah area favoritnya.
“Astaga, Nai. Kamu tidak mengenakan bra,” ucap Wira, menangkup salah satu gundukan kembar istrinya.
“Mas, sudah. Nanti nasi gorengnya gosong,” protes Naina, yang hampir menggila karena ulah Wira. Nafasnya mulai memburu, memejamkan matanya saat lelaki tampan yang berdiri di belakangnya mulai mengeksplor bukit kembarnya, yang menjadi salah satu keajaiban dunia, menurut Wira.
Naina masih berusaha merapikan kausnya yang tersingkap, napasnya tersengal. Ia sudah lupa dengan nasi gorengnya. Wiralah yang menyelesaikan memasak nasi goreng itu sampai matang. Naina sudah melayang ke awang-awang hanya dengan ulang tangan Wira yang usil, mata terpejam menikmati sensasi perlakuan suaminya.
Saat bunyi kompor dimatikan, Naina membuka pandangannya.
“Mbok Sumi!” teriak Wira memanggil pembantunya itu dengan suara kencang. Pria itu tahu kalau perempuan tua itu bersembunyi tidak terlalu jauh dari mereka.
“Ya, Pak.” Buru-buru Mbok Sumi mendekat, sembari membungkuk dan mengulum senyuman.
“Tolong rapikan semuanya. Pindahkan nasi gorengnya ke piring. Tata ke meja!” perintah Wira, mengecup pucuk kepala istrinya.
“Naik ke gendongan, Nai!” perintah Wira. Dalam sekejap, Naina sudah meloncat naik, dengan kedua kaki membelit pinggul suaminya dan kedua tangan terkalung di leher Wira.
“Bayi koala imutku,” ucap Wira menggendong istrinya kembali ke kamar, sembari mengecup bibir tipis Naina yang seperti candu baginya.
***
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Susana
Duh, deg-degan seperti ada kepalsuan dibalik sikap manis Wira. 🤧🤧
2022-12-07
1
Dea Amira 🍁
wira romntis biar istrix ga curiga 🤣🤣🤣
2021-12-16
0
Sunarty Narty
romantis bgt,tp takut kecewa d balik romantisnya untuk menutupi kesalahannya.bnr lh ms iya sekretaris manggil mas..
2021-12-07
0