Dream Machine

Dream Machine

Chapter Satu

Selamat datang di PT. HBS (Hidup Bahagia

Sejahtera). Anak perusahaan HSS (Happiness Support System Co.,Ltd) di Indonesia.

Kami hadir untuk memberikan solusi terbaik bagi kehidupan Anda. Menawarkan inovasi yang terlahir dari kepedulian kami terhadap kebahagiaan semua orang. Rasa takut, cemas, sedih, adalah musuh tak kasat mata yang harus dihadapi kita semua. Dan kami ada di tengah Anda, untuk sama-sama berjuang, demi merasakan hidup yang lebih baik.

Beberapa tahun ke belakang, Indonesia sedang berada di titik terburuk sejak memasuki abad ke-21. Dari mulai pandemi yang meresahkan selama lima tahun—yang memaksa semua orang bertahan dan bangkit setelah terpuruk bersama. Kemudian disusul dengan keributan pasca lahirnya undang-undang baru—yang mendapat kecaman dari para buruh.

Tak hanya sampai di sana, presiden yang menjabat pada masa itu pun didemo besar-besaran. Mendapatkan protes, hingga paksaan untuk lengser dari jabatannya. Keadaan yang sudah tidak kondusif, akhirnya memaksa beliau untuk pensiun sebelum waktunya, dan diganti oleh seseorang—yang diisukan bisa memimpin dengan lebih baik. Namun ternyata, masalah negara ini tidak bisa selesai hanya dengan seperti itu. Masih banyak bibit-bibit penyakit yang tetap tinggal. Bertahan di tengah perlindungan kekuasaan dan harta. Masih leluasa menggerogoti apa yang seharusnya menjadi hak rakyat.

Aku tidak bisa membahas hal itu lebih lanjut. Karena bagaimana pun, aku hanya rakyat kecil yang mencoba bertahan hidup di tengah negara ini. Tempat di mana kami yang miskin hanya perlu bergerak mengikuti arus. Mencoba untuk tidak keluar jalur, apalagi sampai berbalik arah melawan aturan yang ada. Kami hanya berharap masih bisa memenuhi kebutuhan perut setiap harinya.

Dua ribu tiga puluh tujuh. Kuharap tahun yang baru saja berlalu selama seminggu ini bisa menawarkan  ehidupan yang jauh lebih baik. Meski keadaan sudah terasa kembali normal, namun kuyakin banyak hal yang turut berubah.

***

"Kamu itu sudah berapa tahun sih kerja di sini? Bukan anak baru yang masih perlu pengarahan, kan? Kerja kayak gitu aja gak becus. Perlu saya keluarkan SP tiga sekarang, hah?!"

Bagas melirik ke arah jam tangan. Masih pukul delapan, tapi si direktur setan—mereka menyebutnya—sudah mengeluarkan taringnya. Benar-benar membuat mood hancur, pikirnya. Tentu saja Bagas merasa iba kepada lelaki setengah baya yang sedang dimarahi, tapi dia pun merasa berhak membutuhkan ketenangan saat bekerja. Bukan justru mendengarkan orang marah-marah di tengah ruangan yang tidak seberapa luasnya itu.

"Sst! Bro, si Pak Joko kenapa lagi sih itu?" bisik Anton. Bagas menoleh padanya dengan malas.

"Mana gue tahu. Lo tanya sendiri sono ke Baginda." Itu sebutan lain mereka untuk si direktur setan.

"Ngaco, lo! Eh, tapi denger-denger Pak Joko lagi banyak masalah di keluarganya. Dari beberapa hari lalu dia ngelakuin kesalahan melulu. Bahkan dalam satu bulan sampai dapat dua kali SP."

"Lo kenapa harus nanya ke gue sih, kalau udah tahu lebih banyak?"

"Bagas!"

Oh, Shit! Celetuk Bagas dalam hati saat mendengar namanya disebut. Bulu kuduknya seketika berdiri. Dia berharap semoga pembicaraannya dengan Anton barusan tidak terdengar hingga ke bangku sang direktur.

"Iya, Bag- ehem, Pak."

Anton sedikit menahan tawa saat mendengar Bagas hampir bunuh diri dengan salah menyebutkan nama. Bagas pun lekas melangkah ke tempat kejadian perkara. Tekanan yang terasa semakin besar, tiap kali dia mendekat ke sana. Dia merasa semua orang diam-diam sedang mencuri pandang ke arahnya.Beberapa menatap dengan iba, beberapa menerka-nerka apa yang akan terjadi.

"Iya, ada apa, Pak?" Meski tidak melakukan kesalahan—selain menyebutnya dengan panggilan Baginda—tetap saja Bagas merasa cemas.

"Mulai sekarang, kamu saja yang urus EXIM. Biar Pak Joko yang urus supplier lokal."

"Baik, Pak."

"Kamu jangan mentang-mentang senior di sini, jadi bisa seenaknya!" bentaknya lagi pada Pak Joko yang sudah tak berdaya. Membuat semua orang merasa iba melihatnya. Meski lelaki tersebut memang bukan sosok senior yang disegani.

Bagas menatap Pak Joko dengan simpati. Sempat berniat untuk menawarkan diri menjadi teman curhat. Namun beberapa saat kemudian, langsung dia urungkan niatan tersebut. Bagas pikir, masalah hidupnya sendiri sudah cukup banyak. Dia tidak berani menambah beban dengan berlagak menjadi pahlawan bagi orang lain. Jadi, dia bersikap masa bodoh seperti biasanya.

Bagas merasa hidupnya bertambah berat sejak melewati ulang tahun ketiga puluhnya. Di samping beban pekerjaan yang terus menuntut performanya selalu baik—tanpa memberikan gaji yang layak, ada pula tekanan yang berasal dari keluarganya sendiri. Ayah dan ibu Bagas selalu bertanya kapan dia akan mulai berkeluarga. Tapi jangankan untuk menikah, hingga saat ini saja dia masih belum bisa memulai hubungan baru sejak dua tahun lalu.

Bagas terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Sebenarnya dia cukup bangga karena mendapatkan kepercayaan dari para atasannya. Tapi hal itu justru membuatnya semakin kehilangan hak untuk menikmati kehidupan pribadinya.

Di umurnya yang sudah tidak lagi muda, Bagas semakin sulit menemukan wanita yang cocok dengannya. Meski sebenarnya tidak terlalu pemilih. Dari segi penampilan pun dia bisa dibilang tidak buruk. Tapi lingkaran pertemanan yang sudah semakin kecil, membuatnya agak sulit menemukan orang baru yang bisa diajak berkenalan.

Beberapa bulan ke belakang, ayahnya baru saja meninggal dunia. Sehingga kini dialah yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Adik laki-lakinya sudah dua tahun belum kembali dari Korea—bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Sebenarnya bisa mengurangi bebannya, tapi Bagas terlanjur menyuruh sang adik untuk menabung uangnya sendiri. Sementara kebutuhan keluarga akan ditanggung oleh Bagas sendiri, meski dia sering nyaris kehabisan uang di akhir bulan.

Selain itu, ada dua adik perempuan kembarnya yang masih bersekolah di bangku SMA. Untung saja biaya sekolah di kampung tidak terlalu mahal. Tapi Bagas mulai pusing saat keduanya berkata ingin melanjutkan kuliah. Mereka semangat sekali saat membahas mimpinya untuk lanjut berkuliah seperti kakaknya itu.Tentu saja Bagas sangat senang dan bangga mendengar semua itu. Dia salah satu orang yang mementingkan pendidikan bagi perempuan. Hanya saja, keadaan berkata lain.

Jaman dulu, ayah Bagas masih mampu membiayai kuliah karena bisnis catnya lancar. Dua tahun lalu, dia kena tipu dan sisa uangnya hanya cukup untuk modal usaha nasi goreng. Gaji Bagas saat ini hanya UMR. Meski tinggal di kota dengan UMR tertinggi, tetap saja dia harus menjual ginjal untuk mengkuliahkan kedua adiknya dalam satu waktu.

'Rasanya, aku ingin mati saja...'

“Hah…” Bagas mengembuskan napas panjang. Dia duduk di belakang kantor—tempat orang-orang biasa merokok di sana.

“Kenapa, Gas? Masih muda kok kayak banyak pikiran gitu.”

“Eh, Pak Joko.”

Pak Joko mengeluarkan rokoknya, dan turut duduk di samping Bagas. Sesaat mereka saling diam menikmati rokok masing-masing. Kini Bagas tidak bisa hanya diam tanpa memulai pembicaraan.

“Baru ganti tahun, tapi saya sudah mulai pusing nih, Pak. Kayaknya gak pas ya bilang gitu ke bapak, hehe.”

Setiap hari, Bagas melihat Pak Joko selalu datang ke kantor dengan wajah lesu. Biasanya dia cukup enerjik sampai-sampai sering membuat pegawai wanita risih karena candaannya. Dia pun rajin mengajarkan kepada juniornya cara pintas mengambil keuntungan dari proses export-import. Hampir seluruh pegawai tahu soal hal buruk yang dia lakukan. Tapi tidak pernah sampai hati untuk melaporkan hal itu kepada Baginda.

“Yah, siapa sih orang yang gak punya masalah? Pak direktur sekali pun pasti banyak masalah tuh sampai-sampai ngelampiasin ke pegawainya.” Pak Joko menghisap kembali rokoknya dalam-dalam. “Saya memang lagi agak pusing. Belum lama cerai sama isteri saya. Mobil ditarik sama leasing gara-gara beberapa bulan gak bisa bayar cicilan. Ditambah gaji saya disunat Baginda.”

Bagas bingung harus bereaksi seperti apa. Dia terlalu banyak mendengar informasi yang terlalu pribadi soal Pak Joko.

“Saya gak tahu harus komentar apa, Pak. Semoga masalah bapak bisa cepat selesai ya.”

“Kau juga, Gas. Kalau memang ada kesempatan buat cari pekerjaan yang lebih baik, jangan memaksakan tinggal di sini cuma karena mereka bilang percaya sama kamu. Mereka senang bisa dapat pegawai yang bagus dengan gaji kecil kayak kamu.”

Bagas merasa kata-kata Pak Joko menamparnya. Membuat kepalanya semakin pusing.

“Iya ya, Pak. Saya terlalu takut buat ngelangkah ke tempat baru. Mudah-mudahan nanti dapat kesempatan yang lebih baik.”

“Selagi masih muda. Jangan lupa buat nikmatin hidup kamu juga. Sebelum terlanjur gak punya kesempatan buat ngelakuinnya.”

Pak Joko pun membuang puntung rokok dan pamit untuk masuk ke kantor lebih dulu. Meninggalkan Bagas yang kembali termenung meratapi nasib. Dia berharap hidupnya tidak akan jadi seburuk milik Pak Joko. Kini dia tinggal sendirian, sembari menghadapi berbagai masalah yang ada. Setidak Bagas berpikir kalau dia masih punya keluarga yang menyayanginya.

***

Hari-hari berikutnya masih tampak sama bagi Bagas. Keadaan masih belum kunjung membaik. Tapi dia melihat ada yang berbeda dari seseorang. Pak Joko yang semula selalu tampak lesu, kali ini tampak normal kembali seperti semula. Dia tampak ceria, dan bercanda dengan pegawai lain seperti biasa. Nongkrong di gazebo sambil menggoda pegawai wanita yang baru saja datang.

"Gas... kenapa kamu, Gas? Masih pagi kok udah lesu gitu." Bagas agak terkejut karena kedatangan Pak Joko. Padahal dia sedang ingin menenangkan diri sendirian. Sambil merokok di belakang gedung seperti biasa.

"Eh, Pak. Mau rokok, Pak?"

"Oh, enggak. Terima kasih. Saya udah memutuskan buat berhenti, biar hemat," ucap Pak Joko sambil tertawa.

"Gimana, belum beres juga masalahnya?" tanyanya seperti ibu-ibu tukang gosip yang mencari informasi.Nada bicaranya sedikit membuat Bagas kesal.

"Ya... begitu lah, Pak."

Awalnya, Bagas tidak tertarik untuk memperpanjang pembicaraan. Tapi, ada hal yang mengganggu pikirannya. "Tapi saya salut, bapak kelihatannya sudah bisa ngatasi semua masalah ya?"

Pak Joko justru tertawa, membuat dahi Bagas mengerut.

"Kalau kamu tau, saya masih stres, Gas. Ingin mati rasanya. Dalam satu waktu dapat masalah langsung seabrek."

Saya juga sama, Pak.

"Tapi, saya punya sesuatu yang bisa bikin hidupmu lebih baik. Saya ingin ingin kasih tau kamu karena kamu selalu baik sama saya."

Kata-kata Pak Joko berhasil mencuri perhatian. Sampai-sampai Bagas mematikan rokoknya yang masih belum habis. "Apa itu, Pak?"

Pak Joko merangkul bahu Bagas supaya mendekat. Berkata dengan nada yang pelan. "Saya punya obat."

"Ah, enggak ah, Pak. Saya gak mau pakai kayak begitu.”

"Eh, dengar dulu! Kamu pikir saya pengedar narkoba ya?" Selanjutnya, dia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemeja. "Kamu tahu perusahaan Hidup Bahagia Sejahtera? Anak perusahaan dari HSS yang terkenal itu."

"Yang jual alat-alat kesehatan dan perabotan rumah tangga itu bukan ya?"

"Betul!"

Pak Joko menyerahkan selembar kertas kecil dari tangannya. Sebuah kartu nama seorang marketing bernama Ellyana. Kertas hitam, dengan tulisan berwarna emas. Tampak mengilat saat tersiram cahaya mentari.

Happiness Support System Co., Ltd - PT. Hidup Bahagia Sejahtera (HBS)

'Kebahagiaan Anda adalah Tanggung Jawab Kami'

Terpopuler

Comments

Resti Queen

Resti Queen

Baru baca bab pertama dan aku langsung suka. Penulisannya rapi jadi enak liatnya di mata.

2022-11-19

0

Resti Queen

Resti Queen

Ujung-ujungnya jadi tetap curhat-curhatan sama Pak Joko kayaknya.

2022-11-19

0

Resti Queen

Resti Queen

Awas kebablasan bilang Baginda 🤣

2022-11-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!