Pagi itu, Dewi seperti mendapat kesejukan pada hatinya. Karena secara kebetulan, ia mendapatkan nomor ponsel Bryan. Ya, sebelum kedatangan Andin, Dewi lebih dulu mendatangi Bryan ketika tidak sengaja melihat motor Bryan yang terparkir di sebuah halaman, yang berseberangan dengan hotel ia bekerja.
Bryan yang meminta nomor Gandhi, ia manfaatkan untuk mengirimkannya melalui via whatsapp. Tanpa sadar Bryan menyebutkan nomor ponselnya, karena fokus mau menghubungi Gandhi.
"Senyum-senyum sendiri Dew," celetuk Fara menyenggol lengan Dewi.
Dewi yang sedang menatap ponselnya tersentak, ia lalu memasukkan ponselnya ke laci di depannya. Dewi masih terus mengumbar senyumannya membuat Fara mengerut kening heran.
"Kenapa sih?" tanya Fara meletakkan punggung tangannya pada kening Dewi.
"Enggak panas," gumamnya heran.
"Apasih Fara, Sayang. Hemm ... kening aku tuh nggak demam, tapi sepertinya hatiku iya," seloroh Dewi menopang dagu pada meja.
Fara menghela napas panjang. Ia tidak mengerti dengan partner kerjanya satu ini. Fara lalu fokus dengan tamu di hadapannya yang hendak cek out.
Ketika usai, Dewi masih bertahan pada posisinya tadi. Fara pun menebak-nebak jika temannya itu sedang dimabuk asmara.
"Kamu lagi falling in love ya? Sama siapa? Wah, siapakah gerangan yang mampu mencuri hatimu Dew? Padahal selama ini banyak yang nembak kamu tapi nggak ada satu pun yang kamu terima," cerocos Fara heran menepuk bahu Dewi.
Dewi menegakkan tubuhnya, ia tersenyum membayangkan pertama kali bertemu dengannya.
"Far, ternyata benci dan cinta itu beda tipis ya? Emm ... mungkin cuma sebatas satu helai benang. Tau nggak, awal pertemuan aku dengan seorang laki-laki pembuat onar?" ujar Dewi.
Fara menggelengkan kepala, "Mana kutahu," ucapnya mengendikkan bahu.
"Iih dengerin dulu. Pria itu awalnya menabrak mobilku, kita berantem di tengah jalan. Aku awalnya benci banget soalnya dia kekeh nggak mau disalahin. Tapi akhirnya, dia mau bertanggung jawab Far. Dari situ, wajahnya yang dingin, sikapnya yang ketus selalu berputar-putar di kepalaku. Tersimpan rapat di memori otakku," tutur Dewi menutup mukanya karena malu.
Selama ini, Dewi memang belum pernah melepas status jomlonya. Sebenarnya bukan karena nggak ada yang mau, tapi belum ada yang mampu membuatnya luluh. Dan ketika bertemu Bryan, pertahanannya runtuh seketika.
Semakin dingin dan cuek sikap Bryan, membuatnya semakin penasaran dengan laki-laki itu.
Fara hanya menggelengkan kepala melihat temannya yang sedang bucin itu. Dia hanya mendengarkan dengan seksama setiap celotehan Dewi tanpa berkomentar apa pun. Karena Fara tidak tahu apa dan bagaimana pria yang dimaksud Dewi.
"Semoga segera berganti status ya, Dew," tanggap Fara setelah Dewi berhenti bercerita.
Dewi mengaminkannya, sepanjang hari dia terus menebar senyum. Padahal baru mendapat nomor ponsel saja.
...----------------...
Bryan melajukan motor dengan kecepatan tinggi, sesekali mengerem mendadak. Apalagi jalanan yang sudah semakin padat merayap. Andin menahan punggung Bryan dengan kedua tangan ketika itu terjadi.
Meski begitu, dengan lihai Bryan terus mencari celah agar tidak terjebak kemacetan. Tubuh Andin turut terombang-ambing mengikuti setiap gerakan motor Bryan.
Andin terus memejamkan kedua matanya sambil meremas jaket Bryan kuat-kuat. Tubuhnya kaku, dia sangat takut. Apalagi saat Bryan melajukan diantara dua kendaraan besar seperti bus dan tronton, rasanya seolah oksigen di sekitarnya habis, kerongkongannya terasa sangat kering. Debaran jantungnya sangat keras.
Suara dua kendaraan yang menggelegar, membuat pikiran Andin melayang ke mana-mana. Ia membayangkan yang tidak-tidak. Tapi Andin hanya memejamkan matanya.
"Ndin," panggil Bryan pelan ketika motor sudah terhenti.
Andin membuka matanya perlahan, ia melihat sekeliling. Ternyata di parkiran apartemen Bryan. Tubuhnya masih bergetar hebat, matanya memerah. Kedua tangan Andin masih melekat kuat pada jaket Bryan.
"Andin," panggil Bryan sekali lagi.
Entah kenapa bibir Andin menjadi kelu. Ia tidak mampu mengucap satu patah kata pun. Air matanya mulai menetes, tubuhnya bahkan susah digerakkan.
Bryan menoleh ke belakang, ia terkejut melihat Andin yang tiba-tiba menangis. Kakinya segera menurunkan standar motor agar tetap berdiri, lalu ia turun dari motornya. Sedangkan Andin masih bergeming.
"Kenapa?" tanya Bryan mengusap air mata Andin. Kedua tangan kekarnya menangkup pipi Andin.
"Aa-aku takut, Pak," ucapnya dengan nada bergetar.
"Astaga!" decak Bryan mengusap puncak kepala Andin.
Menurutnya, Andin terlihat sangat imut saat itu. Bryan lalu membantu Andin turun, terasa sekali getaran pada tubuh Andin. Ditambah sentuhan dari Bryan membuatnya semakin tidak karuan.
"Kenapa ke sini, Pak? Kok nggak ke kampus?" tanya Andin pelan saat kedua kakinya berhasil menapak di tanah.
"Aku belum mandi, belum sarapan juga. Lagian baru jam segini, ayo masuk dulu," ajak Bryan melihat jam yang melingkar di lengannya.
Andin mengangguk pelan, tidak berani menatap mata tajam Bryan. Mereka melangkah beriringan menuju lantai 4. Di mana letak apartemen Bryan.
Setelah Bryan membuka passcode apartemen, mereka melangkah masuk. Andin mendudukkan diri di sofa ruang tamunya.
"Nggak lama, aku mandi aja. Nanti sarapan di luar," seru Bryan menuju kamarnya.
"Tap ...."
Belum selesai berucap, Bryan sudah menghilang dari pandangan. Andin menghela napas berulang, kedua tangannya menyentuh dadanya yang bergemuruh sejak tadi. Ia membuang napasnya kasar, mencoba menenangkan diri.
'Apa ini, kenapa dadaku terus berdebar kuat sampai terasa nyeri sekali,' gumam Andin memejamkan mata merasakan gelombang tak beraturan pada dadanya.
Tak lama, Bryan sudah keluar dengan pakaian rapi dan tas ransel di punggungnya. Andin menelan salivanya kasar. Bola matanya terus mengekori setiap gerakan Bryan.
"Ayo!" ucap Bryan seketika menyadarkan lamunan Andin.
"Ah, iya, Pak!" sahut Andin gugup.
Keduanya lalu bergegas keluar dari apartemen. Setelah sampai di parkiran, Bryan kembali mengenakan helm untuk Andin. Gadis itu tidak berani menatap pria di hadapannya. Ia terus menundukkan kepala.
Bryan segera menyalakan mesin motor dan bersiap untuk menjalankannya. Andin menguatkan diri untuk naik. Tangannya menyentuh bahu Bryan agar memudahkannya duduk di jok.
"Pak, pelan-pelan aja. Aku takut," ucap Andin mendekatkan kepala ke depan namun dengan cepat kembali menariknya ke belakang.
Bryan tersenyum menyeringai. Dia memblayer motornya, memasukkan gigi lalu memutar gas dengan kuat.
"Paaaak!" teriak Andin hampir terjengkang.
Ia menarik tas ransel Bryan kuat-kuat. Matanya kembali terpejam. Baru saja bisa napas lega, sekarang mulai sesak kembali. Andin memasrahkan hidupnya di tangan Bryan.
Mereka berhenti di sebuah restoran terlebih dahulu untuk sarapan. Bryan tahu, Andin pasti belum sarapan juga. Karena ia menelpon masih pagi.
Andin mengatur napasnya saat turun, ia mencebikkan bibirnya, rasanya ingin sekali memukul kepala Bryan saat itu juga. Namun, dia takut durhaka dengan dosennya. Andin terus menundukkan pandangan dengan segenap kejengkelannya.
"Jangan memasang wajah seperti itu di depanku!" tandas Bryan saat melihat Andin.
'Karena kamu terlihat begitu menggemaskan,' lanjutnya dalam hati.
Bersambung~
Bryanku❣❣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Alexandra Juliana
Klo punya guru atau dosen ganteng begini ga akan pernah bolos deh...malah maunya tiap hari diajar sm diaa 😁😁
2022-12-11
1
Arin
wah visualny cantik juga keren....☺️☺️
2022-07-12
0
ponakan Bang Tigor
usil banget ya si Bryan. btw aku mau coba dibonceng 😂😂😂
2022-03-16
0