Penampilan si pengendara mobil yang mencipratkan genangan air hingga mengotori gamisnya begitu dihafal. Anjani ingat betul warna pakaian, gaya rambut, juga kaca mata hitamnya. Anjani hanya melihatnya sekilas, lantas bergegas masuk ke dalam toilet wanita.
"Cewek yang tadi, tuh!" gumam si lelaki sambil melepas kaca mata hitamnya. "Tungguin dia keluar aja, deh!" putusnya.
Sepuluh menit berlalu. Gamis bagian bawah Anjani tampak belang-belang lantaran bekas air. Sama sekali Anjani tidak masalah dengan itu. Baginya yang terpenting gamisnya sudah tidak mencolok oleh noda campuran air dan tanah.
"Hai cewek!" sapa si lelaki begitu Anjani keluar.
Pikiran Anjani langsung menuduh bahwa lelaki di depannya itu berniat menggodanya. Terbukti dengan sapaan yang dipakai. Bukan salam yang digunakannya.
"Permisi," ucap Anjani sambil berlalu pergi.
"Idih. Dingin banget, sih. Padahal gue mau minta maaf, ya meski gue nggak salah. Sekalian mau ngasih ... tisu." Lelaki itu menatap tisu yang tak sempat dia berikan pada Anjani.
Pandangan Anjani diedarkan. Tengok kiri-kanan mencari sosok Isabel yang baru beberapa menit lalu dia kenal. Ketemu. Isabel sedang berbincang dengan beberapa teman di dekat gazebo.
Langkah Anjani mantap menghampiri. Lagipula Anjani tidak mengenal siapa pun lagi selain Isabel.
"Anjani, duduk sini!" Isabel mengusir beberapa teman lelakinya dan membiarkan Anjani duduk di dekatnya.
"Teman-teman. Kenalin. Namanya Anjani. Mahasiswi baru. Teman sekelas kita." Isabel memperkenalkan pada beberapa teman yang ternyata satu kelas juga dengan Anjani.
Anjani berkenalan dengan beberapa teman wanita, mengetahui satu per satu namanya, lantas menjabat tangan mereka. Sementara kepada teman lelaki, Anjani menjaga sikap dengan hanya mengatupkan kedua tangan di depan dada.
Rupanya penampilan Anjani yang santun dan islami membuat teman-teman yang baru dikenalnya menaruh rasa sungkan. Mereka begitu sopan pada Anjani. Hanya beberapa saja yang masih dikenal Anjani. Namun, Anjani berharap teman-teman sekelas lainnya juga akan bersikap sama padanya.
"Kenalan laginya ntar-ntar aja ya. Aku mau antar Anjani keliling gedung. Biar makin betah di kampus ini." Isabel pamit dan mengajak Anjani berkeliling.
Perasaan nyaman perlahan mulai menghampiri. Anjani senang bisa mengenal Isabel yang begitu ramah dan peduli. Sedari tadi Isabel terus berceloteh tanpa henti sambil mengenalkan ruangan-ruangan yang biasa digunakan untuk kuliah di jurusan ekonomi.
Anjani mengamati mahasiswa-mahasiswi yang sedari tadi banyak berpapasan dengannya. Anjani langsung bisa menyimpulkan bahwa penampilan dirinya tergolong minoritas. Kebanyakan penampilan mereka modis, dengan tren rambut terbaru. Sebagian lagi ada yang berhijab, tapi yang terjulur sampai menutupi bagian dada hanya sebagian kecil saja.
"Mereka modis-modis," ungkap Anjani.
"Begitulah. Kebanyakan mengikuti fashion terkini. Eh tapi kamu jangan minder, ya. Kamu malah lebih cantik dari mereka," puji Isabel.
"Hihi. Cantik itu dari hati, Bel. Oya, kalau sistim perkuliahannya gimana?" Anjani ingin lebih tahu.
"Sama aja kok kayak di kampus lain. Pemrograman sendiri, ikut kelas, tugas, kadang online. Yaa, seperti kampus pada umumnya. Cuma, kadang ada even-even buat mahasiswa. Studi banding lihat-lihat ke kampus lain juga pernah, loh."
"Oh ya? Pernah sampai ke luar Jakarta, nggak? Misal studi bandingnya ke Jogja?" Anjani membuat pemisalan.
Tetiba saja Anjani teringat Meli. Pastilah sabahat baiknya itu sedang menikmati kehidupan barunya bersama sang suami. Kampus Meli juga baru di Jogja sana. Teman-teman Meli juga pastilah banyak yang baru.
"Kalau ke Jogja sih belum pernah. Kenapa nyebut Jogja? Ada orang yang kamu suka ya di sana?" selidik Isabel setengah bercanda.
"Sahabat baikku di Jogja. Namanya Meli. Dia juga baru pindah kampus di sana, sama sepertiku," jelas Anjani.
"Wah, senangnya yang punya sahabat masih terus terjaga komunikasinya. Sahabatku yang baru pindah malah udah nggak bisa dihubungi nomor ponselnya. Huft. Persiapan masuk kelas aja yuk!" ajak Isabel.
Anjani melirik jam yang melingkar di tangan. Benar saja, sebentar lagi kelas berikutnya dimulai. Kali ini Anjani tidak takut terlambat lagi karena sudah mengenal ruangan-ruangannya.
Anjani duduk di paling depan, persis di sebelah Isabel. Begitu sudah duduk tenang, dari arah pintu terlihat lelaki yang tadi berkacamata hitam. Anjani mengabaikannya, lebih memilih untuk mengecek pesan di smartphone-nya.
Berbanding terbalik dengan sikap Anjani, si lelaki justru tersenyum dan mendekatkan langkah hingga ke depan tempat duduk Anjani.
"Kenalin. Nama gue Riko." Riko langsung menjulurkan tangan kanan hendak bersalaman.
Anjani langsung menangkap bahwa lelaki bernama Riko itu teman sekelasnya. Lekas dikatupkannya kedua tangan di depan dada sambil tersenyum sekilas.
"Anjani," ucap Anjani memperkenalkan diri.
Riko kikuk sendiri karena tangannya bersambut angin. Dari arah belakang, terdengar celetukan dari seorang wanita yang penampilannya paling modis dibanding lainnya.
"Cewek alim lu ajak kenalan, Rik. Jual mahal tuh! Mending sini aja lebih kenal sama gue," celetuk si cewek yang dikenal dengan nama Marisa.
Anjani terdiam mendengar celetukan itu. Akan tetapi, tak sampai diambil hati. Saat di Jember dulu, awal-awal masa kuliahnya juga ditemuinya sosok yang seperti Marisa. Seiring berjalannya waktu, semua pun berubah. Anjani percaya bahwa kehidupannya di Jakarta juga akan selalu diselimuti kemudahan.
"Anjani, slow aja, ya. Ambil yang baik-baik aja," bisik Isabel dan langsung ditanggapi anggukan oleh Anjani.
Rupanya lelaki yang bernama Riko itu tak menanggapi ocehan Marisa. Sedari tadi tatapan mata Riko tertuju pada Anjani.
"Maaf. Riko. Dosen datang," kode Anjani.
Seketika Riko menoleh ke arah pintu. Benar saja, pria berpakaian rapi, bersepatu hitam, tengah melangkah mantap menuju depan kelas.
Perkuliahan dimulai. Dosen sempat berkenalan sebentar dengan Anjani sebelum memulai kelas. Anjani begitu nyaman mengikuti mata kuliah di jam itu. Dosennya penuh canda. Mahasiswa pun auto tertawa sambil mencerna mata kuliah.
"Tinggal satu mata kuliah lagi, kan?" tanya Anjani begitu selesai kelas.
"Ini yang terakhir. Kelas berikutnya di-cancel jadwal. Oya, kamu belum kumasukin grup chat angkatan. Bentar, ya. Sekalian sini aku minta nomor ponselmu," pinta Isabel.
Ponsel segera dikeluarkan. Anjani saling bertukar nomor ponsel dengan Isabel. Tanpa disadari Anjani, rupanya Riko yang sedari tadi menguping juga mencatat nomor ponsel Anjani yang didiktekan pada Isabel.
"Kamu cewek pertama yang memikat hatiku, Anjani. Maafin kelakuan ban mobilku yang menodai pakaianmu tadi, ya." Batin Riko seraya menyimpan nomor Anjani dan memberinya nama 'my love' di kontaknya.
Beriringan langkah, Anjani dan Isabel meninggalkan kelas. Jarum jam masih mendekati pukul 10, sedangkan Anjani meminta jemput sopir pukul 11. Sebenarnya tidak masalah, Anjani tinggal menelepon Pak Gun untuk menjemputnya.
"Kamu mau langsung pulang? Ikut aku bentar yuk! Tadi teman-teman organisasi ada yang bawa durian. Ikut nimbrung aja bentar. Biar lebih kenal," ajak Isabel.
Sebenarnya Anjani merasa sedikit lelah karena tadi terlalu banyak berkeliling mengenal ruangan. Demi menghormati ajakan Isabel, Anjani pun memilih ikut. Langkah mereka masih beberapa meter lagi sebelum sampai ke kerumunan beberapa mahasiswa yang sedang asik menyantap durian di pelataran luas bagian taman belakang. Aroma durian sudah tercium harum sekali.
"Huweeeek!" Anjani mual.
"Eh? Anjani, kamu tidak apa-apa?" Isabel panik.
Anjani menggeleng pelan, tapi kemudian ....
"Huweeeek!" Anjani kembali mual.
"Maaf, Bel. Sepertinya aku tidak bisa mencium bau yang terlalu menyengat. Aku ke kantin aja ya. Mau beli teh hangat," ujar Anjani sambil memegangi perutnya.
"Oke-oke. Aku temani. Kamu duduk saja dulu di gazebo. Em, yang sebelah sana saja." Isabel mencari gazebo dekat dengan parkiran. "Duduk sini sebentar, aku belikan teh hangat." Isabel gesit melangkah.
Anjani memijit pelan keningnya. Diusapnya juga perut datarnya.
"Maafin bunda, ya Nak. Bunda sedikit lelah," gumam Anjani tersenyum sendiri sambil mengusap-usap perut datarnya.
"Hei, cantik!"
Riko tiba-tiba muncul. Anjani langsung memperbaiki posisi duduknya. Senyum sekilas dilayangkan pada Riko.
"Eh, kok pucat? Lagi nggak enak badan, ya? Aku belikan minum dulu, ya."
"Tidak perlu. Isabel sudah ke kantin beli teh hangat untukku kok. Terima kasih." Anjani mencegah.
Riko langsung mengambil posisi duduk persis di depan Anjani.
"Kamu tinggal di mana? Aku antar pulang, ya?" Riko berpangku tangan sambil menatap Anjani.
"Tidak perlu juga. Terima kasih. Aku dijemput," ungkap Anjani tanpa basa-basi lagi.
"Baiklah kalau begitu." Riko sedikit kecewa.
Isabel datang dengan teh hangatnya. Dia langsung mengusir Riko.
"Rik, jangan deket-deket Anjani, deh. Kalau Marisa tau pasti gawat," celetuk Isabel.
"Emang Marisa siapanya gue? Gue ini warga negara yang bebas. Bodo amat sama Marisa. Nggak level!" sahut Riko.
Riko adalah salah satu idola di jurusan ekonomi. Berparas tampan, sedikit tengil, tapi penampilannya modis. Banyak yang menaruh hati pada Riko, tapi Riko masa bodo dengan perasaan mereka.
"Terserah aja deh. Sana-sana. Aku mau mijitin lehernya Anjani." Isabel begitu perhatian.
"Gitu amat sih ngusir gue. Yaudah. Bye-bye, Anjani. Sampai ketemu besok!" Riko pamit pulang dulu.
Anjani tidak begitu merespon. Dia terus menyesap teh hangat.
"Sudah lebih baik?" tanya Isabel.
"Alhamdulillaah. Oya, harga tehnya berapa tadi?" Anjani berniat mengganti.
"Yaelah, Anjani. Nggak perlu diganti. Mulai hari ini kita berteman. Semoga aku yang apa adanya ini tidak jauh beda dengan sahabatmu yang namanya Meli itu." Isabel begitu ramah.
"Makasih, Bel. Aamiin. Oya, Riko emang gitu ya sikapnya sama wanita?" selidik Anjani.
"Nggak sama sekali. Biasanya bodo amat. Sepertinya Riko naksir kamu," tebak Isabel.
"Aduh. Jangan sampai itu terjadi!" doa Anjani.
"Loh emang kenapa? Riko tampan loh. Cocok banget sama kamu," ungkap Isabel.
Baru saja Anjani hendak menanggapi, tetiba saja ponselnya berdering. Mario yang menelepon saat itu. Segera saja Anjani menerima panggilan suara itu.
"Assalamu'alaikum," salam Anjani.
Meski tak melihat wajah Anjani, tapi Mario bisa merasakan sesuatu telah terjadi hanya dari mendengar nada suara Anjani.
"Wa'alaikumsalam. Sayang, kamu baik-baik saja?" selidik Mario. "Tidak-tidak. Kamu sudah dapat teman baru kan di kampus? Coba berikan ponselmu padanya," perintah Mario.
Anjani menurut dan memberikan ponselnya pada Isabel. Semula Isabel bingung, tapi Anjani memberi kode untuk menjawab apa saja yang ditanyakan via telepon itu.
"Iya halo?" Isabel menyapa.
"Maaf, saya Mario. Suaminya Anjani. Apa istri saya baik-baik saja?"
"Su-suami?" Isabel terkejut mendengar fakta itu. Anjani yang peka langsung memberi isyarat bahwa nanti akan memberi penjelasan padanya.
"Halo?" Mario mengecek suara Isabel.
"I-iya. Nama saya Isabel. Teman barunya Anjani. Em, tadi Anjani sedikit mual karena mencium aroma durian. Dan .... Aaaa, Anjani. Jangan-jangan kamu sedang hamil muda, ya?" Isabel terkejut dengan dugaannya sendiri. Dia melihat ke arah Anjani yang menampakkan mimik wajah yang sulit diartikan.
"Halo, Isabel. Iya, istriku sedang hamil muda. Tolong bilangkan padanya aku segera menuju kampus untuk menjemputnya," ujar Mario.
Isabel mengiyakan. "Anjani, kamu mau dijemput suamimu," terang Isabel mengulang kata-kata Mario.
"Eh, tidak-tidak." Anjani mengambil alih ponselnya lagi. "Halo, Sayang. Aku sudah tidak apa-apa. Tadi cuma sedikit mual. Sudah jauh lebih baik. Sungguh. Percayalah padaku," terang Anjani.
Terdengar helaan nafas dari Mario. Mario mencoba untuk tidak bersikap over protektif pada sang istri.
"Baiklah. Kamu baik-baik, ya. Minta Pak Gun untuk mengantarmu kemana saja. I love you, Sayang."
"Love you, too."
Anjani lega karena Mario terlihat mengalah. Namun, detik berikutnya keputusan berubah.
"Tidak-tidak. Aku ke kampusmu sekarang. Tunggu aku. Assalamu'alaikum."
"Sayang, aku .... Yah. Wa'alaikumsalam."
Panggilan telah diakhiri Mario. Mau tidak mau Anjani harus menunggu Mario datang menemuinya di kampus. Pandangan Anjani beralih pada Isabel. Tatapan mata Isabel megisyaratkan agar Anjani segera memberi penjelasan atas status dirinya.
Bersambung ....
Suka? LIKE-nya dong buat author. Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Mampir juga ke novel pertama author yang berjudul Cinta Strata 1, ya. Kisah Mario-Anjani bermula dari sana. Kenal juga sahabat baiknya Anjani, Meli. Merapat ke novel Menanti Mentari karya my best partner, Kak Cahyanti. Dukung kami 💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Mimin Mintarsih
Semoga Anjani nyaman di kampus baru
2023-08-15
0
Dhina ♑
⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐
2021-08-08
0
rita deliyanti
kalo futian ngsk kita mkn tercium bsuknya ya gitu jd mual 🤭😂
2021-03-27
2