Langit di pagi itu tampak lebih gelap dari biasanya, langkah kaki seorang gadis terdengar berisik. Sambil berlari pelan dia hentakan sepatu pentopel ke jalanan yang sudah dilapisi oleh aspal. Suasana pagi hari yang masih sepi membuat suara itu lebih menderu.
"Sepertinya mau hujan, aku lupa membawa payung," ucap gadis itu. Dialah Tyara Ariela.
"Aku harus segera ke halte bis, sebelum hujannya turun," imbuhnya lagi lalu mempercepat langkahnya
Tiba - tiba seseorang memanggil nya dari belakang. "Ara ... Ara ...."
Ara menoleh ke arah suara. "Bibi Iren," sahutnya, lalu berbalik dan berjalan menghampirinya. "Kenapa Bibi mengejarku?" tanya Ara saat sudah dekat dengan Iren.
Iren mengulurkan sebuah payung di tangannya, "Kamu lupa membawa payungmu, Nak. Lihatlah, langit begitu gelap! Sebentar lagi mungkin hujan," ucap Iren seraya mengatur napasnya.
Ara menerima payung itu, "Seharusnya bibi tidak usah kesini, aku bisa lari ke halte saat hujan turun. Lihatlah! Bibi bahkan tidak memakai sweater, nanti Bibi sakit gimana? Akhir-akhir ini kesehatanmu sangat buruk, 'kan?" ujar Ara sambil memegang tangan Iren. Sorot kekhawatiran terpancar dari kedua netra pekatnya yang terlihat sendu.
Iren tersenyum. "Bibi tak apa-apa, pergilah! Nanti kamu kehilangan busmu," perintah Iren.
"Ah ... iya." Ara menepuk keningnya sendiri, "aku berangkat ya, Bi! Jaga dirimu, dan jangan lupa minum obatmu!" seru Ara sambil berlari kecil menjauh dari Iren.
Iren hanya tersenyum seraya memandang punggung Ara yang semakin menjauh. Lalu pergi dari sana untuk kembali ke rumah.
***
"Ara kamu dipanggil si Bos," ucap Amel, sahabat sekaligus teman kerja Ara.
Ara yang sedang membereskan meja bekas pelanggannya makan, menoleh ke arah Amel. "Mau ngapain?" tanya Ara heran
Amel mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, "Mana kutahu, udah sana! Biar aku yang beresin ini," seru Amel seraya mengambil alih pekerjaan Ara.
Ara menyimpan piring yang sempat dipegangnya tadi, lalu bergegas pergi menuju ruangan bos nya. "Aku pergi, ya! Makasih," pamitnya pada Amel, dan hanya dibalas anggukan kepala oleh gadis itu.
***
"Permisi ...." Ara berkata setelah mengetuk pintu.
"Masuk!" sahut bosnya dari dalam ruangan.
Ara membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu. "Bos panggil aku?" tanyanya kemudian.
Daniel, dia adalah pemilik restoran tempat Ara bekerja. Laki-laki yang selalu berusaha untuk mendapatkan hati Ara, tetapi sayangnya, Ara tidak pernah menanggapinya. Laki-laki itu tidak pernah menyerah, membuat Ara menjadi jengah.
Daniel menutup laptopnya dan menyimpan kedua tangannya didagu. "Hai, Ra ... pulang kerja kamu kemana? Aku boleh mengajakmu jalan-jalan setelah kerjamu selesai?" ajak Daniel tanpa basa-basi.
Ara berdecak pelan, "Selalu saja seperti ini," gumamnya pelan, tetapi masih terdengar samar oleh Daniel.
"Gimana? Kamu ngomong apa?" tanya Daniel menajamkan pendengarannya.
Ara terhenyak, dia sedikit gugup. "Ah, nggak, kok ... aku nggak ngomong apa-apa, Bos," sanggah Ara.
"Jadi?" Daniel menaikkan kedua alisnya menunggu jawaban.
Ara mengernyitkan dahi, dia bingung mau menjawab apalagi. Gadis itu sudah bosan menolak ajakan bosnya itu. Entah apalagi alasan yang harus dia buat untuk menolak ajakan Daniel.
"Pasti kamu nggak bisa lagi. Ya, udah ... aku nggak akan maksa kalau kamu nggak mau," imbuh Daniel dengan wajah yang kecewa.
Ara menghela napas dengan kasar, mungkin tidak salahnya untuk kali ini dia menerima tawaran bosnya. "Oke ... aku mau, tapi mungkin nggak bisa lama-lama, ya. Nanti bi Iren khawatir." Terdiam sejenak seraya menatap wajah Daniel yang tiba-tiba terlihat sumringah, "bapak mau mengajak saya kemana?" tanya Ara lagi.
Daniel yang merasa senang, menunjukkan sorot mata yang berbinar-binar menunjukkan rasa bahagianya. Akhirnya, setelah sekian purnama gadis pujaannya itu menerima ajakannya juga.
"Aku akan mengajakmu nonton, apa kamu mau?" tanyanya dengan semangat.
Ara mengangguk, "Boleh, tapi aku mau Bapak tunggu aku di halte depan saja. Kita ketemu di sana. Aku nggak mau karyawan lain berpikiran macam-macam tentang hubungan kita," pinta Ara.
"Memangnya kenapa? Aku nggak keberatan mereka berpikiran kita ada hubungan," celetuk Daniel.
"Aku yang keberatan." Ara berkata dengan tegas, membuat wajah Daniel sontak memelas. Apa tidak bisa gadis ini berpura-pura manis, dan tidak mengeluarkan kata-kata sadis. Sehingga membuat hati Daniel semakin meringis. Tidak, Ara bukan gadis pengumbar harapan hampa. Jika memang dia tidak suka, maka dia akan katakan sejujurnya.
"Baiklah, sesuai keinginanmu." Walaupun kecewa, tetapi Daniel harus menerima. Ia menarik kedua sudut bibirnya dan membentuk sebuah senyuman tulus di sana.
"Kalau gitu aku permisi kerja lagi," pamit Ara sambil membungkukkan sedikit badannya tanda memberi hormat.
"Iya, pergilah!" sahut Danil, "aku akan hubungi kamu nanti," imbuhnya lagi.
Ara pun keluar dari ruangan bosnya dengan wajah yang masam, lalu menghampiri Amel yang sedang mencuci piring bekas pelanggannya makan. Gadis itu berdiri di samping Amel seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Kenapa dengan wajahmu, kenapa ditekuk kayak itu? Udah kayak kertas yang diremas-remas, kusut banget!" ledek Amel sambil terkekeh.
Ara menoleh pada Amel dengan tatapan sinis, "Mulutmu habis makan sambel, ya? Pedas banget!" seru Ara sambil mengerucutkan bibirnya.
Amel terkekeh, dia menyimpan piring yang terakhir dia cuci pada tempatnya. "Canda, doang." Amel terkekeh sembari mengelapkan tangannya ke wajah Ara.
"Iiih ... jorok banget, sih, Mel! Itu bekas cucian piring, 'kan?" sungut Ara sembari mengusap pipinya yang basah. Amel tergelak melihatnya.
"Apa dia ngajak kamu kencan lagi?" tanya Amel setelah tawanya reda, karena memang Ara selalu bercerita tentang masalah pribadinya pada Amel.
"Hmm ...." Ara mengangguk pelan, bibirnya maju beberapa senti.
"Kamu nolak lagi?"
Ara menggeleng. "Aku malah menerimanya," ucapnya sambil menundukkan kepala.
"Ah ... akhirnya," ucap Amel merasa lega, sambil merapatkan kedua tangannya dan menyimpannya di depan dada.
Ara mendongak, menatap Amel yang begitu senang mendengar keputusannya itu. "Kamu ini sebenarnya teman siapa? Seneng banget, lihat aku galau kayak ini?" geram Ara.
Amel menurunkan tangannya. "Eh ... aku ini temanmu, lah." Amel bersikap serius, "tapi aku nggak kayak kamu yang nggak punya hati, yang nolak terus ajakan orang yang punya niat baik," ujar Amel. Namun, Ara hanya menanggapinya dengan wajah cemberut. Seolah merajuk.
"Ayolah! Kemana dia mengajakmu?" Amel berkata lagi sambil merangkul leher temannya itu.
"Bioskop," jawab Ara singkat.
"Wah ... aku juga mau banget, tuh, diajakin orang nonton film romantis," ucap Amel sambil memegang dagunya dengan sebelah tangan.
"Ya udah, kamu ikut aja! Biar aku ada teman," pinta Ara dengan semangat.
Amel mengetuk kening Ara pelan. "Enak saja, aku nggak mau jadi obat nyamuk kalian," seru Amel lalu melangkah mengambil kain lap untuk mengeringkan piring, "dan aku nggak mau dipecat sama si bos gara-gara ide konyol kamu itu," Amel terus menggerutu sambil mengelap piring.
Ara merengut. "Jahat banget, sih!" sungut Ara.
Amel hanya tersenyum mendengar ucapan temannya. Sebenarnya gadis itu hanya ingin memberikan kesempatan untuk Ara, agar bisa merasakan sedikit kebahagiaan dan mengenal cinta. Walaupun Ara masih menutup dirinya untuk itu.
Saat mereka sedang asyik berbincang, seorang chef memanggil Ara untuk mengantarkan pesanan kepada pelanggan.
"Ra, ini sudah selesai, tolong antarkan, ya! Ini catatan pesanannya berikut nomor mejanya, sekalian kamu kasih ke kasir. Makasih, cantik," perintah chef laki-laki yang selalu bersikap genit pada Ara.
Ara hanya tersenyum kecut mendengar kalimat terakhir chef tersebut. Dia menerima nampan yang berisi makanan yang dipesan, lalu bergegas menyajikannya di meja pelanggan.
"Ara ...." panggil Amel tiba-tiba, saat Ara baru saja melangkahkan kakinya keluar dari pantry.
Ara menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Apa?" tanyanya, tetapi Amel malah tersenyum lalu berjalan pelan mendekati Ara.
"Ih, cepetan, dong, mau ngapain? Ini berat tahu!" ketus Ara saat Amel sengaja memperlambat langkahnya sembari senyum-senyum. Lalu mendekatkan kepalanya pada telinga Ara.
"Kalau si bos kamu gak mau, chef tadi juga lumayan oke loh, boleh tuh buat cadangan," bisik Amel kemudian. Ara sontak menarik mundur kepalanya, menatap tajam ke arah Amel.
Amel mengerti sahabatnya sedang berada pada tensi tinggi, sambil tersenyum pelik dia menarik mundur tubuhnya menjauhi Ara. Amel takut jika tiba-tiba piring yang dibawa Ara melayang ke wajahnya.
"Slow ... slow ... aku cuma bercanda, oke!" Amel tersenyum cengengesan, menunjukkan deretan giginya yang putih rapih. "Udah, sana bawa makanannya, kasian pelanggan dah kelaperan," imbuh Amel lagi, mencoba menenangkan emosi Ara.
Ara mendengus sebal, lalu berbalik meninggalkan sahabatnya tanpa kata. Amel memang tidak pernah bosan untuk menjodohkan Ara dengan setiap laki-laki yang menyukai gadis itu. Padahal Ara tidak pernah tertarik sedikitpun. Rasa sakit hati dan kecewa pada laki-laki masa lalunya, membuatnya enggan untuk mengenal kata cinta lagi.
***
Bersambung, ya ...
Kasih like dan vote-nya dong ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 156 Episodes
Comments
Sufisa ~ IG : Sufisa88
Amel teman yg baik🤭🤭
2022-02-19
0
Sufisa ~ IG : Sufisa88
lanjutkan
2022-02-19
0
erenn_na
lanjooott
2022-02-08
0