Rintik hujan mulai menjatuhkan diri ke bumi. Lama kelamaan tetesan itu semakin deras, hawa dingin semakin menelusup pada pagi hari di Kota Malang.
Seorang gadis beranjak remaja mengerjapkan mata karena gemericik air yang seolah menabuh atap rumahnya. Sinar mentari sama sekali tidak mau menampakkan diri, padahal hari sudah pagi.
Ia menyeret langkah kakinya untuk mandi, waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Saatnya bersiap untuk bergegas ke sekolah. Lima belas menit kemudian, gadis tersebut sudah siap dengan seragam putih birunya.
Seperti biasanya, ia membangunkan adik kesayangannya membantu bersiap ke sekolah. Langkahnya selalu bersemangat. Saat membuka pintu, gadis itu terdiam seketika saat melihat ranjang yang rapi.
Kamar yang gelap, matanya menelisik ke seluruh penjuru ruangan. Darahnya berdesir hebat, jantungnya juga bertabuh sangat kuat. Ia tidak melihat boneka couple di ranjang.
"Dek, kamu di mana?" serunya melangkah masuk.
"Adek?" ulangnya lagi berjalan ke arah lemari.
DEG!
Isi lemari tersebut kosong, kedua bola mata gadis itu membulat dengan sempurna. Tangannya menutup mulut yang menganga.
"Andin!" teriaknya keras.
Ia berlari menuju kamar orang tuanya, tangannya menggedor pintu sangat keras. Rasa takut mulai menyelimuti dirinya.
"Ayah! Bunda! Buka pintunya," serunya menahan isak tangisnya. Masih merasakan panik luar biasa.
Pintu terbuka, terlihat sang ayah sudah rapi dengan pakaian kantornya. Pria itu mengerutkan kening, ia melihat kepanikan pada putri sulungnya.
"Ada apa, Dewi?" tanya pria itu dengan suara beratnya.
"Yah, adek nggak ada di kamarnya. Dan ...."
"Dan apa?" potong sang ayah tidak sabar.
"Semua bajunya di lemari tidak ada, Yah! Bunda mana? Bun! Bunda!" teriaknya cepat.
Fadli bergegas memeriksa lemari pakaiannya. Ia meremas rambutnya ketika melihat lemari istrinya kosong.
"Aaaaarggghh! Brengsek!" teriak Fadli menggelegar memukul kaca lemari.
Dewi terperanjat, serpihan kaca berserakan dimana-mana. Darah segar mengalir dari punggung tangan sang ayah. Gadis itu segera mengambil kotak P3K.
Lalu berlari lagi menuju kamar sang ayah. Dewi menahan sesak di dadanya. Air matanya terus mengalir, meski ia berusaha keras menghalaunya. Tenggorokannya tercekat, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Fadli masih terlihat begitu marah. Dewi meraih tangan ayahnya itu lalu mulai membersihkan, mengobati dan membalut lukanya. Meski tangannya bergetar melakukannya. Terbesit ketakutan dalam hatinya, takut jika nanti sang ayah melampiaskan kemarahan padanya.
"Dewi, mulai sekarang jangan pernah menghubungi ibumu lagi. Dia sudah bukan ibumu. Dia bahkan tega meninggalkan kamu! Awas saja sekali kamu menghubunginya, kamu harus angkat kaki dari rumah ini! Silahkan kalau kamu mau ikut bersamanya. Tapi jangan pernah menginjakkan kaki di lantai ini lagi!" tegas sang ayah.
'Bunda bukannya tega meninggalkan aku, Yah. Tapi bunda memintaku untuk menjaga ayah. Bunda sangat menyayangi ayah. Tapi sikap ayah yang membuat beliau pergi. Bunda sudah tidak tahan lagi.' Dewi hanya mampu berucap dalam hati.
Dewi kembali teringat dengan pesan ibunya. Semalam, sebelum Dewi benar-benar terlelap, sang bunda datang ke kamarnya. Beliau berpesan pada putri sulungnya, "Nak, ingatlah sampai kapan pun Bunda sangat menyayangi kamu. Namun, jika suatu ketika Bunda tidak ada, tolong jaga ayah untuk Bunda. Jangan pernah sekalipun meninggalkan ayah. Tetaplah di sampingnya apa pun yang terjadi. Janji sama Bunda ya."
Ucapan ibunya tadi malam adalah pesan terakhir sebelum meninggalkannya. Ira juga memberikan pelukan hangat sebelum pergi meninggalkan putri sulungnya. Dewi saat itu belum mengerti dan sekarang ia tahu maksud dari semua ucapannya.
Dewi hanya menunduk, tidak berani membalas setiap ucapan sang ayah. Yang dia tahu saat ini seolah berada di kamar yang mencekam. Dewi seolah tercekik menahan kesedihannya. Keluarganya hancur, remuk seperti serpihan kaca yang berserakan di lantai.
Satu tahun kemudian ....
Seperti titah sang ayah, Dewi tidak pernah menghubungi ibu maupun adiknya. Setiap malam dia hanya bisa menangis memeluk erat boneka teddy, seolah sedang memeluk adiknya.
Rasa rindu yang mencekik sudah tidak dapat dibendung lagi. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya. Selain menikmati rasa sesak dan sepi dalam hatinya.
...----------------...
Di sisi lain, disebuah desa kecil terletak di pinggiran Kota Semarang. Ira, menangis tersedu-sedu karena ucapan ibunya yang begitu menusuk hatinya. Kerap kali disindir karena hanya bisa merepotkannya. Padahal Ira juga memberikan sebagian uangnya hasil dari usaha loundry.
Seolah tidak ada harganya, ibunya terus mencaci dan menyalahkannya karena berpisah dengan suaminya. Sampai Ira sudah berada pada batas kesabarannya.
"Andin, kita pergi dari sini ya, Nak. Mungkin memang lebih baik kita hanya tinggal berdua saja," ucap Ira pelan pada putrinya sepulang dari sekolah.
"Nenek jahatin Bunda lagi ya?" tanya Andin dengan mata berkaca-kaca.
Ira menghela napas berat, "Nenek tidak jahat kok, Sayang. Cuma kita harus mandiri. Nggak boleh ketergantungan dengan orang lain. Andin harus selalu kuat ya," tuturnya lembut membelai rambut putrinya.
Andin mengangguk sambil mengulas senyumnya. Dia tahu bundanya sangat sedih, Andin selalu mendukung apapun keputusan bundanya. Dia hanya ingin melihat sang bunda bahagia.
Hari itu, Andin membantu bundanya mengemasi barang-barangnya. Mereka akan kembali menempuh perjalanan panjang kembali ke Malang malam nanti. Tanpa sepengetahuan orang rumah.
Saat malam menyapa dan semua penghuni rumah sudah terlelap dalam mimpi indahnya, Ira dan Andin bergegas keluar dari rumah dengan perlahan.
"Sayang, maafin Bunda ya," tutur Ira pelan memeluk putri kecilnya.
"Surga Andin ada pada Bunda, apapun akan Andin lakukan asal Bunda bahagia," tukas Andin dengan seulas senyum.
Jawaban Andin membuat Ira terharu sekaligus bersyukur, karena memiliki putri cantik sekaligus lembut dan penurut seperti Andin.
Kini mereka sedang perjalanan kembali ke Malang. Keduanya beristirahat saling berpelukan di bus yang mengantarkan kepergian mereka.
Perjalanan yang memakan waktu lebih dari 10 jam itu membuat keduanya terasa lelah. Tak terasa, hari telah berganti. Malam telah berubah pagi, bus yang mereka tumpangi telah berhenti di sebuah terminal.
"Sayang, sudah sampai, yuk kita sarapan dulu. Lalu kita cari tempat tinggal ya," tutur Ira membelai lembut pipi Andin.
Andin menggeliat, lalu mereka turun dan segera membeli makanan. Setelahnya, Ira bertanya informasi mengenai sewa rumah/kontrakan. Dari usaha loundry yang dijalankan, Ira dapat menyisihkan sebagian uang untuk tabungan.
Hampir 30 menit menyusuri jalan, akhirnya mereka sampai di lokasi. Ira segera menghubungi pemilik kontrakan untuk membayar sewa rumah minimalis yang sederhana sesuai info yang didapat. Agar tidak terlalu menguras kantong.
"Sayang, kita tinggal di sini ya. Andin nggak apa ya sekolahnya ngulang lagi dari kelas 1? Kita nggak sempat urus pindahan, Sayang," ujar Ira pelan di depan rumah yang akan mereka tempati.
Andin meraih tangan bundanya, ia memasang wajah bahagia. "Iya Bunda nggak apa-apa, asalkan Andin selalu bersama Bunda," sahut Andin memeluk tubuh ibunya.
Bersambung~
Segini aja ya kenalannya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Nursugi Imawan
sedih Thor
2023-01-05
0
Dwi Hartati
kasian ya
2022-04-23
0
💝GULOJOWO💝
Baru aja baca udah mewek 😭😭
2021-11-18
0