Rutinitas pagi Anjani diawali fardu subuh dan mengaji. Agenda setelah itu membantu Mbak Lastri dan Mbok Darmi menyiapkan santap pagi. Meski memiliki dua asisten rumah tangga, Anjani tetap membantu di dapurnya. Semua demi kemampuan memasak yang melekat pada diri tidak memudar dengan percuma.
Di saat sang istri menyiapkan sarapan, Mario selalu berada di teras depan. Menyapa Pak Gun yang sedang menyiram dan membersihkan halaman, sementara dirinya memanaskan mesin mobil agar lancar saat digunakan.
"Tuan, tadi Pak RT ngasih undangan pertemuan rutin. Tuan Mario diminta hadir juga biar warga sini makin banyak yang kenal," terang Pak Gun.
Mario beralih langkah menuju meja teras. Ada undangan tergeletak di sana. Mario manggut-manggut sambil membaca isinya. Sadar bahwa dirinya termasuk warga baru, Mario pun memutuskan untuk hadir. Waktunya pun tidak mendesak.
"Insya Allah bisa hadir. Pak Gun sendiri sudah akrab dengan warga di sini?" tanya Mario.
"Alhamdulillaah, sudah makin banyak yang dikenal. Oya, Tuan. Apa Nona juga mau diikutkan arisan ibu-ibu?"
"Hm. Kalau itu saya kurang setuju, Pak. Lebih baik kalau ada pengajian RT saja," terang Mario.
"Oh ada, Tuan. Bu RT sempat menyampaikan juga kalau Nona mungkin mau ikut." Pak Gun teringat.
Bersosialisasi dengan lingkungan tetangga rumah amat perlu. Mario sadar betul akan hal itu. Jabatan wakil direktur seketika luntur demi membaur, menyamakan status sebagai warga masyarakat yang saling akur dan guyup rukun.
***
"Makan yang banyak," tutur lembut Mario sambil menambahkan lauk ayam di piring Anjani.
Begitu dimanjakan, itulah yang Anjani rasakan. Betapa seorang wanita akan menjelma ratu bila bersanding dengan pria yang tepat. Anjani merasa sejak menikah dengan Mario dirinya begitu diistimewakan. Sosok Mario di mata Anjani adalah pemimpin keluarga yang tak hanya menyuguhkan cinta kasih. Lebih dari itu, sang suami begitu perhatian, peduli, bahkan selalu memenuhi apa pun yang menjadi keinginan hati.
"Em, boleh aku menyampaikan sesuatu?" tanya Anjani begitu isi piringnya tandas.
"Apa itu?"
"Mendadak saja aku ingin mengubah panggilan terhadapmu. Em, padahal kemarin-kemarin nggak kepikiran. Tiba-tiba saja pagi ini aku ingin memanggilmu dengan sebutan lain. Boleh?"
Senyum Mario mengembang. Begitu manis dipandang. Sungguh menguarkan aura tampan.
"Tentu saja boleh. Kamu ingin memanggilku dengan sebutan apa? Honey, hubby, cinta, aa', atau beb?"
Anjani menggeleng. Artinya tak ada satu pun di antara pilihan Mario yang sesuai.
"Lalu apa?" Mario menunggu sambil menopang dagu. Bola matanya menatap Anjani penuh cinta.
"Mas," ucap Anjani.
Sedikit terkejut Mario mendengarnya. Dikiranya Anjani akan memberinya sebutan lain. Ternyata hanya ingin menggunakan sapaan 'mas'.
"Kutebak, pasti kamu ikut-ikut Meli sama Alenna. Mereka berdua sama-sama manggil suami mereka dengan sebutan 'mas'." Mario masih bertopang dagu sambil menatap ramah manik mata Anjani.
Seketika Anjani cemberut begitu dikira ikut-ikutan.
"Padahal ini permintaan anak kita," gumam Anjani tanpa berani memandang Mario.
"Ouh. Rupanya anak kita ingin manggil ayahnya dengan sebutan mas. Padahal aku ingin sekali dipanggil daddy," sahutnya.
Anjani makin cemberut. Mario makin bersemangat menggencarkan argumennya demi melihat wajah menggemaskan sang istri.
"Yaudah kalau nggak mau," ujar Anjani seraya menunduk malu karena permintaannya tidak dipenuhi.
Beranjak dari kursi, langkah Mario mendekati kursi Anjani. Diposisikannya wajah Mario didekat telinga sang istri.
"Usia kita memang tidak terpaut terlalu jauh, tapi usiaku tetap lebih tua darimu. Kamu boleh memanggilku dengan sapaan apa pun." Mario merangkul Anjani dari belakang.
"Terima kasih." Anjani teramat bahagia hingga memberi kecupan singkat di pipi Mario.
Sepertinya aku harus lebih banyak membaca buku tentang emosi dan keinginan ibu hamil. Kutanyakan pada Paman Li juga nanti. Batin Mario.
Dari kejauhan, Mbak Lastri dan Mbok Darmi tak sengaja melihat keromantisan Mario-Anjani di meja makan.
"Las, kendalikan dirimu!" celetuk Mbok Darmi.
"Iya, Mbok. Seneng aja lihat Nona sama Tuan romantis gitu. Kayak lagi nonton drama Korea." Lastri auto berkhayal.
"Huus! Ingat anak di rumah udah dua. Drama melulu ditonton. Kayak aku ini loh tontonannya sinetron," sahut Mbok Darmi.
"Yaah. Sama aja, Mbok. Eh, tapi nih, Mbok. Aku udah nggak sabar lihat anaknya Nona lahir. Pasti nanti cakep kayak ibu bapaknya," tebak Lastri.
"Hihihi. Aku juga udah kepo. Semoga Nona sama Tuan selalu diselimuti kebahagiaan, ya. Biar kita bisa lihat yang adem-adem gini terus," doa Mbok Darmi yang langsung di-aamiini Mbak Lastri.
***
Kembali Anjani menjalani rutinitas sebagai mahasiswi. Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Mata kuliah jurusan dan satu lagi mata kuliah umum.
Pesona Anjani sebagai mahasiswi baru masih menjadi sorotan beberapa pasang mata. Sapaan-sapaan baru dibuat oleh mereka untuk Anjani. Ada yang memberi julukan si anak baru, si manis, bahkan bidadari. Ya, dari sekian banyak sapaan baik, ada saja yang memberi julukan tak patut seperti yang diberikan Marisa.
Si jual mahal, itulah sapaan yang didapat Anjani dari Marisa. Sapaan itu sudah diberikan sejak Anjani pertama bertemu di kelas mata kuliah. Isabel menduga, Marisa kurang suka dengan Anjani karena sempat melihat Riko dekat-dekat. Namun, Anjani sungguh tak mau ambil pusing dengan itu semua. Niat Anjani hanya satu, menyelesaikan kuliahnya tanpa membuat banyak ulah.
"Bel, kamu ngerasa nggak sih kalau Riko murung dari tadi," bisik Anjani begitu kelas berakhir.
"Wajar. Kan habis melihat fakta menyakitkan," sahut Isabel.
"Fakta menyakitkan? Apanya yang menyakitkan, Bel? Kan aku cuma berterus terang dengan statusku."
"Ish. Anjani nggak peka ah. Tentu saja hati Riko patah-patah. Patah hati karena cinta itu nggak enak, lho!" Isabel berargumen seolah pernah merasakannya.
Mendadak Anjani terpancing untuk tahu kisah asmara Isabel. Namun, Anjani mengendalikan diri untuk tidak bertanya lebih tentang urusan pribadi.
"Loh, mau kemana?" Isabel terheran dengan Anjani yang tiba-tiba mengubah haluan.
"Aku mau bicara sebentar sama Riko. Nggak lama, kok. Kamu ke kelas dulu aja. Titip bangku, ya." Anjani nyengir.
Isabel mengangguk. Dibiarkannya Anjani menemui Riko.
"Riko," panggil Anjani.
Riko menoleh. Tidak menyangka Anjani akan mendatanginya.
"H-hai." Riko kikuk sendiri jadinya.
Sungguh, hati Riko belum siap berbincang dengan Anjani setelah kejadian memalukan yang menimpa dirinya kemarin. Semalaman Riko merutuki dirinya karena sudah berani menyatakan cinta pada wanita yang sudah bersuami.
Beberapa detik dilalui tanpa ada kata dari keduanya. Seketika kecanggungan menyelimuti mereka. Riko yang biasa tengil, punya banyak stok kata, tetiba kesulitan berujar di depan wanita yang masih dicinta. Ya, hatinya masih menyimpan nama Anjani. Begitu sulit untuk ditepis dalam waktu sehari.
"Riko, kamu marah padaku, tidak suka padaku, atau membenciku?" tanya Anjani memulai kalimatnya.
"Yang benar aku cinta kamu. Kan kamu sudah kutembak kemarin. Masa lupa," sahut Riko tanpa berani melihat wajah Anjani.
Terdiam lagi. Baik Anjani ataupun Riko sama-sama bungkam lagi.
"Maafkan aku. Kita bertemu dengan status diriku yang baru. Membuatku tak bisa membalas perasaanmu," ujar Anjani.
"Iya. Aku tau. Tipe kayak kamu nggak bakal mau kalau diajakin selingkuh. Iya kan?"
"Jadi kamu berpikiran sampai sejauh itu? Kamu berniat mengajakku selingkuh?" Anjani terpancing kata-kata Riko. Nada bicaranya sedikit meninggi.
Riko toleh kanan-kiri begitu mendengar nada bicara Anjani meninggi. Khawatir ada yang mendengar.
"Anjani, slow dong! Aku nggak jadi ngajakin kamu selingkuh. Toh kamunya pasti nggak bakal mau. Kita masih bisa berteman kan?" tanya Riko kemudian.
Anjani menghela nafas dalam.
"Iya, kita berteman. Pudarkan perasaanmu itu ya, Rik. Mulai sekarang nggak perlu menghindar dariku. Aku sama Isabel temanmu." Anjani tersenyum ramah.
Mendengar kata teman, ada desir tak dapat diartikan.
Selama ini Riko tak pernah menjalin hubungan pertemanan yang terlalu serius. Itu sebabnya tak ada yang pernah dekat dengan Riko. Kini, Riko menjadikan Anjani dan Isabel sebagai temannya. Kecuali Anjani, yang pasti tak akan semudah itu akan dianggap hanya sebatas teman. Jika ada julukan teman terindah, maka Riko akan menyematkannya.
"Oya, boleh nggak aku kenal suamimu juga?" Riko penuh harap.
Jalan pikiran Riko sungguh tak bisa ditebak Anjani.
"Boleh. Main aja ke rumah bareng Isabel waktu hari Minggu. Sekarang, masuk kelas, yuk!" ajak Anjani.
"Baiklah. Saatnya menimba ilmu. Ayo! Eh, hati-hati jalannya. Kamu kan sedang mengandung."
Riko mulai memperlihatkan perhatiannya sebagai seorang teman pada Anjani. Ya, Riko mulai berusaha mengganti perasaan cinta pada dirinya dengan perasaan seorang teman biasa.
"Sok jual mahal. Nyatanya gampangan! Awas saja kau!" desis Marisa yang sedari tadi memperhatikan Anjani dan Riko dari kejauhan.
***
Anjani sedikit kikuk berjalan sambil menggandeng lengan Mario. Malam ini tak ada yang dikenalnya selain Paman Li dan sang suami. Semua yang hadir di pesta berjas dan bergaun indah. Tak jauh beda dengan pakaian yang dikenakan Anjani dan Mario saat ini.
"Mas," lirih Anjani memanggil Mario dengan sapaan barunya.
"Aku belum terbiasa dengan sapaan barumu, Sayang. Tapi aku suka mendengarnya," sahut Mario sembari tersenyum.
"Jangan mudah senyum kayak gitu dong. Di sini banyak wanita cantik, lho. Nanti kalau mereka tertarik gimana?"
"Makanya aku mengajakmu. Gandeng saja terus tanganku. Jangan dilepas! Aku pasti tidak akan bisa mengatasi jika rasa cemburu melandamu!" aku Mario.
Senyum kikuk dilayangkan sebagai tanggapan. Bukan malas menanggapi sang suami, tapi karena Anjani melihat dua orang wanita cantik mendekati.
Obrolan yang sama sekali tidak Anjani pahami pun dimulai. Dua wanita cantik yang menghampiri Mario ternyata membahas bisnis, kerjasama, bahkan bidikan saham baru. Anjani hanya mampu memahaminya sekilas. Selebihnya Anjani tidak tahu-menahu.
Katanya pesta. Ternyata cuma beralih ruang bicara. Yang diobrolin masih saja sama. Batin Anjani.
Sesaat kemudian suasana berubah karena Paman Li menawari Anjani makanan yang terhidang di pesta. Tentu saja Anjani langsung bereaksi hap-hap sana-sini. Apalagi Anjani dalam kondisi doyan makan.
"Sudah kenyang?" tanya Mario dengan senyum jahilnya.
"Lumayan. Beli martabaknya jadi kan, Mas?"
"Aduh! Bakalan gendut betulan nih istriku," canda Mario.
Anjani cemberut. Paman Li terkekeh mendengarnya. Sementara Mario masih saja terus tertawa ringan.
"Yaudah nggak usah! Ayo pulang!" Anjani menggandeng lengan Mario lagi sambil berwajah cemberut.
Pesta selesai. Mario menuruti keinginan Anjani, karena siapa tahu itu keinginan dede bayi. Meski bukan keinginan calon buah hati pun Mario tetap akan menuruti keinginan Anjani.
Mario yang turun untuk mengantri, sementara Anjani disuruh menunggu sambil duduk santai di dalam mobil. Saat menunggu, tetiba saja ada satu pesan masuk ke ponsel Anjani.
Jauhi Riko atau kusebar foto mesramu dengan om-om ini.
Begitulah bunyi pesan singkat dari nomor tak dikenali Anjani. Pesan gambar yang diterima berikutnya justru membuat Anjani tertawa. Ternyata yang dimaksud om-om adalah Mario. Sebuah foto menampilkan sosok Anjani dan Mario di dekat gerbang kampus.
"Hihihihi." Anjani tak bisa menahan tawanya.
"Potongan rambut suamiku memang harus ganti, nih!" celetuk Anjani.
"Apa yang membuatmu tertawa seperti itu, Sayang?" tanya Mario begitu kembali.
"Bukan apa-apa, Mas. Segera pulang, yuk! Di resepsinya Meli nggak boleh kelihatan lelah," ujar Anjani yang teringat dengan rencananya besok ke Jogja, menghadiri resepsi Meli-Azka.
Mario mengangguk. Martabak yang baru dibeli lekas diberikan dan langsung dilahap bersama sang istri.
"Apa kamu sedang kepikiran sesuatu?" tanya Mario.
"Mas, aku pengen lihat potongan rambutmu baru. Besok ya?" pinta Anjani.
"Siap Tuan Putri." Mario setuju.
Sebenarnya Anjani teringat sebutan om-om pada pesan ancaman yang diterimanya.
"Semoga bukan Marisa pengirimnya. Aku benar-benar ingin berteman baik dengan semua. Tapi .... Kalau misal fotonya menyebar, apa yang harus aku jelaskan?" Batin Anjani
Bersambung ....
Suka? LIKE-nya dong buat author. Vote juga sangat boleh lho. like-like, vote-vote.
Mampir juga ke novel pertama author yang berjudul Cinta Strata 1, ya. Kisah Mario-Anjani bermula dari sana. Kenal juga sahabat baiknya Anjani, Meli. Merapat ke novel Menanti Mentari karya my best partner, Kak Cahyanti. Dukung kami 💙
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Mimin Mintarsih
Marisa naksir Riko tp tak terbalaskan
2023-08-17
0
Mimin Mintarsih
Marisa nekad dan bakal kena batunya.
2023-08-17
0
Little Peony
Like like like 👍
2021-03-11
1