Akhirnya jam kerja di restoran itupun selesai, terlihat beberapa karyawan sedang membereskan meja dan kursi. Adapula yang sedang menganti baju seragam di ruang ganti karyawan, mereka bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing.
Begitupun dengan Ara, ia sedang sibuk mengikat rambutnya di depan cermin besar yang ada di ruangan ganti itu, setelah selesai mengganti baju.
Tiba-tiba saja Amel menghampiri Ara lalu menarik ikat rambut Ara hingga rambutnya tergerai kembali.
"Hey ... apa-apaan, sih? balikin, nggak?" Amel sontak berbalik badan, tangan kanannya menadah meminta ikat rambutnya dikembalikan. Suaranya yang sedikit berteriak, membuat karyawan lain ikut menoleh ke arahnya dan Amel, tetapi hanya sejenak sebelum kemudian mereka pun sibuk dengan urusan masing-masing.
Amel hanya tersenyum, lalu menyimpan ikat rambut itu di sakunya. "Biarin kayak gitu! Kamu lebih cantik dengan rambutmu yang terurai. Lihat, deh!" seru Amel sambil membalikkan tubuh Ara menghadap cermin lagi. "Tuh ... cantik, 'kan?" imbuhnya lagi.
Ara menatap pantulan wajahnya di cermin, pipinya mendadak merona, lalu menyentuh rambutnya sampai akhirnya dia tersadar kembali. "Eh ... aku nggak suka rambutku digerai, nanti gampang berantakan," seru Ara menepis rasa percaya dirinya.
"Nggak akan. Percaya, deh! Bentar lagi 'kan, kamu mau nonton sama—"
Ara membungkam mulut Amel dengan tangannya sebelum dia menyelesaikan omongannya. "Bisa nggak, sih, kamu jaga bicaramu! Di sini masih banyak karyawan lain," bisik Ara di telinga Amel, lalu melepaskan bekapannya. Kedua bola matanya melotot penuh peringatan.
"Ah ... iya, aku lupa. Sorry, sorry." Amel melebarkan senyumnya sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dering suara ponsel milik Ara begitu nyaring terdengar. Ada satu panggilan masuk di sana, Ara pun merogoh saku celananya, untuk mengambil benda pipih yang berbunyi tanpa henti. Terlihat panggilan itu berasal dari bosnya—Daniel. Ara pun menyentuh tombol angkat, lalu mendekatkan ponselnya di telinga.
"Hallo ...." ucap Ara.
"Ara, aku sudah menunggumu di depan halte, kamu nggak lupa 'kan, kalau aku mengajakmu nonton malam ini?" terdengar suara Danil di seberang telepon.
"Iya aku nggak lupa, aku akan segera ke sana." Setelah berkata seperti itu Ara mengakhiri panggilan telepon mereka.
"Aku pergi dulu, ya!" pamitnya pada Amel. Amel mengangguk sembari tersenyum.
Ara menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan, seolah memberikan kekuatan kepadanya. Sejenak Ara menatap pantulan wajahnya di cermin, sebelum kemudian ia melangkah pergi tanpa mempermasalahkan lagi rambutnya yang tergerai. Kali ini Amel tidak berkomentar, ia pun mengikuti langkah Ara dari belakang.
"Ara, semangat!" seru Amel ketika mereka sudah keluar dari restoran.
Ara menoleh ke arah Amel yang berada di belakangnya, lalu melemparkan senyum manisnya. Ia melambaikan tangannya seraya pergi dari tempat itu untuk menemui Daniel yang sudah menunggunya di halte bus.
***
Tak lama sampailah Ara di halte bus, terlihat mobil Daniel sudah terparkir tak jauh dari sana. Ara menghampiri mobil itu, lalu mengetuk pintu mobil Daniel sambil membungkukkan sedikit badannya, Daniel menurunkan kaca mobilnya dan menyuruh Ara untuk masuk.
Ara duduk di samping Daniel. Mobil pun melaju perlahan membelah jalanan. Suasana di dalam mobil hening seketika, Danil sesekali mencuri pandang ke arah Ara dan itu membuat Ara menjadi sedikit risih.
"Kenapa Bapak lihatin aku kayak gitu?" tanya Ara memecah keheningan.
Danil terhenyak, ia merasa gugup. "Kamu terlihat beda banget dengan rambutmu yang tergerai kayak gitu," ucap Daniel sambil menatap ke depan jalan, tetapi sesekali melirik pada Ara.
Ara terdiam, dia langsung menoleh ke arah kaca spion yang berada di sisi mobil dekat dirinya, tentu untuk melihat pantulan wajahnya di sana. "Apa aku terlihat aneh?" tanya Ara sambil memegang rambutnya.
"Tentu aja nggak, kamu terlihat sangat cantik ..." Daniel tersenyum, "selama ini kamu selalu mengikat rambutmu, aku baru lihat kamu kayak gini," puji Daniel.
Semburat merah tercetak indah di kedua pipi Ara. Dia tersipu, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jendela mobil. Melihat pemandangan jalan yang dilintasinya, agak si bos tidak bisa melihat wajahnya yang merah seperti tomat. "Bapak terlalu memuji, tadi ikat rambutku hilang jadi aku terpaksa menggeraikan rambutku." Ara mencari alasan.
"Tolong jangan panggil aku Bapak terus! Aku jadi sangat tua dengan panggilan itu, lagi pula ini bukan di restoran," pinta Daniel. "Panggil saja Kakak!" tambahnya kemudian.
Ara menoleh ke arah Danil lalu tersenyum kikuk. "Hmm ... baiklah Kak ... Daniel." Ara merasa canggung.
"Terdengar lebih baik, 'kan?" seloroh Daniel lalu membalas senyum Ara.
***
"Kamu suka filmnya, Ra?" tanya Daniel ketika mereka sedang berjalan di sekitar taman kota setelah selesai menonton film.
"Hmm ...." Ara hanya bergumam seraya menganggukkan kepala untuk menanggapinya.
"Maaf aku mengajakmu kesini dulu sebelum mengantarmu pulang, ada yang ingin kukatakan sama kamu," ujar Daniel. Lelaki itu tahu Ara keberatan ketika dia mengajaknya mampir di taman kota, tetapi Ara sudah terlanjur menerima ajakan Daniel untuk jalan-jalan, setidaknya untuk kali ini saja Ara menuruti Daniel.
Ara berhenti berjalan, lalu menoleh ke arah Daniel "Mengatakan apa?" tanyanya.
Tiba-tiba saja Daniel berjalan ke depan lalu menghadap ke arah Ara, kemudian berjongkok di depannya. Ia mengeluarkan sebuah kotak merah berisi cincin di dalamnya.
"Ara, aku ingin mengatakannya lagi, kalau aku menyukaimu, lebih tepatnya mencintaimu, apa ... kamu mau jadi kekasihku? Eh, bukan kekasih, melainkan istri." Untuk kesekian kalinya lelaki itu mengungkapkan perasaannya pada Ara. Dan kali ini sepertinya lebih serius dari sebelumnya. Daniel bahkan berani melamar Ara.
Ara terkesiap, ia membelalakkan matanya lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya, "Kak Daniel melamar aku?" tanyanya kemudian.
"Ya," jawab Daniel dengan yakin, masih dengan posisi jongkoknya.
Ara sejenak membisu, kebingungan melanda pikiran gadis itu. Ia pun menghela napas kasar sebelum kemudian memberikan jawaban.
"Maaf kak Daniel, aku nggak bisa nerima kamu, aku belum bisa membuka hatiku untuk laki-laki lain." Jawaban Ara masih sama seperti sebelumnya.
Lagi, Daniel harus menelan kecewa. Embusan napasnya terdengar pasrah, seolah dirinya begitu sangat lelah. Ingin rasanya memaksa Ara untuk menerima cintanya. Jika memang alasannya seperti itu, apa salahnya jika mereka mencoba untuk bersama. Mungkin saja mereka akan bahagia. Lelaki itu lantas berdiri lalu memegang pundak Ara. "Sampai kapan Ara? Sampai kapan kamu bisa melupakan laki-laki itu? Dia telah meninggalkanmu, dia tidak pantas untukmu. Lupakan dia! moveon-lah!" seru Danil dengan sedikit memaksa.
Daniel sudah jatuh hati pada Ara sejak pertama kali gadis itu menginjakkan kakinya di restoran Daniel. Daniel menyebutnya sebagai cinta pada pandangan pertama. Kata orang, cinta pertama itu haruslah diperjuangkan, dan lelaki itu pun melakukannya.
"Aku ... aku nggak tahu, Kak," lirih Ara.
Daniel sedikit kecewa mendengar jawaban Ara. "Aku bisa mengerti, ayo pulang!" ajak Daniel dengan nada melemah, tangannya pun sudah lepas dari bahu Ara. Laki-laki itu tidak mau kalau sampai Ara jadi membenci dirinya, jikalau dia memaksakan perasaannya.
Ara merasa bersalah sekali, tetapi dia tidak mau membohongi perasaannya pada Daniel, mulutnya bisa berbohong, tetapi hatinya tetaplah kosong.
Daniel menggiring Ara masuk ke dalam mobil, Ara yang sudah duduk di samping Daniel tampak gugup. "Kak Daniel, aku terus nolak kamu. Apa ... aku akan dipecat?" tanya Ara dengan berhati-hati.
Daniel sontak menoleh pada Ara, lalu dia tertawa "Tentu saja nggak, kenapa mikir kayak gitu?" terang Daniel disela tawanya. "Eh, tapi ada syaratnya. Aku nggak akan pecat kamu asalkan kamu nggak bersikap segan dan dingin lagi sama aku walaupun itu di restoran," pinta Daniel memberitahu syarat.
"Mana bisa? Kak Daniel atasanku," sergah Ara tidak enak hati.
"Aku tidak peduli, kecuali jika kamu ingin kupecat," ancam Daniel.
Ara menelan ludahnya dengan berat, bosnya itu memang keras kepala. Dia tidak boleh kehilangan pekerjaannya. Tidaklah mudah untuk mencari pekerjaan lain di kota besar. "Baiklah Kak, aku setuju," tegas Ara, " tapi Kak Daniel juga harus janji, jangan pernah menunjukkan sikap, kalau Kak Daniel suka sama aku. Aku nggak mau mereka salah paham."
Danil tersenyum tipis. "Oke, setuju ... satu lagi, tetaplah panggil aku dengan sebutan 'kakak'! Aku suka mendengarnya."
Ara berdecak pelan, banyak sekali syaratnya. Namun, gadis itu hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan tanda setuju. Daniel tersenyum senang, walaupun sudah ditolak lagi, ia merasa sudah menang. Lantas menghidupkan mesin mobilnya, lalu melajukan mobil itu membelah jalanan kota.
****
to be continue...
tinggalkan jejak ya readersku...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
fergusooo🙈
terus kalo gak cinta pertama gak diperjuangin gitu?
2022-06-23
1
Sufisa ~ IG : Sufisa88
cowoknya yg mn sih 🤭🤭
2022-02-19
0
Rose Mustika Rini
malahan cocok jadi kakak sepertinya..
2021-06-27
1