Naina berusaha menenangkan dirinya setelah meneguk habis segelas air putih yang disodorkan Mbok Sumi padanya. Mengusap dadanya sendiri, kemudian mengambil kembali ponsel yang diletakkannya di atas meja. Panggilan itu masih tersambung.
“Mbok Sumi bisa kembali ke kamar sekarang. Aku sudah tidak apa-apa,” pinta Naina. Ia tidak ingin terlihat asisten rumahnya kalau sedang mencurigai suaminya sendiri.
Naina bisa mendengar percakapan suaminya dengan seorang wanita. Otaknya sedang merangkai kata- kata yang tertangkap oleh indra pendengarannya.
“Kamu tidak apa-apa. Maaf." Samar terdengar suara Wira dari gawai rosegold dengan logo apel sisa gigitan.
“Ya, Mas,” sahut sang wanita tidak kalah lembutnya.
“Aku akan mengantarkanmu pulang. Ini sudah terlalu malam, kasihan Nola sendirian di rumah.” Kembali terdengar suara Wira.
“Ya, Mas.” Lagi-lagi Naina bisa mendengar suara lembut seorang wanita. Semakin didengar Naina merasa semakin familier dengan suara wanita itu.
Naina masih konsentrasi, memfokuskan pendengarannya saat panggilan telepon itu terputus. Ia tidak bisa terus menguping pembicaraan suaminya dengan wanita asing itu lagi.
Jantungnya berdegup, hatinya terasa tertusuk sembilu. Menelungkupkan wajahnya di atas meja, kepala Naina berdenyut menahan sakit. Ia yang terlalu berburuk sangka atau memang suaminya menyembunyikan sesuatu di luar sana, di belakangnya.
Selama ini Wira terlihat baik-baik saja. Setiap hari menghabiskan waktu bersamanya, bahkan suaminya itu sangat jarang pulang malam. Hubungan mereka pun tetap akur, tidak memudar sama sekali. Semakin hari, semakin mesra layaknya ABG yang baru merasakan cinta pertamanya. Sikap posesif Wira pun masih tetap sama, sejak awal menikah sampai sekarang. Rasanya aneh kalau suaminya memiliki kesempatan menduakannya di luar sana.
***
Deru mobil memecah keheningan malam. Waktu di dinding sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam kala itu. Tak lama, terdengar suara gemerincing anak kunci yang bertabrakan satu sama lain, berputar di dalam lubang pintu.
Muncul wajah lelah lelaki tampan, menenteng jas kerjanya. Ia harus menutup kembali pintu utama itu perlahan supaya tidak membangunkan seisi rumah. Melempar kasar jas ke atas sofa ruang tamu, langkah kaki mengantar Wira ke dapur untuk mengambil segelas air dingin. Tenggorokannya kering, butuh mendapat guyuran air dingin.
Jantungnya berdetak kencang, kedua kaki membeku di tempatnya berdiri kala mendapati istrinya, Naina sedang tertidur di meja makan. Merebahkan kepalanya di samping beraneka masakan yang ditata indah di atas piring keramik. Lilin putih memendek dan sudah padam menandakan kalau Naina menunggunya sudah terlalu lama.
“Sayang,” bisiknya pelan. Rasa bersalah mendominasi, mencengkeram hatinya.
“Sayang, bangun. Mas pulang,” bisik Wira lagi. Kali ini menghadiahkan kecupan ringan di pipi Naina yang disapu blush on merah muda tipis. Dada Wira bagai dihantam godam saat melihat makanan yang belum tersentuh sama sekali. Itu artinya Naina belum makan sejak sore.
“Sayang, bangun. Ayo kita makan.” Wira sudah berjongkok di sisi Naina, menyejajarkan tingginya dengan sang istri yang terkulai lemas, terlelap.
Wajah tampan itu bisa tersenyum lega, saat kelopak mata indah Naina perlahan membuka. Berkedip layak boneka barbie sampai akhirnya menampilkan mata indah yang membuatnya jatuh cinta dan menggila selama lima tahun ini.
“Happy anniversary, Sayangku, Manisku, Istriku,” ucap Wira, mengecup lembut bibir tipis Naina yang selalu memabukkannya setiap saat. Lelaki itu terlihat merogoh saku celananya, seperti mencari sesuatu yang disimpannya di dalam sana.
“Aneh. Ke mana jatuhnya hadiah untuk Naina? Padahal aku sudah menyiapkannya jauh-jauh hari,” ucapnya dalam hati.
“Mungkin terjatuh di mobil atau ... ah, tidak mungkin di rumahnya,” ucap Wira dalam hati.
“Mas sudah pulang?” tanya Naina, membuyarkan lamunan Wira. Naina langsung mencium punggung tangan suaminya sembari menahan kantuk. Tersenyum setelahnya, seolah lupa dengan kegundahannya akan wanita asing yang menemani malam suaminya.
“Maafkan aku, Sayang,” sahut Wira, mengecup kening istrinya.
“Ayo kita makan,” ajak Wira, menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Naina. Lelaki itu dengan lincah menyendokkan nasi putih beserta lauknya ke dalam piring Naina.
“Mas, sudah. Biar Nai saja,” tolak Naina, saat melihat suaminya melayaninya.
“Tidak apa-apa. Mas ingin melayani istri Mas, di hari jadi kita. Semoga setiap tahun kita selalu bersama sampai menua,” lanjut Wira.
“Amin Mas,” sahut Naina, menangkupkan kedua tangannya di dada.
Setelah piringnya terisi makanan, Naina mengambil alih piring sendok nasi dan bermaksud melayani suaminya seperti biasa. Mengisi piring itu dengan nasi dan lauk-lauk kesukaan Wira yang dimasaknya sendiri.
“Sudah, Nai. Cukup,” tahan Wira. Dia sudah makan di luar, perutnya masih kenyang.
Naina mengerutkan dahinya, heran. Tidak biasanya Wira menolak makan banyak, apalagi kalau yang menjadi lauk adalah menu kesukaannya. Malahan lelaki itu akan menambah porsi makannya lebih dari biasanya.
“Mas yakin hanya segini?” tanya Naina.
“Ya, Mas ingin cepat-cepat memelukmu di kamar,” bisik Wira, menarik pinggang istrinya supaya duduk di pangkuan seperti biasa.
“Mas tidak boleh terlalu kenyang, Mas harus menyediakan tempat supaya bisa melahapmu, Nai,” lanjut Wira.
“Mas, lepaskan. Kita mau makan,” ucap Naina, tertawa geli saat Wira menyibak rambut panjangnya mempertontonkan punggung telanjang yang tidak tertutup benang sama sekali.
“Kamu mau menggoda Mas dengan gaun kurang bahan seperti ini?” tanya Wira, mengecup basah punggung mulus istrinya. Naina menggelinjang kegelian. Tubuhnya meremang seketika. Lapar yang sejak tadi ditahannya lenyap entah ke mana seiring perlakuan intim Wira.
“Aku sudah tidak tahan, Nai. Habiskan makananmu secepatnya. Jadi punya tenaga bertarung denganku,” ucap Wira menggoda. Napas beratnya sengaja dihembuskan di telinga yang tergantung anting panjang dengan taburan berlian.
“Ih Mas. Jangan seperti ini,” ucap Naina. Menggenggam tangan Wira yang mengunci perutnya.
“Maafkan aku, Nai. Aku sudah membeli hadiah untukmu dari beberapa hari yang lalu, tetapi sepertinya terjatuh saat aku mengalami kecelakaan kecil tadi,” jelas Wira.
Deg—
Naina seperti diingatkan kembali. Kehadiran Wira begitu membuatnya bahagia, sampai lupa dengan pikiran-pikiran buruk yang sempat beterbangan di otaknya.
“Mas, apa yang terjadi? Mas baik-baik saja?” tanya Naina, mencecar Wira dengan banyak pertanyaan. Tubuh yang masih betah duduk di pangkuan Wira itu berbalik, menatap suaminya untuk memastikan lelaki tampan miliknya itu baik-baik saja.
“Hanya kecelakaan kecil, Sayang. Aku baik-baik saja,” ucap Wira, kembali melabuhkan kecupan di pipi Naina.
“Emmm ... Mas, tadi bersama siapa? Em ... Nai mendengar suara wanita di samping Mas,” tanya Naina ragu. Kepalanya tertunduk dengan tangan saling meremas. Tidak mau terlihat curiga.
Wira tersenyum, mengeratkan belitan tangannya pada pinggang sang istri.
“Mas dengan Stevi, sekretaris Mas,” jawab Wira.
“Mas kan cerita tadi ada meeting di luar, Sayang,” jelas Wira lagi, mencubit ujung hidung mancung Naina.
Seketika Naina menepuk dahinya sendiri. “Ya Tuhan. Maafkan Nai, Mas,” sahut Naina. Ia mengingat kembali, pantas saja suara wanita itu begitu familier. Ternyata itu suara Stevi, sekretaris suaminya sendiri.
Sebuah kecupan permintaan maaf dilabuhkan Naina di pipi suaminya. “Nai mencintaimu, Mas Wira.”
“Hidupku milikmu, Nainaku.”
***
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 183 Episodes
Comments
Winar hasan
punya istri lain kah????
2022-09-18
1
Thirta Nata
duch nak mbok Yo mikir,,masa sekertaris panggil boss nya mas..
2022-05-31
0
💕 istri mas hanif💕
ck,alasan sekretaris atau istri km si kok manggil nya mas
2022-01-01
0