Two

Ria membuka matanya dengan sangat berat. Cahaya yang masuk ke dalam matanya begitu menusuk. Kepala yang terasa amat berat membuat penglihatan Ria sedikit kabur.

Ia melihat ke sekeliling ruangan dan menyadari bahwa dirinya berada di kamarnya sendiri.

"Loh? Bukannya kemaren aku mabuk? Kok bisa di kamar?" tanya Ria kepada dirinya sendiri.

Ia pun melirik ke pakaiannya yang juga menggunakan pakaian tidur.

"Loh? Mimpi bukan sih?"

Tok tok tok

Ria menoleh ke arah pintu. "Masuk."

Pintu pun terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang tersenyum ke arahnya.

"Ayah," sambut Ria dengan senyuman hangat.

Putra masuk kedalam kamar Ria dan tak lupa menutup pintunya kembali.

Ia berjalan mendekati Ria lalu duduk didekat anaknya.

"Ria sudah mendingan?" tanya Putra, Ria mengerutkan dahinya.

"Kamu nggak ingat kemaren kamu mabuk?" tanya Putra kembali membuat badan Ria seketika mengeras.

Putra menghembuskan nafasnya dengan berat dan berusaha tersenyum diatas kekecewaannya.

Ia meraih tangan sang putri lalu mengelus-elusnya.

"Ayah kecewa sama apa yang udah kamu lakuin,"

Jeder.

Seperti ada petir disiang bolong. Hati Ria langsung terasa begitu sakit ketika mendengar sebuah kalimat yang sebelumnya sama sekali tak pernah dilontarkan oleh ayahnya itu.

Justru dulu ayahnya itu selalu berucap bangga pada dirinya, namun kini kalimat yang ia dengar adalah kebalikannya.

"Ayah.."

"Ayah salah mendidik kamu. Ayah melakukan semua ini karena ibu kamu  pesan terakhir ibu kamu. Dia minta ayah buat selalu terima apa yang kamu lakuin, tapi ayah juga salah terlalu membebaskan kamu sampai kamu salah melangkah," jelas Putra membuat dada Ria makin terasa sesak.

"Ayahhh,"

"Ayah minta maaf Ria, ayah tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk kamu. Ayah telah gagal menjadi ayah sekaligus ibu buat kamu. Ayah membuat kamu terjerumus kedalam pergaulan bebas,"

"Ayah, Ayah nggak salah!" teriak Ria yang langsung memeluk ayahnya sambil menangis keras.

"Ria yang salah Ayah, Ria bukan Ayah!" teriak Ria kembali menyesal atas semua yang telah ia lakukan.

Ia tak menyadari, ia pikir apa yang dia lakukan itu membuat ayahnya hanya kesal atau menyalahkan dirinya namun ternyata Ria salah. Ayahnya justru menyalahkan dirinya sendiri karena telah salah mendidik padahal sudah jelas bahwa Ria lah yang nakal.

"Ayah, Ria minta maaf udah buat ayah kecewa. Ria minta maaf," rintih Ria sambil menangis terisak-isak.

Putra yang mendengar itu ikut menangis dan mengeluk punggung putrinya dengan lembut.

"Ria udah buat ayah merasa bersalah padahal semua ini salah Ria, Ria minta maaf,"

Putra melepaskan pelukannya lalu memegang wajah sang putri.

"Kamu nggak perlu minta maaf lagi sayang, ayah selalu memaafkan kamu. Tapi sekarang ayah minta kamu buat nggak ngelakuin itu lagi. Ayah minta kamu buat berubah biar ayah nggak kecewa lagi sama kamu," pinta Putra yang langsung mendapat anggukan dari Ria.

"Ria janji Ayah, Ria nggak bakal ngulang kesalahan yang buat Ayah kecewa lagi," jawab Ria yang membuat Putra merasa lega.

"Syukur kamu mau berubah. Ayah yakin kamu bisa merubah sikap dan pergaulan kamu. Mulai sekarang ayah hanya kasih kamu uang dua juta untuk satu bulan," jelas Putra yang langsung mendapat pelototan dari anaknya.

"Ayah bercanda ya? Ayah kan selalu ngasih satu miliar buat Ria!" seru Ria tak terima.

"Itu hukuman buat kamu. Kamu tinggal memilih, uang jajan dua juta sebulan atau diam di pesantren?" tawar Putra yang keduanya sama sekali tidak Ria inginkan.

"Ayah, jangan dua juta, terlalu dikit," tawar Ria.

"Itu sudah banyak kalau kamu lebih pintar mengatur uang. Ayah mau ke kantor ya," pamit Putra yang langsung bangkit dari duduknya.

"Ayah harap kamu terima hukuman kamu dan berubah sebelum ayah kasih hukuman yang benar-benar sulit untuk kamu jalani," tegas Putra yang langsung pergi dari kamar Ria.

Ria mendengus kesal dan langsung mengacak-acak rambutnya frustasi. Bagaimana bisa dia diberi jajan hanya dua juta dalam satu bulan? Sedangkan keperluan dia satu haripun bisa lebih dari dua juta.

"Ck! Kenapa ini semua terjadi sih!"

.

.

"Alhamdulillah, tinggal lancarin aja," ucap Albi begitu dirinya sudah hafal semua ayah al-baqarah.

"Albi, udah selesai hafalannya? Ayo makan," ajak sang bunda dari daun pintu.

"Iya Ma," jawab Albi yang langsung menghampiri ibunya setelah menyimpan kitab sucinya.

"Kamu sudah hafal semuanya, Albi?" tanya Camila--ibu Albi--.

"Udah Ma, tinggal dilancarin aja," jawab Albi.

"Alhamdulillah, pinter anak mama," ucap Camila sambil mengecup kepala sang putra.

"Udah gede Ma, nggak usah dicium lagi dia," ucap Ririn.

"Sirik aja," ledek Albi, Ririn memutar matanya malas.

"Udah mau jadi ibu, masih suka jailin adiknya," seru Camila, Ririn menyengir kuda.

"Ayo pada makan, papa udah laper," ajak Muhtaz yang diikuti oleh semua anggota keluarga.

Semua keluarga menyantap makanannya dengan tenang tanpa bicara.

Mereka tak suka bila sedang makan harus berbincang-bincang, makanya mereka lebih memilih untuk makan terlebih dahulu baru berbincang-bincang.

Setelah beberapa menit berlalu, semua keluarga pun telah selesai melaksanakan makan malam. Albi dengan ayah dan kakak iparnya duduk bersama di ruang tv.

"Albi, di sekolah kamu berteman dengan orang yang baik kan?" tanya Muhtaz, Albi langsung berpikir.

Apakah dia akan bilang bahwa teman-temannya itu baik?

Yang satu adalah seorang kuncen club. Yang dua buaya pemain wanita bohay. Tidak tampak bahwa mereka adalah orang baik.

Namun Albi langsung teringat, walau teman-temannya semua itu nakal, mereka tidak pernah sekalipun mengajak Albi untuk mengikuti kenakalan mereka. Justru mereka yang ikut kepada pergaulan Albi ketika Albi mengajak mereka untuk sholat berjamaah dzuhur dan ashar di sekolah.

"Baik, Pah." Jawab Albi.

"Syukur kalau gitu,"

"Albi nggak punya cewek tu?" tanya Harry.

"Nggak Kak," jawab Albi langsung.

"Beneran?" tanya ayahnya membuat Albi merasa dipojoki.

"Beneran Pa, Kak. Albi nggak deket sama cewek mana pun," tegas Albi.

"Tapi kamu punya seseorang yang namanya selalu kamu sebut dalam doa kan?" tanya Harry mulai menggoda adik iparnya karena pernah tak sengaja menggrebek sewaktu adiknya itu sedang berdoa.

Albi langsung dibuat salah tingkah dan memalingkan pandangannya menuju televisi.

"Kenapa ini, kok pada ketawa?" tanya Camila yang baru saja ikut bergabung setelah membersihkan meja makan dan piring kotor bersama anak perempuannya.

"Harry pernah denger Albi lagi doain seseorang Ma," jelas Harry.

"Wah, siapa itu? Anak mama lagi jatuh cinta ternyata," goda Camila yang ikut senang mendengarnya.

"Ciah! Mukanya merah," sambung Ririn yang membuat Albi kesal dan hendak melemparkan bantal ke arahnya.

"Heh! Jangan dilempar, kakak kamu lagi hamil!" tegas Camila. Ririn pun menjulurkan lidahnya, sedangkan Albi memutar matanya malas.

"Ingat ya Albi, walau kamu sedang jatuh cinta kamu tetap tidak boleh terjerumus kedalam itu. Kamu tidak boleh berpacaran, kalau mau langsung nikah saja," jelas Muhtaz.

"Iya Pa, Albi nggak bakal pacaran," jawab Albi. Semua tersenyum senang.

"Kapan kamu ke Belandanya Rin? Apa mertua kamu yang bakal ke sini?" tanya Camila.

"Iya Ma, jadinya mertua aku yang ke sini. Aku kan mau ngelahirin disamping mama," ucap Ririn.

"Kan bisa mama yang kesana," ucap Muhtaz.

"Nggak boleh, mama nggak boleh kemana-mana," tolak Albi.

"Ih, suami mama aja izinin kamu anaknya doang ngelarang," ketus Ririn.

"Biarin!"

"Aduh, kalian ini udah besar masih aja suka berantem. Albi, sana masuk ke kamar siap-siap berangkat sekolah!" titah Camila yang membuat Albi cemberut.

"Puas di usir!" ledek Ririn memanaskan suasana.

Albi hendak menghampiri kakaknya dan mengacak-acak rambut wanita itu. Namun aksinya tertahan demi sang janin yang tak memiliki dosa.

Albipun pergi meninggalkan keluarganya dan memasuki kamarnya.

.

.

Ria berlari sepanjang jalan trotoar. Dirinya bersumpah dalam hati semoga ojek online yang ia pesan tadi tidak laku seumur hidupnya! Masa iya seorang Ria yang baru saja ingin memulai hidup hemat tanpa lengkapnya fasilitas sang ayah harus diturunkan di seperempat jalan akibat ojeknya itu mendapatkan kabar bahwa istrinya lahiran! Sunggung mengejamkan.

Ria melihat bahwa gerbang sekolahnya telah tertutup rapat. Ia menggoyang-goyangkan pagarnya dengan harap agar dirinya bisa diizinkan masuk.

"Kalau mau masuk izin saja kepada guru piket," jelas satpam yang menjaga gerbang sekolah Ria.

"Gimana saya bilangnya Pak, guru saya kan ada di dalem, kalau saya di luar gimana kasih tahunya!" seru Ria.

"Ada apa disana!" teriak seorang wanita membuat Ria melotot.

Bu 'Ia kenapa engkau datang. Ucap batin Ria.

"Ini Bu, ada siswi yang telat datang dan memaksa untuk masuk," jelas Satpam sekolah.

"Masukan saja dan suruh dia berlari bersama siswa yang telat tadi dua puluh putaran," tegas bu Ia yang langsung pergi dari sana.

"Dua puluh putaran? Bengek saya Bu!" seru Ria.

"Heh, udah turutin saja. Daripada kamu nggak masuk sekolah!" seru satpam itu.

"Mending nggak sekolah aja tau gitu,"

Ria memasuki sekolahnya dan berjalan menuju lapang outdor untuk melakukan hukumannya.

Dilihat ada seorang lelaki yang juga sedang berlari sendiri dibawah teriknya matahari.

Ketika lelaki itu melewati Ria, Ria langsung menghentikannya.

"Woy! Lo udah berapa putara?" tanya Ria.

"Sepuluh," jawab Albi yang hendak melanjutkan hukumannya.

"Eh bentar, bareng dong lo temenin gue sepuluh lagi, plis," pinta Ria yang ditolak mentah-mentah oleh Albi.

"Siapa lo minta-minta," ketus Albi.

"Plis banget ya temenin gue, atau lima aja deh lima," pinta Ria kembali dengan wajah yang membuat Albi kasihan melihatnya.

"Terserah," balas Albi yang langsung berlari kembali.

Ria tersenyun senang mendengar balasan Albi. Ia pun ikut berlari di belakang Albi agar tak terlalu malu jika terlihat oleh siswa yang melewat.

Beberapa menit berlalu, namun Ria baru saja menyelesaikan lima putara. Bajunya sudah dibasahi oleh keringat yang keluar dari dalam tubuhnya. Panas terik matahari membuat dirinya semakin cepat berkeringat.

"Woy istirahat dulu dong," pinta Ria kepada Albi yang masih berlari.

"Lo kira ini lari pelajaran olahraga? Ini hukuman nggak ada istirahatnya!" seru Albi.

Ria yang mendengar jawaban Albi itu sedikit terkejut karena baru kali ini ia mendapati lelaki yang begitu ketus kepada dirinya.

Tak mau memikirkan hal itu dulu, ia melanjutkan hukumannya dengan berberat hati.

Tak terasa begitu cepat, kini Ria telah menyelesaikan lima belas putaran yang ditemani oleh Albi.

Sedangkan Albi yang merasa sudah cukup, em bukan hanya cukup malah lebih, itu beristirahat di bawah pohon besar yang ada dipinggir lapang.

Ria yang kelelahan mendekati Albi namun langsung diberi seruan dari lelaki itu.

"Lo masih ada lima putaran," ucap Albi.

"Bodo amat ah, capek," jawab Ria.

"Gue aduin juga ke bu 'Ia," ancam Albi yang mendapat tatapan tajam dari Ria.

"Apa? Itu hukuman lo, jalanin," nyinyir Albi membuat Ria kesal padanya.

Dengan hati terpaksa, gadis itu melanjutkan hukumannya dengan sempoyongan.

"Haduh kenapa dia harus dihukum bareng gue sih. Kan bisa tuh dia dihukum beresin gudang gitu atau cuci toilet cewek yang bau. Jadinya gue nggak bisa bolos hukuman kalo ada dia," ketus Ria kepada dirinya sendiri.

Ia melirik kepada Albi yang kini sedang memperhatikannya juga.

"Siapa sih dia, minta gue goreng aja,"

Sudah sepuluh menit berlalu, Ria pun selesai dengan hukumannya dan langsung terduduk begitu dirinya telah sampai dibawah pohon.

"Gila kulit gue udah jadi sawo mateng,"

Albi yang mendengar keluhan Ria itu langsung melirik ke arahnya. Namun, pandangan yang tak ingin dia lihat itu terlihat, dengan cepat Albi memalingkan pandangannya.

Ria melirik kesebelahnya dan melihat ada air minum di tangan Albi.

"Minta minum dong!" seru Ria yang sudah tepar.

"Bekas mulut gue," jawab Albi.

"Ya terus kenapa?" tanya Ria membuat Albi membelakkan matanya yang tak terlihat oleh Ria.

"Cepet ih keburu mati gue!" seru Ria yang sudah tak tahan.

Mau tak mau, Albi memberikan botol minumnya kepada Ria tanpa melirik ke arahnya.

Ria yang melihatnya keheranan.

"Kenapa lo nggak mau liat gue? Jelek ya karena kulit gue lagi jadi sawo mateng?" tanya Ria.

"Aneh," jawab Albi.

"Serius ih! Gue jelek banget ya?" tanya Ria yang takut dirinya dibully karena kulitnya tiba-tiba berubah.

"Coba liat baju lo," titah Albi, Ria langsung melirik ke baju seragamnya yang sudah sangat basah dan.

Ria menenggak kembali dan melirik ke arah Albi.

Sebuah ide pun terbesit di dalam otak Ria.

Dia mendekati Albi dengan perlahan yang terasa oleh lelaki itu dengan refleks Albi pun ikut menjauh.

Namun kali ini ketika Ria mendekat, ia langsung memegang tangan Albi yang menyentuh tanah membuat Albi tak bisa bergerak.

Ria pun mendekati leher Albi membuat badan Albi terasa kaku.

Ria mendekatkan bibirnya pada kerah baju Albi dan bernafas disana.

Albi langsung bangkit dari duduknya dan berlari menjauh untuk menjauhi godaan saiton itu.

Sedangkan Ria? Tertawa mepihat reaksi lelaki polos yang sendari tadi meledeknya itu.

Terpopuler

Comments

Tiwik Firdaus

Tiwik Firdaus

ceqek kok kegatelan masih sekolah padahal gimana udah dewasa itu akibat dimanjakan dengan uang akhirnya oergsulannya bebas dan kebablas

2022-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!