ADI POV
Aku tak mengerti dengan Maya? Ia menolak ajakanku untuk memeriksakan diri ke dokter. Dan aku malah diberi foto hasil USGnya. Sungguh sebetulnya aku tak mempercayainya. Tapi kenapa aku begitu kasihan pada anak yang dikandungnya.
"Cepat siap-siap. Abang tunggu di mobil." ucapku dengan membawa foto hasil USG itu.
"Tapi, Bang…" ujarnya yang langsung kusela. Aku yakin ia akan menolak lagi.
"Lepas itu, nanti lanjut kita jalan-jalan ke mall." pangkasku yang langsung dianggukinya. Hm, dasar betina! Pasti selalu macam ini, bila diajak ke mall. Yang betina itu bayangkan sekarang, pasti tentang pakaian dan baju-baju yang menarik perhatiannya.
Lalu aku keluar dari rumah ibu Rokhayah, dan langsung menuju ke mobilku.
Di dalam mobil, pikiranku melayang jauh entah ke mana. Aku takut nanti istriku, akan mengetahui bahwa aku menghamili mantan kekasihku dulu. Di sisi lain aku begitu kasian pada anak yang di kandung Maya. Tapi di satu sisi, aku enggan menceraikan istriku-Adinda.
Belum lagi masalah ayah dan umi yang tengah bolak-balik ke rumah sakit terus. Dan lagi, Zulfa dan Jefri menambah runyam beban di kepalaku.
Lepas masalahku dan Maya bisa teratasi. Aku ingin mengetahui langsung dari Jefri, tentang hubungannya dengan Zulfa.
Aku paham tentangnya. Meskipun Jefri jebolan pesantren, berprofesi sebagai dokter. Itu tak cukup menjamin bahwa ia adalah laki-laki baik-baik. Masalah betina, tentu dia sudah khatam.
Belum lagi pergaulannya yang asik di lampu kerlap-kerlip itu. Karena tak mungkin rasanya, jika Jefri jarang ke tempat hiburan malam. Sedangkan, saat ia mengajakku dulu. Petugas keamanan, dan lorong-lorong rahasia dalam tempat hiburan malam pun ia ketahui. Mustahil rasanya, kalau Jefri masih amatiran dalam dunia malam itu.
Getar di saku celanaku cukup mengejutkanku. Dengan cepat aku langsung merogohnya. Dan melihat siapa yang membuat ponselku bergetar ini.
Ya ampun, ini Adindaku. Aku bahkan belum sempat menghubunginya dari semalam.
"Hallo, assalamualaikum. Sayang." ucapku setelah menggeser icon hijau itu, dan menempatkan ponselku di daun telingaku.
"Abang lupa ngabarin aku? Abang tak tau kah? Aku dari tadi setia nungguin kabar dari Abang. Abang tak paham kah? Di sini ada aku yang mengharapkan kabar dari Abang. Apa memang sengaja? Iya macam itu?" ujar istriku begitu lancar. Memang tiada duanya masalah adu mulut. Maklumlah lidah istriku setiap malam jum'at, ia kerok dengan cincin emas. Makanya ia bisa selancar ini berbicara. Tapi tentu saja ini tidak benar.
"Bukan macam itu, Sayang…" suaraku tertahan, karena pintu mobilku tiba-tiba dibuka oleh… Maya.
Aku mengisyaratkan jari telunjukku yang kutempelkan di depan bibirku. Agar Maya tak mengeluarkan suaranya.
"Terus macam mana kalau bukan macam itu? Abang sibuk kali ya sampai lupain aku? Abang tak tau kan aku mimpi buruk terus. Harusnya tugas Abang yang ngasih aku minum, setelah aku bangun dari mimpi burukku." tutur Adindaku yang seperti biasa. Yang menganggap aku selalu salah di matanya.
"Iya maaf, Sayang. Nih Abang ngasih kabar. Abang ceritain singkatnya ya. Abang sampai di rumah umi pas ba'da isya. Bersih-bersih, terus langsung ke rumah sakit. Abang tidur di rumah sakit. Terus paginya Abang langsung ke kota C. Soalnya keluarga Jefri mau datang ke rumah Abang yang di kota C." jelasku kemudian. Namun aku mendengar Maya yang sengaja berdekhem.
"Siapa itu? Betina mana lagi itu?" tukas Dinda yang sepertinya mendengar suara dekhemman Maya barusa. Haduh, ada-ada saja. Harusnya Maya tak mengeluarkan suaranya.
"Bukan siapa-siapa, Sayang. Itu Zulfa, lagi masak. Bentar lagi katanya keluarga Jefri datang. Jadi dia mau nyambut mereka dengan masakannya." ungkapku, yang terlalu banyak mengambing hitamkan Zulfa dan Jefri kali ini.
"Awas aja kalau sampai Abang bohongin aku! Doa menyesuaikan!" ancam istriku yang sepertinya tak main-main. Karena doa istri luar biasa dahsyatnya.
"Tenang aja, Sayang. Abang cuma milik Adek." ucapku memenangkan istriku.
"Nanti sekalian main ke mertua Abang. Tengokin mereka. Tengokin puyuh-puyuh aku juga." jawab istriku yang sepertinya tak berapi-api lagi sekarang.
"Ok siap. Ada lagi, Sayang?" sahutku sambil melirik Maya yang dari tadi memperhatikanku terus.
"Hmm, nanti aku bikin listnya." balas istriku di seberang telepon, yang cukup membuatku bertanya-tanya. Pasti banyak barang yang aku harus bawa dari kota ini. Tebakanku dalam hati.
"Ok siap. Udah dulu ya? Nanti Abang telpon lagi." ujarku kemudian. Namun sepertinya Dinda masih enggan menutup teleponnya. Karena ia begitu marah, terdengar dari nada bicaranya dan kalimat yang panjangnya melebihi kapasitas manusia normal.
Aku langsung keluar dari mobil dan bersandar pada pintu mobil. Agar Maya tak mendengar lebih, dari yang aku ucapkan pada Dinda tadi. Tapi sudah pasti, nanti ia akan bertanya tentang seseorang yang kusayang-sayang dalam telepon ini.
"HEH, ABANG TAK DENGAR KAH?" teriak istriku lewat telepon. Aku terkejut bukan main, karena suaranya yang begitu menggelegar. Serasa telingaku budek sebelah sekarang, karena efek teriakan yang Dinda berikan.
"Dengar Adindaku sayang. Bukan Abang tak mau dengar suara Adek lagi. Tapi Abang ada kesibukan lain. Abang mau keluar sebentar." ucapku sehalus mungkin. Setiap kali aku berbicara dengannya, sebisa mungkin aku memperhalus kalimatku dan suaraku. Karena jika aku tak menanggapinya, atau malah terpancing emosi karenanya. Bisa lebih panjang nanti persoalan sepele yang Dinda permasalahan itu.
Aku pun tak paham kenapa istriku berubah seperti ini. Apa ini kah sifat aslinya? Tapi anaknya pun kebingungan dengan sikap ibunya yang sekarang. Berarti jelas Dinda baru sekarang ini berubah.
"Mau ke mana lagi tuh? Ngelayab terus, heh? Kesempatan ya jauh dari istri? Enak ya bebas? Pantesan Abang sengaja tak hubungi aku, rupanya aku ini mengganggu sekali ya? Heh, diam aja! Betul macam itu?" seru istriku yang tiada hentinya ingin berdebat. Ya Allah, untung dia istriku, untung aku cinta mati sama dia. Kalau tak, sudah kahaluskan dia untuk jadi pupuk organik pohon-pohon kopiku.
Sepertinya aku harus memberinya pengertian sedikit tegas, agar ia tak berprasangka buruk terus. Agar ia paham bahwa aku tak seperti yang ia tuduhkan.
"Dengerin Abang, Adindaku sayang. Abang tak macam itu. Abang di sini lagi coba nyelesaiin masalah. Abang pasti bisa jaga diri, jaga mata, jaga hati. Abang tak mungkin berani untuk nyakitin Dinda. Abang tak macam-macam di sini. Abang selalu rindu sama Dinda, selalu kangen sama Dinda. Abang tak mungkin sedetik pun tak ingat Dinda." ungkapku yang mungkin sedikit berlebihan. Mau bagaimana lagi? Aku tak pandai mengungkapkan tentang apa yang aku rasakan.
"Berbuih tuh mulut Abang. Heran aku, orang segagah Abang bisa bucin macam itu. Geli tau tak Bang, aku dengarnya." sahut Dinda yang membuatku terkekeh sendiri. Dan terdengar kekehan pelan dari istriku juga. Kadang semudah ini mencairkan suasana hatinya yang bergemuruh itu. Tapi tak jarang berakhir dengan air mata.
Dan untuk masalah tubuh. Tubuhku sudah kembali gagah dan berisi. Tentu karena makananku yang Dinda jaga, olah raga rutin, dan susu tinggi protein yang Dinda seduhkan setiap hari.
Sampai-sampai, aku jika berada di rumah jarang Dinda beri baju. Dia bilang, dia senang memandangku yang bertelanjang dada di depannya. Lebih-lebih dia suka mengisengi diriku, entah itu mencubit p*ting dadaku. Atau mengelus bagian yang mungkin ingin ia sentuh.
Karena memang akhir-akhir ini Dinda yang betul-betul sedang sensitif. Entah itu perasaannya, moodnya, dan juga tubuhnya. Dia sering ingin di waktu yang tak tepat. Sampai Givan pun ia sengaja ungsikan di rumah kak Ayu, atau di rumah Safar. Jika ia sudah tak bisa menahannya lagi.
"Eh tunggu dulu. Apa tadi Abang kata? Abang nyelesaiin masalah? Memang masalah apa? Kok Abang tak terbuka sama aku. Biasanya, Abang sembelit aja ngadu sama aku. Kok bisa-bisanya ada masalah, Abang diam aja. Tak cerita pulak!" lanjut Dinda. Waduh, sepertinya aku keceplosan tadi. Aku diam dengan memikirkan sesuatu yang secepatnya harus aku ucapkan pada Dinda.
"Bang, kita jadi pergi gak?" tanya Maya yang keluar dari dalam mobil.
"Siapa tuh? Heh, Adi Riyana! Abang bohongin aku?" seru Dinda yang masih tersambung lewat telepon.
Haduh, mati aku! Macam mana ini?
TBC.
Secinta itu Adi pada Adinda. Rasanya tak mungkin Adi berkhianat atas pernikahannya.
Tapi menurutku, Maya juga bukan pelakor di sini. Dia juga korban dari penjahat kelamin macam Adi.
Maya juga tak tau bahwa Adi sekarang udah beristri. Jadi kemunculannya lagi, tak sepenuhnya salah dalam kehidupan Adi sekarang.
Bagaimana menurut kalian? 🤔
**JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK YA 😉
LIKE, VOTE SEBANYAK-BANYAKNYA, RATE ⭐⭐⭐⭐⭐ BAGI YANG BELUM, TAP ❤️ FAVORIT BAGI YANG BELUM, DAN BERIKAN KOMENTAR TERBAIK KALIAN 😘
AGAR AUTHOR TAMBAH SEMANGAT 🤭
TERIMA KASIH 🙏**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 246 Episodes
Comments
✰͜͡v᭄pit_hiats
#hadirr😍😍😍
2021-12-11
0
coni
5 like thor
2021-04-06
4
Little Peony
Like like like
2021-03-02
2