Revan mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Amera, ketika ia datang ke rumah melihat ada laki-laki yang melamar kekasihnya. Sedari tadi ia berdiri di depan pintu rumah Amera yang terbuka sedikit, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan antara Alan dengan kedua orang tua Amera.
Revan bergegas pergi dari tempat berdirinya saat ini. Ia masuk ke dalam mobilnya. Revan berdiam seperti halnya orang bodoh, ia masih tidak percaya dengan apa yang barusan ia lihat dan ia dengar.
"Kenapa, Amera? Kenapa kamu menerima lamaran dari laki-laki lain?" mata Revan mulai berkaca-kaca.
"Apa selama ini kamu menyembunyikan sesuatu di belakang aku, Mera?"
"Kamu bilang kamu tidak mengenal laki-laki yang bernama Alan itu?"
"Kamu bilang kamu cuma mau meminta pekerjaan pada dia?"
"Tapi sekarang, sekarang kamu malah menerima lamaran dari laki-laki itu."
"Pantas saja kamu tidak mengangkat telpon dari aku, Mera. Rupanya kamu sedang sibuk dengan lamaran dari laki-laki itu." Revan jadi berasumsi sendiri, dan berpikir yang buruk tentang Amera.
"Padahal selama kita menjalin hubungan selama dua tahun belakangan ini, kamu tidak pernah marah sampai tidak menjawab telpon dari aku, Mera. Tapi kali ini, kali ini apa? Kamu marah seolah-olah aku yang salah."
"Apa jangan-jangan kamu sudah merencanakan ini semua? Aku kecewa sama kamu, Mera."
"Haaarrghh.." Revan memukul setirnya dengan sangat keras, berusaha melampiaskan semua amarahnya.
Deru napas Revan mulai tidak beraturan, pikiran dan hatinya sedang di penuhi oleh amarah yang menguasai. Bahkan, dirinya tidak mampu mengendalikan semua itu.
Revan melihat Alan sudah keluar dari rumah Amera, ia dengan cepat menghidupkan mesin mobil dan pergi dari sana sebelum Alan melihat dirinya.
***
Alan menghela napas berat, saat ini ia sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Ia masih bingung dengan dirinya sendiri, kenapa ia melakukan hal yang seharusnya tidak perlu ia lakukan?
"Al.. Kamu kenapa? Malam-malam kamu belum tidur, dari mana?" seseorang tiba-tiba muncul di samping Alan, dan nyaris membuat Alan jantungan.
"Mama.."
"Kenapa? Masalah pekerjaan? Mama kan sudah bilang sama kamu, jangan terlalu menyibukkan diri dengan pekerjaan kamu. Kamu harus meluangkan waktu untuk diri kamu sendiri. Kamu harus segera cari pendamping, Al... Sampai kapan kamu mau seperti ini?" bu Ressa begitu mengkhawatirkan Alan yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Iya, ma.. Mama tenang aja, aku pasti akan segera cari pendamping buat aku, kok. Tapi kan gak sekarang juga, ma," mengenai pendamping, Alan memilih untuk tidak menceritakan kalau dia baru saja melamar Amera.
"Mama, ngerti. Tapi kamu harus ingat kata-kata mama, okay? Sekarang kamu istirahat, udah malam!" bu Ressa mengusap bahu Alan dan memberikan sebuah senyum penyemangat.
"Iya." Alan membalas senyum mamanya, setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya.
Ressa menghela napas. "Hem.. Semoga kamu segera memberi mamah menantu, Al.." ucapnya penuh harap.
***
Pagi harinya, Amera baru saja bangun tidur. Ia meraba hp di atas nakasnya dengan mata masih setengah terpejam. Amera tadinya hanya nau melihat jam saja, tapi ia di kejutkan oleh puluhan panggilan tak terjawab dari Revan.
"Ya ampun, Revan.. Aku lupa kalau hp-nya di silent," Amera menepuk jidatnya sendiri.
"Tapi kok gak ada panggilan masuk dari pak Alan, ya? Katanya dia mau ngabarin aku lagi," Amera mengernyit.
Tidak masalah, kalau Alan memang tidak memberinya sebuah pekerjaan. Lagi pula ia masih bisa bekerja di tempat teman lama papanya.
Amera bangun dari tempat tidurnya untuk mandi, ia juga berpikir untuk langsung menemui Revan saja untuk membahas hal kemarin. Dia juga mau meminta maaf karena dia ketiduran dan hp-nya di silent, bukan sengaja tidak mengangkat telponnya.
Setelah selesai bersiap-siap, Amera berpamitan pada papa dan mamanya yang tengah sarapan di meja makan.
"Pa..ma.. Aku mau keluar sebentar, ya!" Amera menyalami keduanya.
"Mau kemana, Ra? Sarapan dulu!" pinta pak Abdi, ia menarik kursi di sampingnya agar Amera duduk di sana.
"Aku nanti sarapan di luar, terima kasih, pa, ma," Amera tetap mau berangkat juga.
"Emangnya ada urusan apa, sih? Urusan aja terus, kerja aja belum," seru bu Anna.
Kalau istrinya sudah angkat bicara dengan nada yang kurang mengenakkan, yang bisa di lakukan pak Abdi hanya menghela napas panjang.
"Mera.. Duduk dulu ya, nak! Ada yang mau papa sama mama bicarakan lagi sama kamu," pak Abdi menganggukan kepalanya, memberi sebuah kode pada putrinya.
"Iya, pa."
Akhirnya Amera duduk, apa lagi yang mau mereka bicarakan padanya? Gumamnya.
"Tadi malam, ada yang datang ke sini. Namanya Alan Permadi," pak Abdi berusaha menjelaskan.
"Alan Permadi?"
"Iya, CEO di PT. Permadi Jaya," sahut bu Anna, merasa tidak sabar agar suaminya cepat-cepat memberi tahu Amera.
"Kenapa harus datang ke sini? Bukannya dia bilang mau ngabarin aku lewat telpon aja, kalau dia ada kerjaan buat aku?" Amera di buat bingung, dari mana Alan bisa tahu alamat rumahnya.
"Kerjaan?" pak Abdi ikut bingung, kenapa putrinya malah membahas pekerjaan.
Amera mengangguk. "Iya, dia orang yang aku temui kemarin di kafe Manik. Aku kan bilang sama papa sama mama kemarin, kalau aku pergi ke kafe itu untuk urusan pekerjaan sama dia, pak Alan Permadi," jelas Amera, jujur.
Pak Abdi dan bu Anna saling menatap, seolah berpikir ada yang tidak beres.
"Tapi kamu udah kenal lama kan sama Alan?" pertanyaan pak Abdi membuat Amera tersenyum, bahkan tertawa.
"Hahaha.. Kenal lama dari mana, pa? Aku ketemu sama dia cuma dua kali, pertama aku nyaris dia tabrak. Yang kedua, ya kemarin aku minta sebuah pekerjaan sama dia sebagai ganti ruginya. Papa ini, ada-ada aja, deh," Amera menggelengkan kepala, seolah tidak mengerti dengan apa yang sedang di pikirkan oleh papanya.
Sudah pak Abdi duga, ada yang aneh. Pasalnya Amera memang tidak pernah menceritakan sosok Alan padanya. Yang sering Amera ceritakan setahu dia itu Revan, bukan Alan. Lalu, kenapa Alan bicara kalau dia sudah kenal lama dengan Amera, seolah-olah ia begitu dekat dengan putrinya.
"Ra.." pak Abdi menatap serius putrinya.
"Iya, pa?" bibir Amera yang semula masih menyisakan tawa, kini ikut menatap papanya dan mamanya dengan serius.
"Tadi malam, Alan datang ke sini untuk lamar kamu. Dan mama sudah terima lamaran itu," ucapan pak Abdi membuat Amera mengurungkan niat untuk melahap sepotong roti di piringnya.
Amera membulatkan kedua bola matanya, mulutnya ternganga, dan seolah tak percaya dengan pendengarannya itu sendiri.
Sebuah peluru yang tiba-tiba mendarat di bagian dadanya, tanpa ada tameng yang menghalanginya. Dada Amera terasa sesak, kenapa papa dan mamanya bisa membuat keputusan besar tanpa persetujuannya?.
Keputusan yang akan berpengaruh besar pada kehidupannya. Pada masa depannya, bahkan itu bisa saja untuk selamanya.
Amera berdiri dari duduknya, "Lamaran? Terus mama sama papa terima?" Amera menatap papa dan mamanya secara bergantian, napasnya seakan sulit ia kontrol.
"Iya. Mama pikir kamu cocok deh sama Alan. Ya walaupun kamu bilang baru kenal, sih. Tapi mama pikir Alan anak yang baik, kok. Dia juga tampan dan mapan. Buktinya, dia berani datang ke sini untuk lamar kamu daripada si Revan yang gak jelas itu,' bu Anna mengatakan dengan begitu santainya, tidak tahu apa kalau hati putrinya saat ini rasanya sedang di hancurkan.
"Ma.. Mama jangan ngomong kayak gitu, ma.. Lagi pula kan papa juga semalam sudah bilang, kita harus tanyakan dulu sama Mera. Mama gak bisa buat keputusan sendiri tanpa persetujuan dari putri kita, ma.." pak Abdi jadi merasa sangat bersalah, ia takut kalau penilaiannya tentang Alan justru akan berbanding seratus delapan puluh derajat dengan kenyataannya.
"Tapi menilai seseorang itu tidak di lihat dari rupa dan pekerjaannya kan, ma?" Amera terus membela diri, ia tidak mau menerima lamaran siapapaun, keculai Revan.
"Kamu ini harusnya senang, kamu akan mempunyai calon suami yang kaya. Kamu gak perlu repot-repot cari kerja, tinggal duduk manis dan cukup layani suami kamu aja udah cukup, bukan? Mama gak mau tahu, kamu harus jadi sama Alan, biar kamu gak numpang terus di sini dan ngerepotin orang tua. Ngerti?"
Keputusan bu Anna memang tidak bisa di ganggu gugat, sejak dulu Amera selalu nurut dengan apa yang di katakan oleh mama tirinya ini. Pak Abdi sekalipun tidak bisa berbuat apa-apa selain sabar dan memilih pasrah.
Amera berjalan mendekati papanya, memeluknya sembari terisak. "Kenapa harus begini, pa? Kenapa papa sama mama tidak memberi tahu aku terlebih dahulu?"
"Maafin papa ya, nak. Papa tidak tahu harus berbuat apa? Papa yang salah, nak. Papa minta maaf!" pak Abdi pun ikut sedih atas apa yang telah di lakukannya, ia memeluk putrinya dengan begitu eratnya. Ia bisa merasakan kesedihan putrinya yang begitu mendalam ini. Pak abdi menghujani putrinya dengan ciuman di pangkal rambutnya.
***
Bagaimana kelanjutannya, yuk tambahkan ke favorit sekarang juga. Agar mendapat notifikasi ketika lanjutannya di update.
Follow ig: @wind.rahma
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Helmina R
aduh bu, nggak sdar diri mmang heran deh... 🙄woyyy....... yg numpang itu kamu bukan Amera keles
2021-11-04
0
Heni Yuhaeni
cewe murahan mlo kaya gitu mah
2021-05-28
1
Heni Yuhaeni
si disa demi ambisis, segala cara dia halalkn, termasuk merusak hubungan orang lain
2021-05-28
1