Chapter Lima

Awan menghentikan langkahnya di depan pintu keluar bandara Soekarno Hatta. Menghela napas panjang, merasakan bau yang dia rindukan. Jaket tebalnya sudah dia lepas sejak di dalam pesawat, karena dia sadar tidak akan memerlukannya di Indonesia.

Koper besar berdiri di sampingnya. Awan tidak menyangka bahwa akhirnya bisa mendapatkan izin untuk pulang. Meski dia harus kehilangan pekerjaannya dan meninggalkan orang-orang yang tampak sedih karena dia pulang lebih dulu. Tap Awan sudah tidak bisa berkompromi jika menghadapi masalah yang berkaitan dengan keluarga. Karena dia pun memutuskan untuk terbang ke Korea demi keluarganya tersebut.

Awan segera menuju ke tempat pembelian tiket bus. Memesan tiket tercepat untuk menuju ke kampung halamannya di Bandung. Dia memutuskan untuk menemui ibu dan adik-adiknya, sebelum kembali pergi menuju ke ibu kota demi mencari keberadaan kakaknya yang dikabarkan hilang.

“Kak Awan!” Ina dan Sania berseru hampir berbarengan saat melihat keberadaan kakaknya—yang baru saja muncul dari balik pintu. Mereka memeluk Awan dengan erat.

“Kapan sampai? Kok, tiba-tiba ada di sini?” tanya Ina.

Awan pun tersenyum. “Biar kejutan, dong. Kok, kalian cepat banget sih besarnya?”

“Gak juga, kita masih segini-segini aja.”

“Kak Awan kok jadi tambah putih?” sahut Sania. Mereka pun tertawa.

Awan melihat ibunya yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Air matanya ingin sekali terjatuh jika tidak dia tahan. “Awan pulang, Bu,” ucapnya sembari menyalami ibunya yang tersenyum.

“Duh, senangnya bisa ketemu anak ibu lagi.”

“Awan juga senang bisa ketemu ibu.”

“Maaf ya, ibu jadi bikin kamu harus pulang.”

“Jangan bilang gitu, Bu. Justru Awan jadi ngerasa bersalah udah ninggalin ibu jauh-jauh.”

“Kamu makan teratur, kan? Kok, kelihatan kurus.”

Padahal Awan merasa ibunya lah yang jauh jadi lebih kurus. Meski berat badannya memang turun, tapi makanannya terjaga dengan baik selama di Korea. Kini lemak di tubuhnya berganti dengan gumpalan otot yang padat. Tapi wajar, semua ibu pasti mudah khawatir jika melihat tubuh anaknya menjadi kurus sedikit saja, pikirnya.

“Awan sehat banget, Bu. Lihat, jadi berotot begini.” Awan mengangkat kedua lengannya. Membuat sang ibu tertawa—dengan susah payah.

Ina menyodorkan teh manis yang langsung diteguk setengahnya oleh Awan. Lelaki berambut agak gondrong tersebut langsungmenyeret kursi dan duduk di samping kasur ibunya. Untuk beberapa saat, mereka saling diam. Awan memiliki beberapa pertanyaan, tapi tak ingin terlalu membebani pikiran sang ibu. Meski begitu, ekspresi pada wajahnya tidak bisa berbohong.

“Kamu pasti kepikiran soal Bagas ya?”

“Eh?” Awan terkejut, karena entah kenapa ibunya seakan bisa membaca raut wajahnya. Memang benar saat ini dia sedang memikirkan hal itu.

“Maaf ya, ibu sengaja gak kasihtahu. Soalnya takut kamu malah kepikiran.”

“Awan ngerti, kok Bu. Tapi Awan ngerasa aneh, kenapa bisa Kak Bagas tiba-tiba hilang gitu.”

“Ibu juga kaget. Biasanya kakakmu sering telepon, dan kalau ada masalah besar pasti cerita. Tapi, sekarang tiba-tiba hilang.”

“Apa kakak terlibat masalah besar di kantornya?”

“Ibu juga gak tahu. Orang-orang kantor pada gak ngerti dan justru nanya balik ke ibu, apa Bagas lagi punya masalah atau kenapa.”

“Terakhir kali kontakan, dia gak bilang apa-apa?”

Ibu menggeleng lemah. “Kami berdua ngobrol seperti biasa. Tapi ibu sempat kepikiran karena sudah beberapa minggu Bagas tidak mengabari. Ibu pikir dia lagi sibuk, jadi gak sempat telepon. Jadi ibu juga gak mau ganggu, cuma beberapa kali kirim pesan aja.”

Satu-satunya cara untuk memastikan memang hanya dengan pergi ke tempat di mana Bagas tinggal, pikir Awan. Dia merasa tidak akan bisa mendapatkan informasi apa pun jika terus bertanya-tanya tanpa melakukan sesuatu. Tapi, di satu sisi dia merasa berat karena khawatir jika harus meninggalkan ibu dan kedua adiknya.

“Sebenarnya Awan ingin coba ke Jakarta buat nyari Kak Bagas. Tapi… gimana ya...”

“Gak apa, gak usah pikirin ibu. Ada Ina sama Sania juga di sini.”

“Iya, kita bisa jaga ibu, kok,” sahut Ina, sembari mendekat ke arah kakaknya.

“Kak Awan ini selalu aja nganggap kita masih kecil,” tambah Sania.

Awan tersenyum dan mengusap-usap rambut Ina hingga berantakan. “Awas ya kalau ngerengek ke kakak pas pengen jajan,” balasnya sembari nyengir.

Sang ibu yang hanya bisa terbaring lemah kembali tersenyum. Dia merasa senang dengan kehadiran ketiga anaknya di sana. Terutama Awan yang sudah cukup lama berpisah. Padahal rumahnya tidak pernah terasa sepi saat semua anaknya masih belum pergi merantau. Tapi, satu per satu semua mulai pergi. Bahkan tidak pernah terpikirkan kalau Bagas akan hilang begitu saja tanpa kabar.

“Tolong cari kakakmu ya, Wan. Ibu khawatir.”

Awan mengangguk-angguk. “Iya, tenang aja, Bu.”

“Tapi kamu istirahat saja dulu beberapa hari ya. Kamu pasti capek sehabis perjalanan jauh.”

“Iya, Bu. Ibu juga istirahat ya, biar cepat sehat. Gak usah terlalu banyak mikir. Aku yakin Kak Bagas baik-baik aja. Dia pasti punya alasan kenapa tiba-tiba pergi.”

“Iya, Nak.”

***

Setelah lima hari beristirahat, Awan bergegas pergi ke Jakarta. Dia cukup tenang karena ibunya sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Meski kedua adiknya terpaksa bergantian bolos sekolah untuk menjaga sang ibu yang masih harus banyak beristirahat. Awan hanya bisa berjanji untuk mencari Bagas secepat mungkin agar lekas bisa kembali ke kampung. Ditambah lagi, persediaan uang yang dia miliki pun tidak terlalu banyak.

Kantor Bagas terletak di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Sebuah perusahaan lokal yang kini berhasil dijungkirbalikan oleh pihak asing. Sehingga saham pemilik lokalnya hanya tersisa dua persen saja dari yang semula tujuh puluh persen. Tapi berkat join dengan perusahaan Jepang pula lah yang membuat perusahaan otomotive tersebut masih sanggup bertahan di tengah pasar yang semakin ramai dengan saingan. Dari bangunannya saja bisa terlihat jelas jika gedung tersebut sedang bertahan di tengah himpitan bangunan mewah di sekitarnya.

Awan hanya penasaran, namun tidak bermaksud untuk mendatangi perusahaan tersebut. Karena tujuan awalnya adalah tempat tinggal Bagas. Dia mendapatkan alamat tersebut dari ibunya—meski agak khawatir kalau ternyata Bagas sudah pindah tanpa memberitahu.

“Mau cari kosan, Mas?” sapa seorang bapak pendek yang datang. Kaos ketatnya basah oleh keringat.

“Eng, kakak saya tinggal di sini. Namanya Bagas. Apa bapak kenal?”

“Oh, adiknya Mas Bagas? Iya, benar, dia pernah tinggal di sini.”

“Pernah?”

“Masa Masnya belum dengar?”

“Soal apa, Pak?”

Si bapak terlihat ragu untuk menjawab. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang nyaris botak. “Saya bingung harus menjelaskan apa. Tapi sudah lama Mas Bagas tidak kembali. Saya pikir dia kabur, tapi semua barangnya masih ada di dalam kamar.”

“Boleh saya cek ke dalam?”

Lelaki setengah baya yang merupakan pemilik kosan membawa Awan menuju salah satu kamar. Di dalam kosan tersebut ada lebih dari sepuluh kamar dengan fasilitas berbeda-beda. Kamar di bagian depan tampaknya menjadi yang paling mahal karena dilengkapi dengan AC. Bahkan beberapa mobil terparkir di halamannya.

Namun perjalanan Awan tidak kunjung terhenti hingga mereka tiba di kamar bagian belakang. Tampak banyak jemuran bergelantungan pada tali rapia yang di pasang dari ujung tembok satu ke tembok lainnya. Beberapa motor matic pun berjajar di sana. Keadaannya lebih remang dan lembap jika dibandingkan dengan kamar jajaran depan. Sudah tentu harganya pasti jauh lebih murah—karena bahkan ruangannya tidak ber-AC.

Si bapak kos membuka pintu kamar Bagas. Perlahan Awan bisa melihat isi kamar yang cukup berantakan. Hampir dia mengira ada rampok yang masuk ke sana. Tapi ternyata tidak, hal itu dikarenakan si pemilik memang malas atau tidak sempat merapikannya.

“Sebenarnya saya tidak enak bilang begini. Tapi sebentar lagi waktu sewa kamar ini selesai, dan mau tidak mau barang-barang Mas Bagas harus dikeluarkan. Karena saya tidak mungkin menyewakan kamar gratis. Jadi, bisa tidak di minggu ini kamarnya dikosongkan, Mas?”

“Oh, iya, saya mengerti, Pak. Tapi sepertinya saya mau lanjutkan sewa kamar ini. Karena khawatir kalau-kalau Kak Bagas justru kembali ke sini. Nanti biar saya transfer uangnya.”

“Baik, Mas. Terima kasih. Kalau gitu saya kasih sekalian saja kuncinya sekarang ya. Silahkan kalau masih mau di sini. Kalau butuh sesuatu, saya ada di depan.”

“Iya, makasih, Pak.”

Awan masih tetap berdiri di depan kamar hingga keberadaan si bapak kos menghilang di belokan. Akhirnya dia bisa dengan leluasa memeriksa seisi kamar Bagas. Dengan harapan bisa mendapatkan petunjuk dari penyebab hilangnya sang kakak.

Terpopuler

Comments

Resti Queen

Resti Queen

Si Awan baik banget.

2022-11-19

0

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

keenakan mimpi si bagas sampai lupa dunia nyata.. 😂😂

2021-05-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!