Naina mencium punggung tangan suaminya di teras rumah, mengantar lelaki itu menjemput rezeki hari ini. Seperti biasa, setelahnya Naina akan dihadiahkan kecupan di kening dan pucuk kepala. Tanda cinta Wira yang tidak bisa diukur seberapa besarnya pada Naina, sang istri.
“Mas ke kantor. Jangan nakal di rumah,” bisik Wira, mendekap erat Naina, masih belum rela melepas.
“Nai bukan anak kecil lagi, Mas.” Wajah cantik itu merengut, selalu tidak suka diperlakukan layaknya bayi imut.
Sejak awal berkenalan sampai menikah, perlakuan Wira tetap sama. Di matanya Naina selalu menggemaskan. Di matanya Naina seperti bocah ingusan. Mungkin karena posturnya yang imut dengan wajah baby face, Naina selalu diperlakukan Wira seperti anak SMA. Padahal semua sudah lima tahun berlalu. Sekarang Naina sudah berumur 22 tahun. Dan Wira, sudah menginjak 27 tahun.
“Mas mencintaimu. Sangat mencintaimu, Nai,” bisik Wira, melepaskan pelukannya.
Lelaki itu berlari kecil menuju mobilnya, masih sempat melambaikn tangannya sebelum masuk ke dalam mobilnya.
***
Wira masih berkutat dengan tumpukan pekerjaan di atas meja kerjanya. Sudah lima tahun ini dia menjalankan perusahaan keluarganya. PW Group, perusahaan yang bergerak di bidang property, dengan beberapa anak perusahaan tersebar di beberapa kota besar, di pulau Jawa. Sejak menikah dengan Naina, sang ayah menyerahkan perusahaan ini pada Wira.
Waktu hampir menunjukan jam makan siang, Wira masih sibuk bermain dengan pena di tangannya, mencoret laporan keuangan yang dianggapnya perlu dipertanyakan. Terlalu serius dengan pekerjaannya, Wira sampai terkejut saat pintu ruang kerjanya dibuka kasar.
“Mas!” panggil Stevi, sekretaris Wira, dengan sedikit keras, berusaha mengalihkan perhatian atasannya.
“Hmmm.” Wira hanya bergumam pelan, tak sedikit pun mengalihkan pandangannya.
“Mas!!” pekik Stevi mulai kesal saat diabaikan.
“Apa Stev? Kamu butuh apa lagi? Tolong ingat, kita sedang di kantor. Panggil aku seperti karyawan lain memanggilku!” pinta Wira.
“Mas, ini jam makan siang. Kita makan siang di luar ya. Bosan makan di kantin. Kamu tahu kan, aku butuh asupan gizi yang cukup untuk Nola,” ajak Stevi, sedikit melunak. Sekretaris itu berjalan, mendekat. Berdiri tepat di samping meja kerja Wira.
“Aku masih banyak pekerjaan Stev. Kamu bisa makan sendirian hari ini,” sahut Wira, masih tetap serius dengan pekerjaannya.
Mendengar jawaban Wira, kesal yang sempat mereda kali ini kembali muncul.
“Mas, pekerjaannya bisa dilanjutkan setelah makan siang. Aku akan membantumu mengerjakannya. Kamu tidak lupa kan, keahlianku di bidang akuntansi.” Stevi mengingatkan.
“Ayolah, Mas,” rayu Stevi, meraih tangan Wira yang masih menggengam pena dan meremasnya pelan.
“Stev, tolong,” tegas Wira, mengangkat pandangannya kali ini.
“Pesankan saja makan siang untukku. Hari ini aku tidak makan diluar,” tegas Wira, menatap tangannya yang digenggam Stevi.
Stevi hanya bisa menghentak kesal. Buru-buru melepas gengaman tangannya. Arti tatapan Wira itu sudah cukup mewakili keinginan direktur muda sekaligus atasannya itu.
Ia sudah mengenal Wira sejak di bangku SMA, setelah itu mereka masih melanjutkan kuliah di universitas yang sama. Apa yang tidak diketahuinya tentang Wira. Stevi mengenal Wira luar dalam. Apalagi setelah menyelesaikan kuliah, Stevi melamar di perusahaan keluarga Wira.
Meskipun awalnya hanya sebagai staff biasa. Baru di tahun kedua, Stevi direkrut menjadi sekretaris direktur. Sejak saat itu, mereka tidak terpisah. Bahkan tidak jarang Stevi harus keluar kota menemani Wira yang sahabat sekaligus atasannya.
Stevi sahabat sekaligus sekretaris merangkap tangan kanan Wira. Ia menguasai banyak hal mengenai perusahaan. Kecerdasannya selama ini banyak membantu Wira untuk mendapatkan proyek-proyek bernilai fantastis. Namun belakangan hubungan mereka menjadi rumit.
“Mas kelewatan. Tidak pernah ada waktu untukku,” keluh Stevi.
“Stev, sudah. Aku lelah dengan rengekanmu, Stev. Keluar dari ruanganku sekarang. Kamu bisa masuk, kalau aku memanggilmu!” titah Wira.
Stevi keluar dari ruangan direktur dengan wajah cemberut mendengus kesal berulang kali. Kakinya membeku di tempat, saat melihat dari kejauhan sosok cantik berwajah ayu yang sedang berjalan dengan gemulainya, menenteng kotak bekal makanan.
“Naina ....” Berucap pelan, mengedipkan matanya berulang. Memastikan kalau pandangannya tidak salah.
“Pantas saja Wira menolakku. Ternyata dia sedang menunggu perempuan ini!” gerutu Stevi dalam hati.
“Selamat siang, Nyonya,” sapa Stevi, berusaha tersenyum manis, meskipun kecewa lebih mendominasi perasaannya. Namun dia harus bersikap seprofesional mungkin. Tidak mau rahasianya dan Wira terbongkar untuk saat ini, setidaknya belum saatnya.
“Stev, suamiku ada di dalam?” tanya Naina. Jantungnya berdetak kencang menahan gugup. Ia ingin memberi kejutan untuk suaminya, Wira. Berharap suaminya akan senang dengan kunjungannya kali ini.
“Ada, Nyonya. Silahkan.” Stevi masih berupaya menahan gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya. Mempersilahkan istri pemilik perusahaan itu masuk ke dalam.
Begitu punggung Naina menghilang di balik pintu, Stevi melempar kepalan tangannya ke udara, membuang kesal dan kecewanya.
Wira yang masih disibukan dengan berkasnya, kembali kesal saat pintu ruangan terbuka. Tanpa mengangkat pandangan dan memastikan siapa yang masuk, lelaki itu sudah mengomel.
“Kenapa keras kepala sekali? Aku sudah katakan keluar dari ruanganku!” tegas Wira, masih sibuk membuat coretan untuk mengoreksi data yang menurutnya salah.
“Mas,” cicit Naina hampir menangis. Wira tidak pernah memperlakukannya kasar. Jangankan berlaku kasar, bicara saja begitu lemah lembut.
“Nai, kamu datang Sayang.” Wajah kaku itu melunak, tersenyum manis menghampiri istrinya.
Masih dengan raut asam, Naina meraih tangan suaminya, mengecup pelan punggung tangan lelaki itu. Kebiasaan yang sudah mendarah daging sejak awal menikah. Hal kecil ini salah satu yang membuat Wira tergila-gila pada istrinya.
“Maafkan Mas. Tadi Mas kira Stevi,” jelas Wira, merengkuh tubuh Naina dan memeluk erat.
“Kalau Mas tidak suka, Nai pulang sekarang,” ucap Naina, dengan wajah cemberutnya.
“Nai ... Mas salah orang. Jangan marah lagi,” bujuk Wira, mengecup ringan bibir cemberut yang sedang mengerucut. Menandakan Naina sedang merajuk padanya.
“Jangan marah lagi.”
Dengan sekali sentak tubuh mungil itu sudah melayang, bersama jerit terkejut Naina.
“Mas....” Naina memekik, tiba-tiba sudah berada di gendongan Wira.
“Turunkan Nai, Mas. Nanti makan siangmu berantakan,” protes Naina.
Tubuh mungil itu mendarat di atas meja kerja. Duduk dengan nyaman di kunci kedua lengan Wira di sisi kiri dan kanan.
“Nai membawakan Mas makan siang?” tanya Wira, tersenyum.
“Iya, tetapi kalau Mas tidak suka, Nai pulang sekarang.”
“Eits ... istri Mas kalau cemberut tambah manis,” rayu Wira, mencubit hidung lancip Naina.
“Nai masak apa?” tanya Wira, mengambil alih kotak bekal, buru-buru membukanya.
Senyumnya terkembang kala mendapati soto ayam komplit dengan nasi panas di dalamnya.
“Nai memasak sendiri? Tidak ke butik hari ini?” tanya Wira, langsung menyuapkan sesendok nasi dengan kuah soto itu ke dalam mulutnya.
“Tadi pagi sempat ke butik sebentar. Belakangan butik sedikit sepi, Mas. Mungkin karena stok barang juga hampir habis.”
“Oh ya. Berarti Nai harus terbang lagi? Mas jomblo lagi,” celetuk Wira.
“Gombal!” ucap Naina tersenyum.
Mas, nanti sore kita ke tempat mama ya. Sudah lama tidak menjenguk mereka,” usul Naina.
“Hmmm,” gumam Wira, menarik kursi dan duduk di depan istrinya. Bersiap menyantap nasi soto spesial buatan Naina yang tiada duanya.
“Nai sudah makan?” tanya Wira lagi.
“Masih kenyang, Mas.”
“Mau Mas suapin?” tawar Wira lagi.
Naina menggeleng. “Nai hanya membawa sedikit untuk jatah Mas saja. Nai sudah mulai gemuk, artinya Nai harus diet,” sahut Naina, tersenyum.
***
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Uneh Wee
hadir dah di bab 4 lgi nyimk
2023-03-10
0
Sunarty Narty
aduh jd kasian Ama nai,walaupun mungkin Wira g sengaja dl.tp skrg nutupin hubungannya dr nai kn SM aj selingkuh .
2021-12-07
0
Ningsih Sweetz
visualnya mana thor
2021-11-10
0