Albi merebahkan tubuhnya diatas ranjang ketika dirinya telah selesai membersihkan diri. Ia memejamkan matanya untuk istirahat sebentar merilexkan otot-ototnya yang kaku.
Namun istirahat Albi itu tak berlangsung lama karena sang ibunda langsung memanggilnya untuk makan malam bersama.
Albi tak bisa menolak tawaran itu karena sebenarnya Albi pun sudah menahan lapar dari tadi. Jadi ia langsung bangun dari tidurnya dan pergi turun menuju ruang makan.
"Sini Sayang, mama masak gurame asam manis kesukaan kamu," ucap Camila membuat senyum mengembang di wajah Albi.
Ia langsung segera duduk di tempatnya dan mengambil makanannya sendiri. Sedangkan ayah dan kakak iparnya dibawakan oleh istrinya masing-masing.
"Sekarang sendiri dulu, nanti juga udah punya istri dilayanin," ucap Muhtaz menggambarkan senyum tipis di bibir Albi.
Setelah semua siap dengan makanannya, mereka pun berdoa bersama dan menyantapnya dengan hening seperti biasa.
Bukan karena apa-apa, tapi ada waktu dimana mereka juga harus fokus agar makanan yang mereka makan itu bisa dimakan dengan baik dan benar.
Albi memakan makanannya sangat lahap karena mengingat makanan yang ia makan itu adalah favoritnya. Ia bermimpi agar suatu saat istrinya juga bisa memasakkan makanan kesukaannya itu melewati ibunya agar rasanya sama persis.
Selang beberapa menit, semua anggota keluarga telah selesai dengan makannya. Dan seperti biasa para lelaki langsung meninggalkan tempat dan berkumpul di ruang televisi. Sedangkan yang wanita sibuk membersihkan meja makan dan piring-piring kotor.
"Eh Rin, kamu lanjutin dulu cuci piringnya sebentar ya, mama lupa tadi lagi chat Mama Kani belum liat lagi balesannya gimana, hp mama disimpen di kamar," titah Camila sambil menjelaskan secara rinci.
"Iya Ma, sini biar semua sama Ririn aja," jawab Ririn yang mendapat senyuman tulus dari sang bunda.
Camila pun pergi dari dapur dan berjalan menaiki tangga hendak ke kamarnya. Namun ketika melewati kamar Albi ia melihat ruangan itu sangat berantakan sesampai ia gemas sendiri.
"Haduh, kebiasaan anak cowok kamar aja enggak pernah bersih!" seru Camila yang langsung masuk kedalam kamar Albi.
Sebenarnya ruangan itu tak begitu berantakan. Namun Camila adalah salah satu tipe orang yang benar-benar mencintai kebersihan, melihat baju yang berserakan saja sudah dianggap kotor olehnya.
"Eh, baju siapa ini? Kok pendek gini kayak baju perempuan?" tanya Camila terheran-heran sambil mengukur ukuran baju itu.
Ia melihat baju itu sepertinya telah terkena noda, ia mencoba mencium noda baju itu untuk mengetahui apa yang telah menodai baju itu.
Matanya membelak ketika mencium aroma yang familiar. Camila kemudian mencari kembali ke baju yang lain namun hanya di baju wanita itu lah yang baunya sangat menyengat.
"Ini--"
Camila melihat noda merah peach dari kerah baju Albi, ia langsung dapat menyimpulkan apa yang telah dilakukan oleh putra bungsunya itu.
Camila langsung berlari kebawah untuk menghapiri anaknya.
Dengan amarah yang memuncak, Camila menarik Albi kasar dan menamparnya dengan kencang.
"Mama!" teriak Ririn yang terkejut atas perlakuan sang bunda kepada anak kesayangannya.
Albi yang menjadi korban hanya diam mematung menahan rasa sakit yang menjalar dari pipi ke hati.
Muhtaz heran melihat perlakuan Camila. Ia menarik Camila dan bertanya dengan raut wajahnya.
"Anak kamu sudah berzinnah, Pa!" seru Camila, semua langsung membelak terkejut.
"Apa maksud mama?" tanya Albi yang merasa bahwa dirinya difitnah.
"Apa maksud mama? Mama yang harusnya nanya apa maksud noda bibir ini ada di kerah baju kamu!" seru Camila sambil menunjukan noda yang ia maksud kepada Albi membuatnya terbelak kaget.
Muhtaz yang penasaran langsung merebutnya dan melihatnya dengan langsung.
Muhtaz melirik ke arah Albi yang terlihat sedang kebingungan.
"Jelasin ini," ucap Muhtaz dengan tegas.
"Papa itu--" Albi menggantung omongannya karena ia tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana.
"Apa? Itu apa! Jawab!" sentak Camila sambil menggoyang-goyangkan tubuh Albi.
Albi hanya terdiam bingung sambil menatap bundanya itu.
"Ohiya satu lagi, apa noda ini? Apa noda yang baunya menyengat ini!"
Albi makin dibuat bingung ketika ibunya menunjukan baju Ria.
Semua menatap meminta jawaban dari Albi, namun yang diminta jawaban hanya terdiam bingung bagaimana untuk menjelaskannya.
"Jelaskan Albi!" Sentak Muhtaz menggelegarkan rumah besar milik mereka itu.
"Papa, Mama, Albi nggak ngelakuin itu--"
"Terus ini apa Albi? Ini semua apa ini!" tanya Camila sambil menangis menjerit.
"Mama itu bukan baju Albi," jelas Albi menunjuk kepada baju milik Ria.
"Terus kenapa baju ini bisa ada di kamu?" tanya Camila kembali dengan mendorong Albi yang sedikit terhuyung.
"Mama di kantin Albi gak sengaja--"
"Cukup." Ucap Muhtaz berintruksi. Ia menatap lekat wajah putra bungsunya dan mendekatinya.
"Alasan yang kamu beri pasti semuanya palsu. Sekarang juga kamu masuk ke kamar kamu dan diam disana sampai papa memberi keputusan kepada kamu," tegas Muhtaz.
"Papa dengerin dulu, Albi enggak bohong!"
"Cepat!"
Albi menutup matanya ketika sang ayah berteriak dihadapannya.
Albi membalikkan badannya dan berjalan dengan hati yang sakit melihat bahwa keluarganya telah salah paham kepadanya.
Ia menutup pintu kamarnya dan menggepalkan tangannya kesal lalu meninjukan tangannya itu ke tembok yang membuat tangannya terluka.
"Gara-gara lo. Semua gara-gara lo!"
"Awas aja kalau sweater gue enggak dibalikin, hoodie lo juga nggak bakal gue balikin!" seru Ria berbicara kepada hoodie yang ia gantung dihadapannya.
Ia tersenyum miring ketika teringat bahwa sweaternya itu telah ternodai campuran kotoran dan air sisa-sisa makanan yang jika digabungkan sangat bau dan menyengat membuat orang yang menciumnya ingin muntah.
Ia menghembuskan nafasnya tenang lalu bangkit dari duduknya dan pergi turun ke bawah untuk menemui ayahnya tercinta.
"Ayah!" seru Ria yang membuat senyum Putra mengembang jelas.
"Ah, ada anak ayah!" balas Putra sambil merentangkan tangannya untuk memeluk sang putri.
Reo yang sudah bosan dengan kelakuan ayah dan adiknya itu menggelengkan kepala sambil fokus kembali ke lembaran kertas yang sendari tadi sedang ia kerjakan bersama sang ayah.
"Ayah kerja terus udah tua juga!" seru Ria marah karena ayahnya tidak menurut untuk berhenti bekerja.
"Selama ayah masih hidup, ayah nggak mau menyia-nyiakan waktu ayah cuman diem doang di rumah. Ayah juga mau ngasilin uang buat anak dan cucu ayah nanti," jelas Putra yang membuat haru Ria.
"Omg dady, why you so good?" puji Ria dengan wajah imutnya itu.
"Karena kalian lah hidup Ayah," jawab Putra sambil mencubit hidung Ria.
"Ayah, sakit!"
Putra tertawa melihat anaknya itu. Ia masih suka menjahili anaknya walau dia sudah besar sekalipun.
"Ayah bakal rindu kamu kalau kamu udah nikah," ucap Putra. Ria memutar matanya malas.
"Ya ampun ayah, nikah aku tuh masih jauh banget. Masih ada waktu ayah buat bercanda sama aku!" seru Ria membuat Putra berhenti bersedih.
"Anak ayah sudah besar ya!" balas Putra sambil mengelus pucuk kepala Ria.
"Ayah, Rio mau kedepan dulu, Fanya ngidam baso katanya," izin Rio sambil bersalaman kepada Putra.
"Iya, hati-hati, Ria kamu mau baso?" tanya Putra.
Bukannya menjawab, Ria malah terkejut dengan barang yang Rio bawa di tangannya, hoodie milik Albi!
"Kakak! Itu punya Ria nggak boleh dipake!" seru Dia sambil merebut hoodie milik Albi itu dari tangan Rio.
"Ih Ria! Pinjem sebentar doang kakak mau kedepan nggak lama!" pinta Rio yang ikut menarik kembali hoodie yang tadinya ia pegang.
"Nggak boleh kakak, ini punya temen Ria jangan asal pake!" seru Ria berusaha menarik juga.
"Ya ampun Rio, kamu ini udah mau jadi ayah juga masih aja berantem sama adeknya! Udah ngalah kamu pake hoodie kamu sendiri kan punya banyak," titah Putra.
"Males Yah balik lagi ke atas kan udah ini aja pinjem bentar!" seru Rio yang masi berusaha merebutnya.
Ia memegang hoodie bagian sakunya yang membuat sesuatu barang jatuh dari sana.
Semua langsung terdiam begitu melihat benda itu.
Ria membelakkan matanya lebar begitu melihat jelas barang yang baru saja jatuh dari hoodie Albi.
Rio mengambil benda itu dan melirik ke arah Ria.
"Ini alasan kamu nggak mau kasih pinjem hoodienya?" tanya Rio tegas yang langsung dibalas gelengan oleh Ria.
"Ria punya siapa ini?" tanya Reo dengan tegas membuat Ria semakin takut.
"Ria, apa yang udah kamu lakuin?" tanya Putra yang berusaha menahan marah kepada putrinya.
Ria menggeleng-geleng untuk jawaban semua pertanyaannya. Ia menatap ketiga pria keluarganya itu sambil bergeleng-geleng.
"Nggak apa Ria jawab!" sentak Reo membuat air mata Ria langsung terjatuh begitu saja.
"Enggak kakak! Aku nggak ngapa-ngapain!" seru Ria membela diri.
"Enggak ngapa-ngapain? Ini udah jelas sudah terpakai Ria!" tegas Rio membuat Ria bergeleng kembali.
"Aku nggak tau itu bukan--"
"Masuk ke kamar kamu dan diem disana sampai ayah suruh kamu keluar." Tegas Putra membuat Ria semakin ketakutan.
"Ayah! Dengerin aku dulu, itu bukan--"
"Masuk!" Sentak Putra membuat Ria tersentak dan memejamkan matanya sambil berlutut dihadapan sang ayah.
"Serira, coba kamu bantu bawa dia ke kamarnya," titah Putra kepada menantunya yang datang ketika ada sebuah keributan dari ruang keluarga.
"Iya ayah," jawab Serira dan langsung menghampiri adik iparnya.
"Ayo Ria, kamu istirahat dulu ya," ucapnya lembut.
Ria bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya dengan hati yang terluka.
Ia berjalan dengan diiringi kakak iparnya sambil bertumpu kepadanya.
Setelah sampai di depan pintu, Ria menatap kakak iparnya sayu.
"Kenapa Ria, ada yang mau kamu ceritain?" tanya Serira.
"Kakak aku enggak ngelakuin itu! Aku bener-bener enggak--"
"Serira kembali ke sini." Panggil sang suami membuat Ria menghentikan omongannya.
"Enggak papa Ria lanjut aja ceritanya," ucap Serira.
"Kakak bisa kena marah, nanti ada waktu aku cerita semuanya," jelas Ria yang langsung masuk ke dalam kamarnya.
Serira menghembuskan nafasnya. Ia tahu jelas bahwa adik iparnya itu tidak bersalah. Hanya ada kesalahpahaman yang terjadi di dalam keluarganya itu. Namun ia pun sulit merubah sikap keluarga mertuanya yang keras kepala.
"Ayah akan pergi ke sekolah dan menanyakan hoodie milik siapa ini dan meminta pertanggung jawabannya," tegas Putra.
"Udah sering Reo bilang, ayah itu terlalu memanjakan dia," ucap Reo, Putra melirik ke arah Reo.
"Papa tahu Reo. Papa minta maaf karena telah mendidik Ria dengan salah sampai semua masalah ini terjadi," sesal Putra dengan berat hati menerima kenyataan.
"Besok aku temani ayah ke sekolah. Biar ayah enggak kesulitan disananya," ucap Serira yang baru saja tiba kembali.
"Enggak usah Rira, ayah sendiri aja. Kamu jaga Fanya sama Gina saja di rumah," tolak Putra.
"Aku baik-baik saja kok ayah, kesehatan ayah lebih penting," balas Fanya yang membantu Serira mengabulkan permintaannya.
"Serira cuman temenin ayah, dia jaga kesehatan ayah takutnya penyakit ayah kumat lagi," ucap Reo agar ayahnya itu mau menuruti permintaan sang istri.
"Yaudah kalo gitu besok papa pergi sama Rira. Sekarang semua istirahat, biar ayah yang urus masalah ini," jelas Putra yang diangguki oleh semua anggota keluargnya.
Mereka pun semua pergi dari sana menuju kamarnya masing-masing, menyisakan Putra yang masih merasakan sakit didalam dadanya.
Ia pergi ke kamar tidurnya dan melihat foto yang tertata rapi di dinding kamarnya.
Foto dimana dirinya bersama mendiang istri tersenyum senang ketika bayi ketiga mereka lahir dengan selamat namun sang ibu tak selamat.
Air mata Putra terjatuh. Ia merasa gagal, benar-benar gagal.
"Jessica, aku minta maaf. Aku minta maaf telah membuat putri kesayanganmu rusak," rintihnya sambil menundukkan kepalanya ke bawah.
"Aku telah menjadi ayah yang buruk. Sangat buruk. Sesampai tidak bisa menjaganya dengan benar. Aku minta maaf Jessica," ucap Putra yang kini sudah terduduk di lantai dan menangis sekencang-kencangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments