"Gimana pertemuan kalian?"
Barulah mobil berhenti di halaman rumah. Barulah aku mematikan mesin. Mama udah memberondong ku dengan pertanyaan itu.
Sempat-sempatnya wanita yang sangat aku sayangi ini menghampirimu, menyerbu dengan pertanyaan absurd itu.
"Please deh, Ma. Tunggu David turun dulu, masuk dulu, duduk dulu gitu ... Ma," jawabku malas.
Aku turun dari mobil.
Mama meraih tanganku, menggandeng lenganku. Menariknya karena aku tak kunjung menjawab apa yang ditanyakannya.
"Kelamaan, David. Sekarang aja sambil jalan, nih."
Kini Mama malah menyeretku menuju rumah.
Yaelah, Ma.
Aku hanya bisa bersungut-sungut. Mana mungkin berani membantah ratuku ini.
Bisa kualat aku.
"Jadi, gimana pertemuannya?" tanya Mama lagi. Kali ini dengan nada kesal.
"Enggak gimana-gimana, Ma," balasku.
"Terus ngapain kamu lama? Mama kira kalian langsung jalan atau nonton gitu?" tanya Mama dengan tatapan menelisik.
Matanya memicing dengan kening berkerut.
"Jadi kamu ke mana?"
"Tadi ... mmm ... ke rumah Anna," jawabku sembari meringis.
Dan sukses membuat telinga kananku panas. Karena jeweran Mama dengan gigi yang saling bergemelatuk menahan geram.
"Kamu yaa ... bukannya urusin urusan kamu sendiri, sibuk nge-bucin aja sama si mantan istri." Mama mengomel, tetapi tangannya tidak lepas dari telingaku.
Aku terpaksa membungkuk, mengikuti langkah Mama yang yang lebih dulu ke depan. Menyeret langkah dengan kedua tangan menahan panasnya telinga yang semakin menjadi-jadi.
Jangan tanya bagaimana wajahku. Sudah pasti wajah tampanku ini berubah menjadi si buruk rupa.
"Awww!!! Awww!!! Sakit, Ma," jeritku mengaduh.
Di ruang tamu tampak beberapa pelayan menutup mulut menahan tawa melihat kelakuan kami.
"Awas kamu ya, saya pecat nanti," ketusku tertahan.
"Maaf." Para pelayan berlari terbirit-birit menerima ancamanku.
Bagus, jangan sampai turun kharismaku sebagai majikan di rumah ini. Bisa-bisa mereka tidak takut lagi padaku.
Mama sih, terlalu baik kepada para pelayan.
Wah, kacau ini. Kenapa aku jadi ngomongin pelayan enggak penting itu.
"Berani ancam-ancam pembantu Mama, ya?" Mama semakin menarik telingaku.
"Awww!" Aku menarik paksa telingaku yang sudah seperti terbakar.
Hany berharap jangan sampai putus.
Lantas, aku pun mengusap-ngusap telinga yang panas.
"Mama tega banget dengan anak sendiri. David 'kan anak kandung. Masak dianiaya begini," sungutku kesal.
"Lagian kamu. Bukannya cepat kasih Mama mantu. Malah sibuk ngurusi mantan istri. Kita boleh tetap berbuat baik sama Anna dan keluarganya. Lagi pula enggak mungkin juga putus hubungan sama mereka. Terlebih dengan Adrian. Tapi, kamu juga harus memikirkan masa depan. Memikirkan Mama, kapan akan memberikan keluarga kita cucu." Mata Mama berkaca-kaca.
Tentu saja sebagai anak satu-satunya, aku tidak akan sanggup melihat wajah sedih Mama.
"Maaf, Ma," lirihku mengiba. "David sudah bertemu dengannya, tapi kami merasa sama-sama tidak cocok."
"Apa maksud kamu?"
"Iya ...." Aku duduk di lantai menghadap Mama yang duduk di sofa. Menggenggam tangan wanita tersayangku itu, menciumnya takzim. "Tadi udah ketemu sama Tasya. Terus ... kami sama-sama sepakat tidak melanjutkan pertemuan ini."
"Apa tidak ada harapan gitu? Maksudnya, seiring berjalannya waktu 'kan kalian bisa cocok."
"Enggak bisa, Ma. Kami udah sama-sama dewasa. Tahu keinginan masing-masing. Lagi pula, David sudah enggak mau lagi memaksakan kehendak," jelasku.
"Oh iya. Sejak statusmu jadi duda, kamu jadi lebih cerewet yaa ... tidak angkuh seperti dulu." kekeh Mama disela tangis.
Aku menegakkan punggung. Mengulurkan tangan, mengusap wajah Mama yang basah.
Kemudian tersenyum semanis mungkin. "Makasih, Ma," lirihku.
"Jadi kamu beneran duren perjaka?" Pertanyaan Mama malah terdengar seperti godaan mengejek atau apalah di telingaku. Sama sekali tidak mengenakkan.
Aku mengedikkan bahu, lalu berdiri meninggalkan Mama.
Mandi sepertinya mampu mendinginkan kepala.
***
Malam ini aku terpaksa menemani Mama memenuhi undangan temannya.
Ulang tahun pernikahan yang ke tiga puluh lima tahun.
Pesta yang dipenuhi oleh para orang tua. Aku pikir begitu, sampai di tempat acara ternyata banyak anak-anak muda yang datang.
"Hai, Tari. Makasih ya ... udah datang," ujar wanita pemilik pesta. Yang langsung disambut pelukan oleh Mama. Mereka pun saling berpelukan erat.
"Sama-sama. Selamat yaa ...."
"David tambah ganteng aja," celetuk wanita itu.
"Terima kasih, Tante," balasku menyunggingkan senyum.
"Silakan dinikmati hidangannya yaa ... dibikin santai aja," ujar sang lelaki.
Aku mengambilkan menu untuk Mama, sedangkan beliau tengah berbincang asyik dengan teman-teman yang lain.
Saat aku kembali ke meja, tiba-tiba langkahku terhenti kala mendapati sesosok wanita yang sangat aku kenal.
Ya, walaupun baru bertemu sekali. Aku sudah sangat hafal dengan suaranya. Bagaimana dia mengomeliku hari itu bahkan masih terekam jelas di ingatan. Suaranya beserta raut wajahnya.
Namun, kali ini dia tampak berbeda. Suaranya terdengar mendayu manja.
Sangat berbeda saat berhadapan denganku.
Dasar akting!
Aku membusungkan dada, lalu melangkah lebar mendekati Mama.
"Ma ...," panggilku sembari meletakkan piring di meja persis di hadapan Mama.
Mama sejenak menghentikan obrolannya. Mendongak padaku yang masih setia berdiri di sampingnya. Tersenyum lembut. "Makasih," bisiknya.
Setelah itu, Mama memberiku isyarat agar duduk di sampingnya.
Aku mengangguk, tersenyum ramah pada wanita itu. Dia pun membalas, tampak aura kecanggungan di wajahnya.
Sesekali Tasya membenahi uraian rambutnya, lalu tangannya beralih pada gaun berwarna emas yang melekat sempurna di tubuhnya.
Aku akui, Tasya memiliki tubuh yang indah. Sayangnya itu saja belum cukup untuk bisa menggodaku.
Lagian, kami udah sepakat untuk tidak saling berhubungan 'kan?
"Hai! Apa kabar?" tanyanya dengan suara lembut.
"Baik," jawabku singkat. Kemudian aku pun mengalihkan pandangan berkeliling ruangan. Tampaknya memang anak-anak muda yang datang ke pesta ini, tidak lain tidak bukan adalah anak-anak yang telah siap menikah.
Orang tuanya sengaja mengajak mereka untuk dijodohkan. Minimal untuk saling mengenal kepada sesama anak mereka yang masih sendiri.
Ada-ada saja, dan Mama menjadi salah satu peserta itu. Peserta orang tua yang menjodohkan anaknya yang masih jomlo seperti diriku.
"Ini lho, si David. Putra Tante satu-satunya. Kalian udah pernah ketemu 'kan, Tasya?" tanya Mama.
Aku melirik Mama.
"Iya, Tante. Sudah ... dia lelaki yang baik. Pasti banyak cewek yang antre ya ...," kekeh Tasya.
"Ah, buktinya masih jomlo," timpal Mama.
Apa-apaan coba?
"David nya aja kali, Tante, yang pemilih. Dia 'kan tampan, mapan dan dewasa. Pasti banyak pilih."
"Kalau Tasya sendiri gimana?"
"Maksud, Tante?"
"Penilaian kamu tentang anak Tante ini. Kalian udah ketemu 'kan?"
"Oh, itu ... Tasya mah seperti batu kerikil saja, Tante, bagi David. Dia carinya yang berlian."
Eh, ngada-ngada dia.
"Bukannya karena kamu punya kekasih?" ketusku.
Mama dan Tasya sama-sama melotot ke arahku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Perjuangan cinta Tuan Muda
aq mampir thor. bwa 5 jempol utkmu. salam dr Asisten Pribadi Tuan Muda
2021-04-23
0
Aida Fitriah
keren thor cerita'a😚😚😚😚😚😚
2021-02-01
1
Rika armayni
haha
2021-01-29
1