Di perjalanan pulang, Disa tak henti-hentinya menangis. Sambil sesekali memukul kaca samping mobil. Alan yang melihatnya pun merasa sangat kasihan. Baru beberapa jam dia melihat adiknya ini kembali tersenyum, sekarang sudah sedih lagi.
"Seharusnya kamu bisa bersikap lebih baik, tadi. Mas jadi malu, kamu jadi bahan tontonan pengunjung kafe di sana," ujar Alan menasehati.
"Aku gak peduli, mas. Gak peduli sama sekali!" balas Disa, raut wajahnya terlihat marah sekali.
"Emang mau kamu apa? Kamu mau merebut laki-laki itu dari Amera? Emang kamu bisa?" Alan sepertinya meragukan.
"Aku akan mengambil kembali yang menjadi milikku. Aku gak akan biarin orang lain, siapapun itu milikin Revan," Disa nampak percaya diri, bibirnya tersenyum menyeringai.
"Saran mas, lebih baik kamu cari laki-laki lain yang lebih dari dia. Mas gak mau kalau kamu ngemis-ngemis kayak tadi. Nama baik keluarga kita akan tercoreng kalau seperti itu caranya!"
"Tapi mas, nama baik keluarga kita juga akan tercoreng kalau kita gak bisa mendapatkan apa yang kita mau. Mas ingat itu, kan?" ucapan Disa mulai menyadarkan Alan, kalau keluarga Permadi memang harus bisa mendapatkan apa yang di inginkan.
"Terserah kamu!" Keinginan Disa membuat Alan ikut pusing juga.
"Mas harus bantu aku, harus!"
"Bantu apa?" Alan melirik wajah adiknya sekilas, sepertinya Disa akan memberikan sebuah ide.
Kemudian, Disa mengatakan idenya itu pada Alan. Alan hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya.
Setelah itu, Alan menghubungi Arsen, asisten pribadinya.
"Halo, Sen. Saya ada tugas buat kamu!"
Disa merasa sangat puas, ia berharap kalau rencana ini akan berhasil. Dan Revan akan kembali ke dalam pelukannya.
***
Di rumah Revan, ia mencoba untuk terus menghubungi Amera. Namun Amera tidak juga menjawab telponnya. Entah Amera sengaja tidak menjawab panggilan dari Revan atau ada hal lain.
"Sepertinya aku harus ke rumah Mera. Aku harus jelaskan lagi, kalau aku sama sekali tidak memiliki hubungan dengan Disa," Revan bertekad untuk mendatangi rumah Amera, siapa tahu Amera akan percaya dengannya setelah mendengar penjelasannya.
Revan bergegas keluar dari kamarnya dengan langkah yang tergesa-gesa, tidak ingin membuang-buang waktu dengan cara berdiam diri saja.
"Revan.. Kamu mau kemana?" panggilan seseorang membuat langkah Revan terhenti, seorang wanita yang bernama bu Marina berjalan mendekat ke arah putranya.
"Kamu mau kemana, Van? Kok buru-buru sekali?" rasa penasaran bermunculan di benak bu Marina, ia tidak pernah mendapati putranya sepanik ini.
"Aku mau keluar sebentar, ma. Ada urusan yang harus aku selesaikan malam ini juga."
"Gak bisa besok pagi aja?"
"Gak bisa, ma. Aku pamit pergi dulu, ya. Assalamu'alaikum.." Revan meraih tangan mamanya kemudian mencium punggung tangan itu.
Bu Marina tidak bisa mencegah kemana pun Revan pergi. Ia hanya bisa mendo'akan semoga putranya baik-baik saja.
"Aneh.. Gak biasanya Revan seperti ini," bu Marina menatap kepergian Revan yang sudah hilang dari pandangannya.
***
Sebuah mobil berwarna hitam memasuki gerbang utama rumah keluarga Permadi saat seorang satpam di rumah itu sudah membukakan pintu gerbang dengan sangat lebar.
Arsen, asisten pribadi Alan turun dari mobil hitam tersebut. Di sana sudah Alan yang sepertinya sudah tahu akan kedatangan Arsen ke rumahnya.
"Ini pak," Arsen memberikan sesuatu kepada Alan.
Tanpa membuka sesuatu yang di berikan asistennya, Alan sudah tahu isinya apa. Karena dia sendiri yang meminta Arsen untuk memenuhi permintaannya. Ia memasukkan sesuatu itu ke dalam saku jasnya.
"Ada lagi yang harus saya lakukan, pak?" tanya Arsen karena tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Alan.
"Untuk saat ini tidak ada. Sekarang kamu pulang, besok kamu harus pergi ke kantor pagi-pagi!" titahnya.
"Baik, pak. Kalau begitu saya permisi."
"Iya."
Arsen kembali masuk ke dalam mobilnya. Melihat asisten pribadi bosnya sudah menghidupkan mesin mobil, satpam rumah segera membuka kembali pintu gerbangnya.
Tidak lama setelah Arsen pergi, Alan pun membuka pintu mobilnya lalu masuk. Penampilan Alan sudah lebih rapih dari biasanya, sepertinya ia akan pergi ke suatu tempat yang tidak biasa.
"Mali.. Jaga gerbang baik-baik!" teriak Alan pada satpam rumahnya, ketika melewati gerbang.
"Siap pak bos!" jawab Mali dengan hormat.
Di perjalanan, Alan mengecek hp nya. Ia membuka pesan WhatsApp yang di kirim oleh Arsen. Sebuah lokasi atau alamat seseorang.
"Jalan XX nomer 12," Alan membaca alamat yang di kirim oleh Arsen.
Melihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, Alan menambah kecepatan laju mobilnya. Kebetulan jalanan di malam hari tidak semacet siang atau sore.
Setengah jam berlalu, akhirnya Alan sampai di depan rumah seseorang. Seperti alamat yang di kirimkan oleh asisten pribadinya. Jika di lihat dari nomer rumahnya, sepertinya ini benar. Rumah orang yang akan Alan datangi.
Alan pun turun dari mobilnya, melihat ke sekitar suasana sudah sepi. Ia berjalan ke arah pintu rumah. Walaupun awalnya ragu, tapi Alan harus bertemu dengan orang si pemilik rumah ini.
Setelah mengumpulkan keberanian, akhirnya Alan mengetuk pintu rumah yang ada di hadapannya.
"Assalamu'alaikum.." ucapnya sembari mengetuk pintu rumah.
Tidak lama kemudian, suara jawab salam dari dalam rumah mulai terdengar.
"Wa'alaikum salam.." di barengi dengan pintu yang terbuka, rupanya bu Anna yang keluar.
"Siapa, ya?" bu Anna sama sekali tidak mengenali Alan.
"Saya Alan Permadi, benar ini rumah Amera?" bicara dengan sopan.
"Oh.. Iya benar, silahkan masuk!" bu Anna mempersilahkan Alan masuk ke dalam ruamahnya, dengan senang hati Alan pun menerima sambutannya dengan baik.
"Siapa, ma...?" pak Abdi keluar dari kamarnya setelah mendengar ada tamu malam-malam.
"Tamunya Amera, pa."
"Saya Alan Permadi, om. Kedatangan saya ke sini bukan cuma ingin menemui Amera, tetapi om dan tante juga," jelas Alan.
"Oh.. Iya, iya. Kalau begitu silahkan duduk!"
"Ma.. Tolong panggilkan Amera, ya!" pinta pak Abdi pada bu Anna.
"Iya, pa."
Saat ini, di ruang tamu hanya ada pak Abdi dan Alan. Daripada saling diam, Alan mulai berbicara saja mengenai tujuannya datang ke rumah itu. Tapi sayangnya pak Abdi sudah bicara lebih dulu.
"Saya gak pernah lihat kamu sebelumnya. Emangnya kamu sudah kenal lama dengan putri saya?" sambil mencoba mengingat-ingat lagi, apa dia pernah bertemu dengan laki-laki di hadapannya ini.
"Saya sudah kenal cukup lama dengan Amera, om. Cuma, saya ini emang orang sibuk. Jadi saya tidak bisa untuk menemui om dan tante," jelas Alan, bohong. Padahal dia baru dua kali bertemu dengan Amera, saat nyaris menabraknya dan saat ketemuan di kafe, itupun Amera yang minta.
"Oh.. Baik kalau begitu," pak Abdi mengangguk-anggukan kepalanya, sedikit ragu juga, sih. Karena Amera sepertinya tidak pernah cerita tentang dirinya. "Kamu kerja di mana?"
"Saya CEO di PT. Permadi Jaya. Perusahaan saya sendiri."
"Wah, benarkah?"
"Iya, om."
Bu Anna kembali ke ruang tamu.
"Aduh, maaf ya! Amera nya sudah tidur, tante udah coba bangunin tapi sepertinya Amera kecapean," bu Anna duduk di sebelah suaminya.
"Tidak apa-apa, tante. Kalau begitu saya bicara sama om dan tante saja."
"Ok. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" tanya bu Anna.
"Jadi begini, om, tante. Tujuan saya ke sini adalah....." kemudian Alan menjeskan maksud dan tujuannya datang ke rumah ini.
***
NB: Kira-kira mau apa, ya? Jangan lupa tambahkan me favorit, supaya mendapatkan notifikasi kelanjutannya.
Follow ig: @wind.rahma
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Saki_chan
bagus kak...
mampir juga di novel aku ya...
2021-03-07
1
ʰⁱᵃᵗᵘˢ 𝔰𝔦𝔟𝔲𝔨 𝔯𝔩
lamaran pasti ya Thor😁 di tunggu lanjutannya...🤗
2021-03-07
7
Anggi Susanti
apakah alan mau lamar amera ato mau kasih dia pekrjaan aduh gemes deh nunggu lagi
2021-03-07
2