Disa beserta mamanya baru saja turun dari mobil. Namun, seketika Disa mengerutkan keningnya dan merasa sedikit heran ketika mamanya membawa dirinya ke sebuah tempat pemakaman umum.
"Kenapa mama membawa aku ke sini, ma?" Disa bertanya dengan nada suara sedikit gemetar.
Ressa, mama dari Disa ini menghela napas panjang. Mencoba berusaha menguatkan diri untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya mengenai papanya.
"Nanti kamu akan tahu sendiri, Sa. Ikut mama!" kemudian Ressa berjalan yang segera di ikuti oleh Disa di belakangnya.
Sebenarnya Disa masih tidak mengerti, mau apa mamanya membawa ia ke tempat pemakaman. Namun, pertanyaan yang bersarang memenuhi seisi kepalanya itu tiba-tiba terjawab, ketika mamanya berhenti tepat di samping kuburan seseorang yang bertuliskan Faris Permadi bin Permadi.
"Sayang.. Ini papa kamu," katanya sambil merengkuh bahu sang putri.
Tentunya Disa sangat terkejut. Bukanlah kebahagiaan yang ia dapatkan kerika pulang ke Tanah Air, justru kesedihan yang teramat mendalam yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Sontak Disa menjerit dengan nerangkul batu nisan milik papa-nya. Derai tangisnya kian menderas dan ia biarkan mengalir begitu saja. Hatinya serasa di tusuk, di cabik-cabik.
Seorang papa adalah cinta pertama seorang perempuan, dan saat ini Disa telah kehilangan cinta pertamanya itu.
Mamanya yang melihatnya pun ikut menangis, bukan hanya Disa yang merasa kehilangan atas kepergian Faris, dirinya juga tentunya.
"Kenapa mama tidak ngasih tahu aku, ma... Kenapa?" Disa terdengar histeris, kenapa tidak ada satu pun pihak keluarga yang mengabari dirinya tentang kepergian papanya ini.
"Disa.. Mama minta maaf, sayang! Mama minta maaf!" ujarnya, sambil berusaha menguatkan putri tercintanya.
Disa benar-benar merasa sangat terpukul, namun takdir berkata lain. Papa nya telah kembali ke hadapan sang Maha Kuasa.
Ressa menyandarkan sang putri di bahunya. Menangis secara bersamaan di depan pusara sang suami sekaligus papa dari putrinya.
***
Seorang perempuan tengah duduk di tepi ranjang kasur kamarnya. Kemudian ia membaringkan tubuh lelahnya. Setetes air matapun mengalir dari pelupuk matanya.
Sebut saja namanya Amera, dia kelihatan sedih sekaligus bingung, apalagi kalau membayangkan kejadian yang menimpanya barusan. Anna, ibu tiri dari perempuan tersebut baru saja mencaci makinya kembali.
Sejak bayi ia sudah di tinggal mati oleh ibu kandungnya, sehingga ia harus tinggal bersama papanya yang tidak lama setelah itu menikah lagi.
Tinggal satu atap bersama ibu tiri bukanlah sebuah keinginan atau pun pilihan, namun sebuah keharusan baginya.
Amera mendapat perlakuan yang kurang baik oleh ibu tirinya, apalagi ketika papanya sudah mempunyai seorang putri lagi dari Anna, ibu tirinya saat ini.
Dan, yang membuat Anna semakin benci pada anak tirinya ini, ketika putri kesayangannya meninggal tertabrak sepeda motor untuk menolong Amera.
Tiba-tiba saja Amera mengingat sesuatu, ia mengambil sebuah kartu nama di laci nakasnya. Di sana terdapat terdapat nomer telpon. Amera segera menyalin nomer telpon tersebut dengan ponselnya, setelah itu ia menghubungi nomer telpon tersebut.
***
Alan Permadi, saat ini ia sedang berada di ruangan kerja di kantor mililknya. Ia menatap layar laptopnya cukup serius. Namun, tiba-tiba suara dering panggilan masuk mengalihkan perhatiannya.
Di liriknya layar hp yang menyala, tertera nama Disa sang adik di sana. Alan pun segera menjawab telpon tanpa pikir panjang ia langsung menempelkan benda pipih tersebut ke dekat telinganya.
"Halo, Disa. Ada apa telpon?"
"Hari ini lo sibuk, gak?" tanya Disa dengan nada bicara yang terdengar lemas.
"Kebetulan enggak, memangnya kenapa?"
"Lo bisa temenin gue ke sebuah tempat? Kalau lo gak bisa ya udah gak apa-apa. gue bisa pergi sendiri, kok."
Alan menghela napas panjang, memang semenjak Disa tahu soal kematian papanya, Disa nampak begitu murung akibat terpukul. Bahkan senyuman tidak pernah lagi terlihat di wajahnya.
"Ok, saya jemput kamu di rumah sekarang."
Setelah sambungan telpon terputus, Alan segera menutup laptop di mejanya. Ia bersiap untuk pergi dan bangkit dari duduknya.
Sedetik kemudian, langkah Alan terhenti ketika hp-nya kembali bunyi dan ada lagi panggilan masuk.
Tidak segera Alan jawab panggilan tersebut, karena nomer yang menghubunginya ini tidak di kenal.
Karena takut ada hal penting, Alan pun menjawab panggilan masuk tersebut.
"Halo.. Siapa?"
"Saya Amera Kirana Vani, apa saya berbicara dengan pak Alan Permadi?" tanya seorang wanita dari sebrang sana.
"Iya, saya Alan Permadi. Tunggu sebentar, kamu siapa, ya?! Dari mana kamu mendapat nomer telpon saya?" Ujar Alan heran.
"Saya orang yang waktu itu nyaris anda tabrak. Apa anda masih ingat dengan saya?"
Alan mencoba mengingat-ingat, tidak lama kemudian ia menepuk jidatnya. "Oh iya saya ingat, waktu itu saya buru-buru. Apa ada yang terluka? Berapa biaya yang harus saya ganti?"
"Saya mau minta waktunya sebentar, bisa? Kalau bisa, kita ketemu di cafe manik dua jam lagi,"
"Ok, bisa. Ada lagi?" tanya Alan memastikan.
"Tidak ada. Terima kasih kalau begitu, maaf kalau saya mengganggu waktu anda!"
"Iya." Alan pun kembali memasukkan hp ke dalam saku jas abu-abu yang di kenakannya saat ini.
Kemudian ia bergegas pergi dengan mobil hitam untuk segera menjemput adiknya yang sepertinya sudah menunggunya di rumah.
***
Amera tengah bersiap-siap untuk pergi bertemu dengan Alan Permadi, pria yang barusan dia telpon.
Amera menatap layar ponselnya, seketika ia ingat dengan kekasihnya yang sudah lama menjalin hubungan dengannya.
"Aku rasa, aku gak perlu kasih tahu Revan kalau aku mau ketemu dengan pak Alan Permadi," pikirnya, setelah selesai bersiap-siap Amera segera keluar dari kamarnya.
Tidak ada orang di rumah, mama dan papanya sedang ada acara di luar. Amera tidak perlu berpamitan pada siapapun.
Begitu keluar rumah, Amera di kejutkan oleh mobil yang terparkir di rumahnya. Apalagi ketika seseorang turun dari mobil tersebut.
"Mera, sayang. Kamu mau kemana?" Seseorang itu adalah Revan, kekasih dari Amera.
Amera terlihat gugup, baru saja dia berpikir untuk tidak memberi tahu Revan. Tapi Revan justru malah muncul di hadapannya.
"A-aku.. Aku ada janji dengan seseorang," jawabnya membuat Revan sedikit curiga.
"Janji?" Revan memicingkan matanya, melihat penampilan kekasihnya sudah serapih ini.
"I-iya. Kamu ngapain kesini? Kok tumben gak ngabarin aku dulu," Amera berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Aku mau ajak kamu jalan, lagian udah lama juga kan aku gak ngajak kamu keluar? Tapi bentar deh, emangnya kamu ada janji sama siapa, sih?"
Amera sudah berusaha mengalihkan pembicaraan namun Revan tetap kembali pada pertanyaan yang belum sempat Amera jawab.
Amera semakin bingung, kalau dia bilang akan bertemu dengan seorang pria, Revan pasti akan marah. Apapun alasannya.
Tapi kalau Amera tidak bilang dan nanti Revan akhirnya tahu, Revan justru akan lebih marah lagi.
Akhirnya, mau tidak mau Amera menjelaskan yang sebenarnya. Tentang dia janjian dengan siapa, dan apa yang akan mau dia bicarakan nanti.
***
Alan Permadi sudah sampai di rumah, dan benar, Disa sudah menunggunya di halaman rumahnya dengan terus melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lama banget sih, mas?" Disa menggerutu, ia sudah tidak sabar untuk pergi.
"Tadi di jalan mas kena macet, ayo naok!" ujar Alan.
Disa pun masuk ke dalam mobil Alan, sang kakak. Alan pun kembali mengendarai mobilnya.
Di perjalanan, Alan memperhatikan adiknya yang tengah senyum-senyum sendiri.
"Kamu kenapa senyum-senyum? Semenjak papa pergi, mas gak pernah lihat kamu senyum. Ada apa?" Alan mulai penasaran.
"Aku ingat dengan seseorang yang dulu sempat dekat dengan aku, mas. Tapi kita harus berpisah karena aku kuliah di luar negeri."
"Terus?"
"Ya sekarang aku mau mas antar aku ke rumahnya, aku mau ketemu dia. Kebetulan aku juga mau minta kontak dia lagi," jelasnya.
"Siapa dia?" Alan mengerutkan keningnya, karena setahu dia Disa tidak pernah mengenalkan siapapun laki-laki yang dekat dengannya pada keluarga.
"Ada, deh. Nanti mas akan tahu sendiri. Dia orangnya baik, sayangnya dulu gak sempat jadian, sih. Tapi aku yakin, kalau dia juga suka sama aku," Disa semakin tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang dia maksud.
Aura wajah Disa seketika berubah seratus delapan puluh derajat dengan tadi pagi waktu Alan melihatnya di meja makan saat sarapan.
"Mas akan antar kamu, tapi sebelumnya mas harus ke cafe Manik, ada urusan sebentar."
"Urusan apa?"
Alan tidak menjawab pertanyaan Disa, ia terus menatap ke arah depan untuk tetap fokus menyetir.
Setengah jam kemudian, Alan pun sampai di cafe manik. Melihat pada jam tangan yang ia pakai, sepertinya ia sudah telah sepuluh menit. Karena perjalanan menuju rumahnya tadi memakan waktu yang cukup lama akibat macet.
Alan bergegas turun dari mobilnya, di ikuti oleh Disa yang di penuhi rasa penasaran.
Alan mencari keberadaan Amera, ia mengedarkan pandangannya ke setiap sudut cafe. Sampai akhirnya ia menemukan orang yang ia maksud.
Ia segera berjalan menghampiri wanita yang sedang duduk sendiri di sana. Tidak, tidak sendiri. Di sana ada dua minuman yang sudah seseorang minum. Sepertinya Amera datang bersama orang lain.
Amera segera berdiri dari duduknya begitu melihat Alan datang.
"Pak Alan, silahkan duduk!" Amera mempersilahkan Alan untum duduk di hadapannya.
"Dia siapa, mas?" tiba-tiba Disa muncul dari belakang Alan, ternyata Disa benar-benar ikut turun dari mobilnya.
"Disa, mas kan sudah bilang untuk tunggu di mobil saja!" Alan tidak mau kalau Disa tahu urusannya.
"Saya Amera, anda istrinya?" Amera memperkenalkan dirinya.
"Saya adiknya mas Alan. Kamu siapanya kakak saya?" Disa menatap penampilan Amera dari ujung kepala sampai ujung kaki, sepertinya Disa tidak menyukai Amera.
"Saya..."
"Jadi apa yang mau kamu bicarakan? Langsung saja, saya masih punya banyak pekerjaan!" Belum sempat Amera menjawab pertanyaan Disa, namun Alan segera memotong ucapannya.
Alan dan Disa akhirnya duduk di hadapan Amera.
"Maaf sebelumnya kalau saya mengganggu waktu anda. Saya lihat anda orang super sibuk dan memiliki banyak pekerjaan. Maka dari itu apa saya boleh meminta pekerjaan pada anda?" Ucap Amera dengan sangat hati-hati sekali.
"Pekerjaan?" Alan sedikit bingung.
"Iya, pekerjaan. Pekerjaan apapun pasti akan saya kerjakan, soalnya saya sedang butuh sekali pekerjaan," jelasnya lagi.
Alan menghela napas panjang, ia mengingat-ingat apakah ada pekerjaan yang kebetulan di butuhkan tambahan orang. Sepertinya tidak ada. Namun jika melihat wanita di hadapannya, ia tidak tega juga kalau mengatakan yang sebenarnya.
"Untuk pekerjaan, nanti saya hubungi kamu ke nomer yang tadi. Ada lagi yang mau kamu sampaikan?"
Amera merasa sedikit lega, kemudian berharap kalau Alan akan memberi sebuah pekerjaan nanti.
"Tidak, tidak ada. Sebelumnya terima kasih banyak pak!" Amera sungguh berterima kasih sekali, walaupun Alan belum memastikan akan memberinya sebuah pekerjaan.
Dari kejauhan, Revan, yang tadi sempat izin ke toilet dulu, melihat meja yang ada Ameranya. Namun, saat ini ada tiga orang di sana.
"Kayaknya orang yang mau Amera temui sudah datang," gumamnya.
Revan bergegas kembali ke mejanya.
"Mera, sayang. Orangnya sudah datang?" pertanyaan Revan membuat Alan dan Disa menoleh ke belakang.
Sedetik kemudian, mata Revan dan Disa saling bertemu. Disa membulatkan matanya ketika melihat pria yang tidak asing baginya ini berdiri di hadapannya.
Begitun dengan Revan, ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan gadis yang sudah lama tidak pernah muncul di hadapannya.
"Revan.." dengan kaki yang seketika melemas, Disa mencoba untuk berdiri menggunakan kekuatan yang masih tersisa dalam tubuhnya.
***
NB: Maaf ya baru bisa update lagi🙏 Saya harap kalian tetap menunggu kelanjutan ceritanya. Kalau lupa dengan ceritanya bisa baca ulang lagi episode sebelumnya. Sekali lagi saya minta maaf🙏
Follow ig: @wind.rahma
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
Partini Pupuk
lanjut kak jangan lm ya kak
2021-03-06
1
ʰⁱᵃᵗᵘˢ 𝔰𝔦𝔟𝔲𝔨 𝔯𝔩
lanjut Thor . semangatttt 🤗
2021-03-06
3
Anggi Susanti
mungkin disa benci sama amera karena revan lelaki yg ia suka jadi kekasih amera ya thor hehehe... nebak kali aja benar
2021-03-06
1