Hari demi hari berlalu, Andin dan bundanya bisa beradaptasi dengan cepat. Keduanya seolah benar-benar lupa dengan semua luka dan kesedihan selama satu tahun lebih.
Meski hidup dalam kesederhanaan, Andin dan Bunda Ira sangat bahagia. Di sekolah baru, Andin mendapatkan beasiswa karena kecerdasannya. Sang bunda membuka jasa sewa jahit untuk menghidupi keduanya.
Hingga suatu hari, sebuah takdir harus memisahkan mereka berdua. Andin begitu terpuruk dengan kepergian bunda tercintanya yang ternyata menderita sebuah penyakit.
Banyak tetangga prihatin, Andin mencoba kuat dan tegar. Dia sadar, kesedihan dan tangisnya akan memperberat kepergian sang bunda. Andin juga sadar, bahwa Tuhan pasti memberikan takdir yang terbaik untuk hamba-Nya. Andin terus berusaha tegar berpijak.
"Bunda sudah tidak akan merasakan sakit lagi, Bunda telah bahagia di sisi-Nya sekarang. Bunda, terima kasih banyak karena merawat Andin dengan penuh kasih sayang," gumam Andin pelan memejamkan matanya mengusir rasa sesak di hatinya.
Andin tidak mau terus terpuruk, perjalanan hidupnya masih panjang. Mengingat jika hanya mengandalkan tabungan, lama kelamaan akan habis. Andin memutuskan mencari pekerjaan sampingan yang dilakukan saat sepulang sekolah.
Akhirnya, dia menjadi kasir sebuah toko retail sejak SMA hingga sekarang menjadi seorang mahasiswa. Ia menjalaninya dengan penuh semangat.
Andin mampu melalui kerasnya hidup, ia mampu bertahan melawan rasa sedih dan kecewa. Andin tumbuh menjadi gadis yang kuat, hebat dan mempunyai hati setegar karang di lautan.
...----------------...
Takdir membawa Andin bertemu dengan dosen tampannya di luar jam kuliah. Pria yang ia kagumi dalam diam, karena ia melihat dan mendengar sendiri cinta dosen itu hanya untuk Chaca, sahabatnya.
Waktu itu ia hendak pulang bekerja, Andin harus mengantar belanjaan Bryan pulang karena tangan pria itu cedera. (Kisah pertemuan selengkapnya ada di DTP SS 2 ya)
Andin juga membantu mengurut lengan pria itu. Dari sanalah awal kedekatan keduanya. Andin bahkan tak segan menceritakan kisah pilu hidupnya pada Bryan. Yang mana selama ini hanya ia pendam sendiri. Meski setelahnya ia merasa malu.
Dering ponsel Andin membuyarkan konsentrasinya saat bersiap hendak berangkat ke kampus. Keningnya berkerut, karena merasa asing dengan nomornya.
'Dosen ganteng?' gumamnya bertanya-tanya.
"Halo!" Akhirnya Andin memberanikan diri mengangkatnya.
"Andin! Cepat ke Rumah Sakit Bhakti Husada sekarang juga. Minta kunci pada Gandhi di sana," celetuk pria di balik telepon.
Andin mengerjapkan mata berulang. Ia masih tidak percaya dengan apa yang didengar. Andin kembali melihat benda pipih itu dan melihat lagi kontak yang sedang memanggilnya. Ia yidak pernah merasa menyimpan nomor tersebut.
"Ndin! Andin!" teriak orang disebrang.
"Eee ... ini siapa?" Akhirnya kata itu terlontar. Andin bahkan tidak mendengarkan celoteh orang itu.
"Bryan! Bukannya aku sudah menyimpan di ponselmu?" seru Bryan kesal. Andin tersentak, ternyata benar tebakannya. Orang itu adalah Bryan.
"Bapak nyimpan pake nama "dosen ganteng" saya mana tahu, Pak? Terus Bapak tiba-tiba telepon dan Bapak bilang apa tadi? Maaf saya nggak konsentrasi," sahut Andin memelas.
"Ah, sudah. Aku minta tolong sekarang kamu ke Rumah Sakit Bhakti Husada. Cari kamar Chatrine Salsabila, lalu mintain kunci sama Gandhi. Kemudian antar kunci itu ke bangunan seberang Hotel Majesty. Aku tunggu sekarang! Nggak pake lama!" tandas Bryan mematikan ponselnya dengan senyum menyeringai.
"Astaga Dosen gila! Ngasih perintah bertubi-tubi tanpa jeda. Untung dikaruniai ingatan yang bagus," gerutu Andin memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Andin segera bersiap menjalankan perintah dosennya. Dalam hatinya bertanya-tanya, 'Apa yang terjadi dengan sahabatnya itu? Kenapa dia di rumah sakit?'
Tanpa berlama-lama, Andin bergegas ke rumah sakit yang disebutkan oleh Bryan. Seperti biasa, ia kemana-mana naik angkutan umum.
Sesampainya di sana, Andin bergegas bertanya keberadaan kamar Chaca di bagian informasi. Setelah mendapatkannya, Andin berjalan cepat menuju lift, karena letak kamarnya ada di lantai 3.
Setelah sesuai dengan nama yang tertera di depan pintu, Andin membukanya perlahan. Andin terkejut, melihat Chaca yang terkulai di brankar dengan salah satu tangannya terdapat infus.
Andin berjalan pelan, lalu menyentuh bahu Gandhi sangat perlahan. Ia takut akan mengejutkan suami sahabatnya itu.
"Kak," panggil Andin pelan. Gandhi menoleh sekilas, ia berusaha mengingat.
"Siapa ya?" Gandhi lupa dengan gadis itu. Mungkin, karena ia hanya melihatnya sekilas dan dari kejauhan saja.
"Saya Andin, Kak. Temannya Chaca. Apa yang terjadi padanya?" tanya Andin pelan takut membangunkan Chaca.
Gandhi baru teringat dengan gadis itu, ia lalu mempersilahkan duduk di sofa. Gandhi duduk di sampingnya. Ia lalu menceritakan keadaan Chaca padanya.
"Yaampun, semoga cepet sembuh ya, Kak," ucap Andin mengiba.
"Aamiin makasih ya. Kok kamu bisa tahu Chaca di sini?" tanya Gandhi.
"Eh, itu Kak. Emm ... Pak Bryan minta tolong sama aku untuk meminta kunci ke Kakak," jawab Andin dengan senyuman di wajahnya.
"Oh gitu ya, tolong sampaikan terima kasih dan maafku untuknya ya," tutur Gandhi menyerahkan kunci pada Andin.
Andin mengangguk, ia lalu pamit undur diri. Andin takut Bryan akan marah jika kelamaan. Gandhi mencium kening Chaca sebelum akhirnya tertidur kembali.
...----------------...
Di sisi lain, Bryan sedang sibuk mencuci mukanya. Belum ada sabun atau apapun, jadi dia hanya menggosok mukanya dengan air kran saja. Berharap rasa kantuknya segera menghilang.
Tak berapa lama, ada suara lembut memanggil namanya. Bryan bergegas ke depan dan menyahutnya, ternyata Andin sudah sampai.
Andin sempat terkesima dengan wajah tampan di depannya. Air yang terus menetes, menambah cool penampilannya.
"Mana kuncinya?" Bryan menengadahkan tangannya.
"Eh, i-iya ini, Pak," sahutnya gugup mencari keberadaan kunci dalam tasnya.
Bryan mengambil jaket, kunci motor dan bergegas mengajak Andin keluar. Lalu segera mengunci pintu itu. Andin sudah berbalik hendak berjalan ke jalan raya, namun lengannya ditangkap oleh Bryan dengan cepat.
Ada sesuatu yang aneh dirasakan oleh Andin. Ia merasa sesak, karena sentuhan tangan Bryan. Andin menatap mata elang pria di hadapannya. Napasnya memburu, detak jantungnya tidak dapat ia kendalikan.
"Mau ke mana?" tanya Bryan.
"Mau ke kampus, Pak," jawab Andin menunduk tidak berani menatap dosennya lagi.
Bryan menarik lengan gadis itu mendekati motornya. "Pak, lepasin. Saya naik angkutan aja," elak Andin berusaha melepas tangan Bryan.
Bryan menatapnya tajam, "Ikut!" tegasnya tidak mau dibantah.
Mau tidak mau Andin menurutinya. Bryan selalu membawa dua helm kemana-mana meskipun ia single, tapi dia selalu sedia. Bryan lalu mengenakan helm itu pada kepala Andin.
'Astaga, kenapa dadaku rasanya sesak sekali. Seperti hampir kehabisan napas. Susah sekali menelan saliva,' batin Andin terus menatap Bryan.
Setelahnya, Bryan mengenakan helmnya sendiri, lalu mulai menstater motornya. Andin masih berusaha mengatur napasnya.
"Ayo naik. Apa masih mau di sini?" ujar Bryan di balik helmnya menoleh ke belakang. Karena Andin belum juga duduk.
"Tidak, Pak!" sahutnya cepat lalu segera naik di belakang Bryan. Pria itu lalu mulai melajukan motornya.
Andin tidak berani merapatkan tubuhnya. Dia terus menjaga jarak dengan pria di depannya. Jemari Andin meremas kuat jaket Bryan di sisi kiri dan kanan. Ini pengalaman pertamanya dibonceng sepeda motor.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
calon istri sjk:)
duh salah masuk ini season 2 ya yang pertama mana
2022-04-16
0
ponakan Bang Tigor
kasian banget Andin 😭
2022-03-16
0
Cici_sleman
maraton dr gancha lanjud sini...kr pnasarn sm brian jodohny siapa😅
2021-10-04
1