Takdirku Bersamamu
Roda kehidupan terus berputar. Masa dua tahun lalu, teramat jauh berbeda dengan masa sekarang. Adinda Dewi Anjani, yang dua tahun lalu kabur ke kota demi menghindari perjodohan dengan anak kepala desa, kini telah terikat janji suci dengan Mario Dana Putra.
Tepat di semester 6 masa kuliah, Anjani pindah kuliah di Jakarta. Dengan bantuan Mario proses pengurusan perpindahan kuliah begitu cepat dan lancar. Sementara Mario sendiri telah melewati masa skripsi dan lulus lebih awal karena kecerdasan otaknya.
"Besok hari pertamamu kuliah di kampus baru. Mau kuantar lihat-lihat dulu sore ini?" Mario menawari.
"Tidak perlu. Sekalian saja besok. Lagipula sore ini kan kamu harus bertemu tangan kanan ayah demi jabatan barumu di induk perusahaan." Anjani mengingatkan jadwal penting itu.
Anggukan kecil pun meluncur. Mario memang dijadwalkan bertemu tangan kanan John, sang ayah. Mario diberi amanah untuk menjadi wakil direktur di induk perusahaan milik sang ayah. Selama setahun penuh Mario akan menduduki jabatan itu, sebelum akhirnya nanti akan menduduki jabatan direktur utama.
"Apa kamu mengkhawatirkannya?" Anjani meraih tangan Mario dan meletakkan di perut datarnya.
"Iya, Sayang. Tapi aku percaya, bersamamu calon buah hati kita akan selalu terjaga. Jangan terlalu lelah, ya!" nasihat Mario sambil mengusap-usap perut datar Anjani.
"Insya Allah. Sayangku yang semangat ya kerjanya. Aku percaya kamu bisa." Anjani membesarkan hati Mario.
Mario begitu mencintai Anjani. Apalagi, kini ada calon buah hati mereka. Meski usianya baru enam minggu masa kehamilan, tapi sudah menjadi hal yang membahagiakan.
Mario-Anjani tinggal berdua, ditemani oleh dua asisten rumah tangga dan seorang sopir di rumah baru mereka. Sengaja Mario memilih tempat tinggal di area perkampungan biasa, agar Anjani bisa lebih berinteraksi dengan para tetangga. Tidak ada pula security ataupun bodyguard seperti di rumah lama mereka. Meski tinggal di area perkampungan biasa, tapi rumah Mario-Anjani tetaplah paling megah dan besar dibanding rumah-rumah di sekitarnya.
Ayah-ibu mertua Anjani, yakni orangtua Mario tidak ikut tinggal di Jakarta. Orang tua Mario, John dan Mommy Monika memilih tinggal di luar negeri dengan kepemilikan saham baru di salah satu perusahaan besar di Jerman. Untuk induk perusahaan di Jakarta, saham telah sepenuhnya diwariskan kepada Mario.
"Alenna sama Mas Rangga apa jadi mampir ke sini?" Anjani bertanya perihal kedatangan adik Mario beserta suaminya.
"Sepertinya tidak jadi hari ini. Alenna baru saja mengambil alih jabatan di cabang induk perusahaan. Sedangkan Rangga, pasti sedang sibuk di ruko barunya. Biarkan saja mereka berdua seperti itu. Untung ayah punya ide memindahtugaskan Alenna di kantor cabang. Jadi Alenna bisa sering-sering mengunjungi Rangga di rukonya. Alenna benar-benar takut jika Rangga selingkuh," jelas Mario diiringi tawa ringan.
Anjani ikut-ikutan tertawa mengingat kekonyolan kisah asmara Alenna dan Rangga.
"Jarak kantor Alenna dan ruko Mas Rangga berdekatan, ya? Kalau dari kantormu?" Anjani ingin tahu.
"Kantor Alenna dan ruko dekat, kok. Kalau kantorku jauh dari tempat mereka. Rumah kita ini juga lumayan jauh jaraknya. Tapi kalau kamu ingin ketemu mereka, maka aku dengan senang hati akan mengantarmu, Sayang." Mario penuh cinta.
"Kapan-kapan kita ke sana, ya. Sekarang, kamu istirahat dulu saja. Aku mau bantu Mbok Darmi sama Mbak Lastri menyiapkan makan siang dulu."
Baru saja Anjani mau beranjak, Mario lebih dulu mencegahnya.
"Mending kamu juga istirahat. Anak kita minta rebahan, tuh! Ayo!" ajak Mario.
"Eeeem. Mulai modus, deh. Pasti ayahnya nih yang minta dimanja!" Anjani mencubit gemas perut Mario.
Tawa ringan kembali mengiringi. Mario pun membiarkan Anjani membantu dua asisten rumah tangga mereka menyiapkan makan siang. Sementara Mario sendiri memilih menuju teras untuk menemui Pak Gun, sopir di rumah itu.
"Pak Gun, lagi apa nih?" Mario basa-basi. Mengingat baru kemarin dia resmi pindah di rumah itu. Itung-itung mengakrabkan diri.
"Ini habis telepon anak istri. Mereka senang sekali saya dapat pekerjaan di Jakarta. Terima kasih banyak, tuan dan nona sudah memberi saya pekerjaan ini." Pak Gun penuh syukur.
"Sama-sama, Pak. Ikut senang dengarnya." Mario melihat gurat senyum bahagia di wajah Pak Gun.
"Tugas Pak Gun mulai besok mengantar istri saya kemana pun dia pergi. Terutama saat ke kampus. Istri saya sedang hamil muda, Pak." Mario memberi tahu.
"Masya Allah. Bakal ada Tuan Muda kecil nih di rumah ini. Insya Allah, saya siap menjalankan tugas dengan baik."
Perlahan, Mario mulai mengenal orang-orang baru di sekitarnya. Begitu pula dengan Anjani yang akan segera pula mengenal lingkungan kampus barunya.
***
Pagi menjelang. Mendekati pukul setengah tujuh, Anjani membantu Mario bersiap.
"Suamiku tampan betul. Benar-benar mirip pekerja kantoran," puji Anjani sambil melingkarkan dasi di kra kemeja Mario.
"Kamu ini, ya." Mario mencubit gemas hidung Anjani. "Suamimu ini memang pekerja kantoran. Pebisnis. Wakil direktur." Mario mulai membanggakan dirinya agar lebih dipuji oleh sang istri.
"Iya-iya. Nah, selesai. Sayangku jaga hati juga ya di kantor. Pasti karyawan di sana cantik-cantik. Pakaiannya .... Heem, pasti aduhai." Anjani malah membayangkan yang tidak-tidak.
"Terserah mau seperti apa penampilan mereka. Yang jelas, saat ini kamulah istriku. Calon ibu dari anak-anakku. Tetap yang paling cantik untukku."
"Gombal! Udah, ah. Ayo sarapan!" Anjani menggandeng tangan Mario menuju meja makan.
Sarapan pagi dilewati dengan saling memberi semangat. Mario akan mulai bekerja di kantor barunya, sedangkan Anjani akan mulai kuliah di kampus barunya.
Mendekati pukul tujuh, Mario pamit berangkat lebih dulu. Rentetan pesan untuk Anjani tak lupa pula tersuguh.
"Aku akan pulang pukul empat sore. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Cari teman baru yang baik seperti Meli sahabatmu. Pilih-pilih teman tidak apa-apa. Pilih yang baik saja, agar pergaulanmu juga ikut baik," nasihat Mario.
"Insya Allah aku akan menemukan yang seperti Meli," sahut Anjani.
"Jangan sampai telat makan siang ya, Sayang. Minum susu ibu hamilnya juga. Sudah aku belikan satu paket. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku. Satu lagi. Kamu ini cantik, jadi jaga hati untukku." Mario mendadak jadi over protektif.
"Iya-iya-iya. Akan kuingat semuanya. Sekarang kamu berangkat, ya. Hari pertama jangan sampai terlambat," saran Anjani.
Mario memeluk Anjani penuh cinta. Satu kecupan di kening pun tak lupa.
"Assalamu'alaikum, istriku."
"Wa'alaikumsalam."
Mario berangkat dengan mengemudikan mobilnya sendiri. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di kantornya.
"Pak Gun, saya siap-siap dulu, ya. Tolong antar saya ke kampus jam setengah delapan," pinta Anjani.
"Siap laksanakan, Non!"
***
Hari pertama yang sungguh di luar dugaan. Rupanya Anjani salah membaca jadwal. Seharusnya ada jadwal mata kuliah pukul tujuh pagi tadi. Sekarang sudah hampir pukul delapan dan Anjani baru sampai di kampusnya.
"Pak, nanti tolong jemput saya pukul sebelas siang, ya. Tapi nanti saya hubungi lagi, takutnya ada perubahan. Stop-stop, Pak. Saya turun di sini saja!" pinta Anjani.
"Loh, Non. Ini masih di pintu gerbang jurusan ekonomi. Sekalian saja saya antar sampai depan gedung. Nanggung, Non," terang Pak Gun.
Sebenarnya Anjani kurang biasa diantar mobil mewah menuju kampus. Di kampusnya yang dulu Anjani malah sering dibonceng Meli sahabatnya, naik motor sendiri atau bahkan naik bentor.
"Tidak apa-apa, Pak. Sekalian saya kenalan sama jalan kampusnya. Sudah ya, Pak. Assalamu'alaikum." Anjani buru-buru turun dari mobil.
"Wa'alaikumsalam. Eh, tasnya, Non!" seru Pak Gun.
"Astaghfirullah. Udah telat, tas pakek acara hampir ketinggalan pula. Makasih, Pak Gun."
Kali ini Anjani memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal lagi. Begitu mobil Pak Gun pergi, Anjani mulai melangkah memasuki area jurusan ekonomi. Anjani sedikit kebingungan juga karena belum mengenal bagian dalamnya.
Terlambat. Tas hampir tertinggal. Bingung karena tidak mengenal area kampus. Lalu, apa lagi setelah ini?
"Aw!" Anjani memekik tertahan. "Astaghfirullah!" imbuhnya.
Satu mobil yang kebetulan lewat, ban mobilnya mencipratkan genangan air kotor. Bagian bawah gamis Anjani jadi korbannya. Mobil itu berhenti. Kaca mobil yang diturunkan langsung memperlihatkan wajah tampan yang terbalut kaca mata hitam.
"Gue nggak akan minta maaf. Salah lu sendiri jalannya terlalu minggir. Trotoar tuh di sana!" seru pengendara, dan langsung tancap gas lagi.
Anjani tak mampu menanggapi. Sebagian ucapan si pemilik mobil benar. Anjani salah.
"Biar sudah. Aku ikut kelas berikutnya saja."
Anjani pasrah. Dia tak lagi mengejar kelas mata kuliah yang pukul tujuh. Toilet menjadi lebih penting kali ini untuk membersihkan gamisnya. Namun, baru saja Anjani mau beranjak pergi, tetiba saja ada yang menyapanya.
"Permisi, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang laki-laki, dan di sebelahnya ada seorang wanita berambut sebahu.
Anjani langsung menoleh, tapi tidak langsung menanggapi pertanyaannya.
"Mbak mahasiswi baru? Kok sepertinya bingung gitu?" tebak si lelaki.
"Iya. Saya baru pindah ke kampus ini. Dan ... saya bingung mencari gedung tempat kuliahnya di mana," aku Anjani.
"Mbak ini yang pindahan dari Jember itukah?" Si wanita yang kali ini bertanya.
"Benar. Saya pindahan dari Jember. Kok mbak ini bisa tau?" selidik Anjani.
"Kenalkan. Namaku Isabel. Kita ada di semester yang sama, dan jadwal kuliahnya juga pasti sama. Kebetulan juga aku ada di kepengurusan BEM. Jadi sedikit tau tentang mahasiswi pindahan."
Secercah cahaya seketika menyorotkan titik terang. Anjani senang akhirnya bertemu orang yang bisa diajak berteman.
"Alhamdulillaah. Namaku Anjani. Salam kenal." Anjani menjabat tangan Isabel.
"Syukur deh kalau begitu. Oya, kenalkan juga. Namaku Bastian, kakaknya Isabel. Kalau aku ada di semester akhir."
"Jurusan ekonomi juga?" tanya Anjani.
"Bukan. Aku ambil jurusan hubungan internasional. Kebetulan gedungnya sebelahan sama gedung jurusan ekonomi. Tuh! Bel, berteman yang baik sama Anjani, ya. Anak baru tuh!" nasihat Bastian pada sang adik.
"Iya, bawel. Bakal kujagain. Ntar kau pacarin juga Anjani. Yuk! Kita tinggalin aja kakakku ini." Isabel menarik lengan Anjani pelan agar mengikutinya.
Anjani menurut. Dilihatnya Bastian langsung mengubah arah tujuan begitu ada seseorang yang dikenalnya menyapa.
"Em, kalau jadwal kuliah kita sama, berarti kamu telat datang kuliah juga dong yang jam 7?" tanya Anjani memastikan jadwal yang dilihatnya.
"Hehe. Emang iya. Tadi sulit cari angkot. Mau pesan ojek, eh HP lagi dijahilin sama kakakku yang bawel tadi. Yaudah deh. Telat juga!" Isabel santai-santai saja menjelaskannya.
"Boleh antar aku ke kamar mandi dulu. Mau bersihin gamisku ini," ungkap Anjani.
Isabel dengan senang hati mengantar Anjani. Lagipula ada jeda sekitar empat puluh lima menit sebelum jadwal kuliah lainnya dimulai. Isabel juga berniat mengantar Anjani berkeliling sebentar lihat-lihat area kampus jurusan ekonomi.
"Aku tunggu sini, ya. Toilet wanita yang sebelah kanan," terang Isabel.
Anjani lekas menuju arah yang diberitahukan Isabel. Baru saja Anjani mau memasuki area toilet wanita, tiba-tiba saja dari arah toilet pria keluar lelaki yang tadi mobilnya mencipratkan genangan air hingga mengotori gamisnya.
Bersambung ....
Suka? Likenya buat author, dong. Mohon dukungannya, ya. Terima kasih sudah mampir dan membaca. 💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Seuntai Kata
Assalamualaikum, aku mampir, Kak. Awal yang menarik 😍😘.
2023-01-05
0
Dhina ♑
👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
2021-08-08
0
TK
like yg blm di like 👍
2021-05-10
0