Chapter Empat

"Mas, Mas Anton!” Rini, si pegawai termuda di bagian PPIC, menggeserkan kursi—masih sambil mendudukinya.

“Apa, Rin?”

“Beneran gak ada kabar dari Mas Bagas? Hampir tiga minggu, nih."

"Iya. Kata orang kosannya juga, si Bagas udah lama gak balik."

"Kalau Pak Joko sih kita ngerti. Orang kayak dia emang gak bisa dipercaya. Katanya dulu dia pernah kabur juga tuh, dari perusahaan sebelumnya. Tapi, ini Mas Bagas! Kita tahu sendiri dia kayak gimana."

Anton mengangguk-angguk. Dia pun merasa aneh dengan kepergian Bagas yang tiba-tiba. Meski tahu hidupnya selalu didatangi banyak masalah, tapi dia yakin Bagas bukan orang yang bisa tiba-tiba kabur seperti itu. "Apa jangan-jangan Pak Joko ngehasut dia juga ya? Bagas kan pegawai yang disuka sama pak direktur. Jadi Pak Joko bikin Bagas ikut kabur juga bareng dia. Buat balas dendam gitu."

"Iya, aku juga mikir gitu, Mas. Aku denger si baginda ngemaki-maki Pak Joko. Katanya nyesel kenapa gak mecat dari dulu. Terus emang mikir kalau Pak Joko ada kaitannya sama kaburnya Mas Bagas."

"Yah... meski sebenernya gue juga dari lama pengen kabur dari perusahaan kayak gini. Siapa sih yang tahan? Tapi, gak berani juga. Bisa-bisa nama kita di-black list sama perusahaan lain. Bagas juga pasti mikir gitu, sih."

"Moga Mas Bagas baik-baik aja deh, di mana pun dia berada. Gue takut aja Pak Joko ngebawa dia masuk jurang."

"Mudah-mudahan. Nanti gue kabarin kalau udah ada kabar dari si Bagas."

"Oke, Mas."

"Eh, ngomong-ngomong, Rin. Lo udah denger belum soal dream machine?"

"Yang lagi viral itu, kan? Penasaran sih, tapi kayaknya mahal ya."

"Gue dapet info menarik, nih. Katanya ada tempat khusus yang nawarin dengan harga sewa rendah. Cuma dua puluh ribu doang sejam."

"Eh, yang bener?"

"Iya. Tapi buat bisa masuk ke sana, kita harus punya undangan gitu.”

“Undangan? Bisa dapat di mana?”

“Gue udah punya, sih. Tapi cuma satu. Nanti coba gue tanya temen dulu gimana biar bisa dapat lagi."

“Jangan ke sana sendirian lho ya! Ajak-ajak, pokoknya!”

“Siap!”

***

Di suatu negara yang terkenal dengan kimchi-nya, lelaki berkulit sawo matang mengangkut karung dengan semangat. Di kala rekan-rekannya yang lain sedang duduk sembari menyeruput secangkir kopi.

“Awan! Istirahat dulu lha kamu. Jangan kerja terus!” panggil seorang pria berkumis.

“Oh, iya, Pak.”

Awan menyimpan karung bawaannya di pinggir tembok, lalu bergabung dengan tiga orang lelaki yang jauh lebih tua darinya. Dia menerima secangkir teh hangat. Saat ini sedang mulai memasuki musim dingin. Saat-saat yang berat bagi orang Indonesia yang terbiasa tinggal di iklim tropis.

Awan menyesap tehnya pelan. Menikmati rasa hangat yang menyiram lambungnya.

“Kita terbantu banget sejak kamu datang, Wan. Tapi kadang jadi khawatir ngeliat kamu maksain diri gitu.”

“Enggak kok, Pak. Kalau capek, nanti juga saya istirahat.”

Si bapak botak terkekeh. “Saya sewaktu seumuran kamu juga masih sama semangatnya. Tapi kalau udah mulai tua gini, jadi sering sakit pinggang.”

“Hati-hati kamu jadi kayak dia lho nanti, Wan.”

Awan tertawa. “Bapak jangan paksakan kalau memang sudah mulai sakit. Nanti biar saya yang bantu handle kerjaannya.”

“Inginnya sih begitu ya. Tapi nanti si bos bisa-bisa ngamuk kalau lihat saya malas-malasan. Yang ada tar duit saya dipotong.”

Di antara dua puluh orang pekerja asal Indonesia, Awan nyaris menjadi yang termuda. Ada satu orang lagi yang berumur dua puluh lima. Sama dengannya saat baru mulai bekerja dua tahun lalu.

Sebenarnya Awan bisa saja lanjut berkuliah setelah lulus SMA. Prestasinya pun cukup untuk bisa diajukan agar menerima beasiswa. Tapi, dulu dia memutuskan untuk langsung bekerja untuk membantu ayahnya yang bangkrut. Meski kakaknya, Bagas sudah bekerja, tetap saja dia tidak ingin membebaninya. Ditambah lagi setelah sang ayah wafat, Awan memilih untuk mencari uang lebih banyak dengan menjadi tenaga kerja Indonesia di Korea.

Awan memutuskan untuk bekerja demi keluarga. Tapi dia kesal karena Bagas melarangnya untuk mengirimkan uang ke rumah. Sang kakak justru menyuruhnya untuk menabung semua uang yang didapat. Padahal dia tahu kalau gaji Bagas pasti pas-pasan.

Musim semi tahun ini, akan genap dua tahun Awan bekerja di Korea. Sementara kontraknya masih tersisa tiga tahun lagi. Sebelum habis, dia tidak diperbolehkan untuk kembali. Jadi, selama ini dia hanya bisa bertukar kabar dengan keluarganya melalui internet saja.

Tidak mudah untuk kerja di luar negeri. Harus menyesuaikan makanan, bahasa, dan kebiasaan. Dan yang paling menyiksa bagi Awan adalah tidak bisa menghabiskan waktu dengan keluarga. Dia sering kali merasa kesepian dan rindu. Kadang membuatnya ingin menangis dan hanya bisa mencurahkan perasaannya kepada pekerja lain yang menganggapnya seperti seorang anak.

Hal terberat yang sempat Awan hadapi adalah pada saat kepergian sang ayah. Membuatnya ingin langsung berhenti dari pekerjaan hanya untuk pulang ke Indonesia. Untung saja bosnya mengerti dan sempat memberikan waktu selama seminggu bagi Awan untuk pulang. Meski biaya pesawat ditanggung olehnya sendiri.

“Kamu kalau sudah pulang nanti punya rencana apa, Wan? Kuliah?”

“Wah, nanti saya udah tiga puluh tahun berarti. Pengen sih, Pak. Tapi kayaknya berat.”

“Iya, gimana sih,Pak Burhan. Udah pasti Awan bakal langsung nikah pas pulang.”

Semua tertawa.

“Nikah sama siapa, Pak? Pacar aja saya gak punya.”

“Tenang, laki-laki ganteng kayak kamu nanti juga banyak yang ngantre. Apalagi habis pulang dari luar negeri, terus bawa uang banyak.”

“Teman di kampung saya dulu juga gitu. Pas baru pulang dari Jepang, langsung banyak yang ngajuin diri buat jadi calon isteri. Tinggal pilih deh tuh.”

“Bapak ini, ngomongnya kayak lagi milih baju di pasar aja,” celetuk Awan.

Di tengah perbincangan seru, seorang lelaki gemuk datang. “Awan, ke sini!” ucapnya dalam bahasa Korea.

Awan yang semula tengah tertawa, langsung memasang wajah serius. Dia berjalan cepat ke arah sang bos. “Iya, ada apa, Pak?” jawabnya. Dia sudah mulai lancar berbicara dengan bahasa sederhana. Setidaknya bisa mempermudah komunikasinya dengan pekerja lokal.

“Ada telepon dari penyalur.”

Penyalur adalah sebutan untuk perusahaan di Indonesia yang mengirim Awan dan pekerja lainnya ke Korea. Mereka lah yang bertugas membuka pendaftaran dan melakukan seleksi untuk pekerja. Juga mengurusi segala persiapan untuk keberangkatan.

Awan menuju ke kantor sang bos, lalu meraih telepon yang tertidurdi atas meja. “Iya, halo.”

“Wan, ini saya, Wanto.”

“Ada apa Pak Wanto?”

“Ini ada adik kamu datang ke kantor. Mereka ada kabar penting, jadi minta izin buat ngehubungin kamu. Saya kasih teleponnya ya.”

Awan merasa penasaran. Adiknya memang sering mengirimkan pesan, namun selalu lewat email. Kalau mereka sampai menelepon, itu berarti ada hal yang sangat gawat, pikirnya.

“Halo, Kak.”

“Iya, Ina. Ada apa sampai nelepon?”

“Kak, ibu masuk rumah sakit lagi.”

“Hah, kenapa?”

“Aku gak tahu. Sakitnya kumat lagi. Tapi kata dokter, kali ini ibu harus diopname. Kami bingung harus gimana, Kak.”

Awan menghela napas, lalu memegangi dahinya. “Kamu sudah telepon Kak Bagas?”

“Itu… masalahnya, Kak Bagas gak tahu di mana.”

“Hah, gimana maksudnya?”

“Tiga hari lalu ibu terima telepon dari kantor Kak Bagas. Katanya Kak Bagas udah beberapa minggugak masuk kerja dan gak ada kabar sama sekali. Kita juga gak bisa nelepon hp-nya.”

“Kok, baru kasih tahu kakak sekarang?”

“Ibu yang nyuruh supaya gak usah bilang sama Kak Awan.”

Awan merasa kakinya mulai lemas. Rasa khawatir mulai menjadi-jadi. Tapi dia bingung karena tidak ada yang bisa dilakukan. Entah harus meminta bantuan kepada siapa, karena ayah dan ibunya adalah anak tunggal.

“Kak Awan gak bisa pulang aja?”

“Inginnya begitu, Na. Tapi kakak gak boleh pulang sebelum kontraknya selesai.”

“Tapi, kita gimana, Kak?” Suara Ina sudah mulai bergetar. Tak lama lagi dia akan menangis. Membuat Awan semakin merasa tidak tega.

“Kamu tenang ya, jagain ibu di rumah sakit. Biar kakak transfer uang habis ini. Nanti kakak kabari lagi.”

Awan menutup telepon, dan mematung sesaat. Rasa khawatir kepada ibu dan adiknya, serta kebingungan karena sang kakak tiba-tiba lenyap, membuat Awan berpikir sudah tidak akan bisa konsenterasi bekerja. Pikirannya mulai berlarian ke sana ke mari. Memikirkan berbagai cara terbaik yang harus dia lakukan. Tapi, dia tidak kunjung menemukan hal tersebut. Hanya berpikir kalau saat ini harus segera kembali ke Indonesia. Meski sebenarnya dia tidak yakin akan diizinkan menghentikan kontrak di tengah jalan.

‘Apa yang harus aku lakukan? Kenapa kamu harus hilang di saat kayak gini, Kak?’

Terpopuler

Comments

Resti Queen

Resti Queen

Kan. Bahaya sesungguhnya tuh yang ini. Ketagihan.

2022-11-19

0

Resti Queen

Resti Queen

Suudzon.

2022-11-19

0

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

🍭ͪ ͩ𝕸y💞🅰️nnyᥫ᭡🍁❣️

next... masih penasaran

2021-05-27

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!