Aku menatap dari kejauhan sebuah rumah yang mewah. Yang kutinggali selama belasan tahun bersama mama tanpa adanya kebahagiaan sedikitpun. Sejenak aku menghela nafas. Aku hanya akan mengambil foto mama dan segera pergi dari sana.
"Kamu yakin Ri, nggak butuh kakak buat nemenin kamu masuk kedalam?" tanya Ardan kepada Rianna.
"Nggak apa-apa Kak. Kakak tenang saja, aku hanya sebentar." Akupun turun dari mobil. Kemudian berjalan perlahan menuju rumah keluarga Hutomo.
Ceklek.
Pyar. Tiba-tiba aku tersungkur begitu saja saat baru membuka pintu rumah besar itu. Samar-samar aku melihat ayah dan ibunya Jessica menatap marah kepadaku. Apa karena aku tidak pulang semalaman?
"Kau darimana?" tanya ayahku dengan tatapan yang begitu menbenci.
"Ayah," panggilku dengan lirih. Namun tiba-tiba sebuah gagang sapu mendarat telak ditubuhku. Aku meringis karena sakit.
"Jangan pernah kau memanggilku ayah! Sedikitpun kau bukan anakku! Kau hanyalah anak haram di rumah ini! Ibumu sudah pergi. Dia sudah mati. Sekarang giliran kau anak sial yang harusnya pergi dari sini. Ingatlah jika ibumu telah mati!"
Jeder!
Apa ini? Apa ini semua kenyataan? A-aku bukan anak ayah? Tubuhku bergetar hebat. Menatap nanar kearah mereka bertiga. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Dengan hati yang begitu sakit aku bangkit berdiri. Kubungkukkan badanku untuk menghormatinya.
"Maaf Tuan Hutomo, karena selama ini aku telah merepotkan anda. Saya kemari hanya ingin mengambil barang-barang saya dan mama saya. Sa-," belum sempat aku meneruskan kata-kataku ayah langsung menghantam telak dengan kata-kata yang menusuk hatiku.
"Barang-barangmu dan jal*ng sialan itu sudah kubuang." Kata-kata dari ayah seketika meruntuhkan benteng pertahananku. Air mataku kini mengalir tanpa mampu kubendung lagi.
"Kalian semua jahat! Kenapa kalian membuang barang-barangku dan mama? Belum ada 7 hari mama meninggalkan dunia ini kalian dengan teganya membuang barang-barangnya!" Aku emosi benar-benar emosi.
"Kau hanya anak haram! Beraninya kau meninggikan suaramu padaku!" Tuan Hutomo segera menyambar kembali gagang sapu itu. Segera aku memejamkan kedua mataku. Takut-takut kalau benda itu menggebuk tubuhku.
"Kau ... Tuan Ardan Wijaya?" tanya Hutomo.
"Jangan pernah kalian menyentuhnya sedikitpun. Jika aku tau kalian menyentuhnya seujung kuku, aku akan menghancurkan perusahaanmu." Kubuka kedua mataku. Kak Ardan. Bisikku dalam hati.
"Rianna, pergilah ambil barangmu. Setelahnya kita pergi dari sini. Ayo ambil aku tunggu disini," ucapnya padaku dengan ramah. Kuhapus air mataku dan segeraa beranjak dari tempatku. Jadi Hutomo bahkan takut dengan keluarga Wijaya? Kalau begitu, itu artinya aku berada di tempat yang tepat bukan? Aku memasuki kamar kecil di rumah ini. Kuamati baik-baik kamar sempit dan pengap itu. Aku selalu menyimpan foto mama di tempat tersembunyi. Alhamdulillah, ketemu. Satu-satunya foto mama yang aku punya. Segera aku keluar dari kamar itu. Sejenak aku menatap dari kejauhan Hutomo itu terlihat begitu sopan dan ramah pada kak Ardan. Aku bisa menilai, memang keluarga Wijaya statusnya lebih tinggi.
"Kak." Panggilku dengan lirih. Kak Ardan menoleh dan tersenyum hangat.
"Ayo Ri. Tinggalkan rumah jahanam ini. Untuk kau Tuan Hutomo. Jika aku tau kau berani mengusik hidup Rianna, akan kupastikan semua yang kau punya habis dalam waktu kurang dari 1 jam. Apa kau mengerti?"
"Me-mengerti Tuan Ardan."
"Pa! Mengapa kau membiarkan Rianna lolos? Kita harus memberinya pelajaran. Gadis si*al itu sudah membuat keluarga kita harus menanggung biaya pemakaman wanita sial*n itu!"
Deg. Dari kejauhan aku masih bisa mendengarnya. Begitu jelas hingga menusuk telinga dan hatiku. Hei ... Mama sudah hidup menderita selama ini dan bagi kalian itu masih belum cukup? Bahkan kalian masih mengungkit biaya pemakaman mama? Aku mengepalkan tanganku dan mengeratkan leherku. Kemudian berbalik hendak melawan kata-kata mama tiriku yang membuat hatiku terbakar amarah. Tetapi sebelum aku mampu melontarkan kata-kata dari bibirku, kulihat ada banyak uang lembaran seratus ribuan beterbangan di udara. Aku kembali melongokkan kepalaku berbalik ke arah kak Ardan. Nyatanya,, lelaki itu dengan santai menghamburkan uang itu tanpa ekspresi apapun. Jujur ekspresi wajahnya jauh lebih menakutkan dari ayahku selama ini.
"Tuan Hutomo, aku harap ini sudah cukup untuk membiayai pemakaman dari istri pertama anda bukan? Atau aku harus membayarnya dengan memutuskan kerja sama diantara kita?"
"Tu-tuan Ardan ambil kembali uang anda. Biarkan saja biaya pemakaman itu." Cih. ayahku benar-benar takut kepada keluarga Wijaya rupanya.
"Sudah cukup! Papa ini lihatlah, uangnya cukup untuk mengganti biaya pemakaman si jal*ang itu." Mama tiriku dengan cepat mengambil semua uang yang berserk di lantai. Sungguh ironis memang. Mereka benar-benar pasangan yang cocok.
"Rianna ayo kita pergi. Tuan Hutomo, besok Herman akan mengurus semua data-data diri tentang Rianna. Dia akan menjadi bagian dari keluarga Wijaya. Jika aku tau kau mempersulit proses pengalihan hak asuh itu, lihat bagaimana aku menghancurkan Hutomo. Tidak akan aku berikan kebaikan apapun." Setelah mengatakan hal itu, kak Ardan segera menarik tanganku.
"Ba-baik Tuan Ardan." Aku menatap miris kearah keluarga yang tengah bertengkar itu. Benar-benar congkak. Tetapi pada akhirnya mereka justru merendah pada orang yang kini menggenggam tanganku. Aku tersenyum, memikirkan semua kata-kata yang dilontarkan oleh ayahku sendiri. Bagaimana dia dengan teganya mengataiku anak sial atau anak haram. Terlebih dia juga mengatakan jika aku ini bukan anak kandungnya.
****
Di sebuah rumah yang mewah bak istana. Terdapat pula banyak maid dan penjaga yang berjaga secara bergantian. Aku mematung dalam pantulan wajahku di depan cermin. Pikiranku kosong. Dibawah lampu yang temaram hanya lampu tidurku yang menyala, aku terus menatap lurus ke depan. Suasana malam yang kian merajuk untuk bersembunyi dibawah selimut, ku abaikan begitu saja. Meskipun disini aku seperti menemukan sebuah keluarga, aku merasa hatiku tetaplah kosong. Seakan kesunyian sang malam mewakilkan hatiku yang sunyi.
"Arrrrrgggghhhht." Aku berteriak sembari menarik rambut panjangku yang sebahu. Bahuku bergetar hebat karena aku tak mampu lagi membendung tangis yang kian membanjir. Mama .... mengapa dia begitu cepat pergi meninggalkan aku? Apa mama tidak tahu, jika ayah bahkan tak segan untuk memukulku.
"Huaaaaa ... katakan! Katakan aku ini siapa? Mengapa seluruh dunia menghukumku? Mengapa? Huaaaaa." Kutarik rambutku dengan sangat kencang. Tak perduli lagi rasa sakit akibat tarikan tanganku sendiri. Sejenak aku langsung diam mematung. Menghentikan tangisku dengan cairan bening yang senantiasa meluncur bebas melewati kedua pipiku yang mulus. Aku tersenyum menatap pantulan cermin dihadapanku. Sungguh, penampilanku berantakan. Tanpa pikir panjang, aku kemudian berjalan menuju kamar mandi. Kuiisi air dengan penuh bathup tersebut. Setelah aku segera masuk kedalam bathup itu. Kemudian aku membenamkan seluruh tubuhku kedalam air. Hingga, aku tak sadarkan diri karena kehabisan nafas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments
Heksa Suhartini
tenang kan dirimu Riana...
2021-07-04
2
Emyl Ros Telaumbanua
sabar ya Riana kamu pasti sudah tenang dialam sana 😭😭🤭
2021-02-04
1
@✿€𝙈ᴀᴋ hiat dulu⦅🏚€ᵐᵃᵏ⦆🎯™
like4
2021-02-01
0