Sinar matahari pagi menerobos dari sela-sela ventilasi udara kamar. Hangatnya menyentuh pipi Maira yang masih pulas di ranjang. Setelah mandi dan sholat subuh tadi, dia dan Janu kembali melakukan lagi. Lebih panas dari semalam, sehingga membuat perempuan itu merasa kelelahan. Dia kemudian kembali jatuh tertidur tanpa sempat membersihkan diri ke kamar mandi.
Janu yang duduk di sofa sudut kamar, menatap wajah istrinya itu dari kejauhan. Entah sudah berapa ribu kali dia merasa kagum dengan ciptaan Tuhan yang ada di depannya itu. Dalam kondisi terlelap, wajah Maira semakin tampak mempesona. Cahaya matahari membuat wajah itu tampak bersinar. Anak-anak rambut yang jatuh di pipi, membuatnya terlihat seksi.
Lelaki berambut cepak itu menghela nafas. Ada perih di hatinya. Baru saja dia genggam mimpi memiliki Maira, sebentar kemudian akan dia tinggalkan keajaiban Tuhan untuknya itu dalam waktu yang cukup lama.
Tiba-tiba Maira bergerak tak nyaman. Rupanya sinar matahari yang semakin panas mengganggu tidurnya. Buru-buru Janu beranjak dari duduk dan berdiri di samping tempat tidur. Lelaki itu berusaha menghalangi sinar matahari yang jatuh di wajah istrinya.
Tetapi Maira terlanjur terbangun. Dikerjap-kerjapkan mata, menatap Janu yang masih berdiri di tempatnya.
"Mas, sudah jam berapa ini?" Maira terkejut dan segera bangkit dari tidur.
"Baru jam tujuh, Dik."
"Ya ampun, aku belum mandi, Mas!"
"Nggak apa-apa. Kan, tadi sudah sholat." Janu mengulurkan tangan, membantu Maira bangkit dari ranjang.
"Aku mandi dulu ya, Mas."
Janu mengangguk. Lalu setelah menorehkan ciuman di kening Maira, Janu membiarkan istrinya itu masuk ke kamar mandi.
Sementara Maira mandi, Janu memesan sarapan di kamar. Tak berapa lama, dua potong sandwich dan jus apel pun datang. Janu membawanya ke balkon, tepat saat Maira keluar dari kamar mandi. Dari balkon, Janu menikmati kecantikan istrinya yang duduk di depan meja rias. Perempuan itu hanya memakai piyama handuk. Sementara rambutnya yang basah digulung dengan handuk yang disimpulkan ke atas.
Kenapa kamu selalu tampak cantik dalam kondisi apa pun, Dik? Berat rasanya untuk meninggalkanmu.
Tak berapa lama Maira menyusul Janu di balkon. Perempuan itu sekarang sudah berganti baju. Celana kulot warna hitam bergaris-garis vertikal, dipadu kaos polos beige dan cardigan panjang warna senada. Dia membiarkan rambutnya yang masih sedikit basah tergerai agar terkena sinar matahari sebelum menutupnya dengan jilbab.
"Cantik sekali kamu, Dik," puji Janu. Matanya tak berkedip menatap Maira.
Perempuan yang kemudian duduk di kursi sebelah Janu itu tersenyum. "Istri siapa dulu ...!" guraunya, sedikit nakal.
Janu memeluk bahu Maira. Dicium rambut istrinya yang harum. "Sarapan dulu, yuk!"
Mereka menyantap sarapan dengan lahap, sambil menikmati view perbukitan yang masih diselimuti kabut di sana sini. Pagi ini kota Bandung belum terlihat. Kabut putih masih menghalangi pandangan.
"Dik, aku mau ngomong sama kamu," kata Janu setelah mereka menyelesaikan sarapan.
"Apa, Mas. Kok, serius amat?" Maira beralih menatap Janu.
Janu itu menghela nafas. Lalu diambilnya telepon genggam di atas meja. Sejurus kemudian diberikan pada istrinya.
Maira menatap layar handphone. Foto semacam surat dinas terpampang di sana. Maira membacanya dengan seksama, sambil sesekali menggerakkan jari untuk memperbesar tampilan foto.
Surat perintah penugasan personel ke wilayah Papua Barat.
Jantung Maira berdebar. Matanya mulai memindai nama-nama personel di bawahnya. Dan kemudian dia terpaku pada satu nama, 'Serka Janu Satria'.
Untuk beberapa saat Maira terdiam. Matanya nanar, bibirnya bergetar. Lalu dia beralih menatap Janu. "Mas ...?"
Janu mengangguk. "Iya, Dik. Aku ikut penugasan ke Papua."
Binar yang beberapa saat lalu ada di mata Maira, mendadak padam. Pandangannya sayu menatap Janu. Tak tega rasanya Janu melihat itu. Digenggamnya tangan Maira erat.
"Tentunya kamu sudah mengerti konsekwensinya jadi istri tentara kan, Sayang?"
Kristal bening mulai tampak di mata Maira. Lalu perlahan luruh ke pipi. "Kenapa harus sekarang, Mas? Kenapa di saat aku mulai hamil?" Suara Maira serak.
Janu merengkuhnya dalam pelukan. "Kita tidak bisa memilih waktu, Sayang. Jika negara memanggil, maka aku harus siap sedia memenuhinya. Aku sudah disumpah untuk itu, Dik."
Perempuan itu tak menjawab. Dipuaskan tangisnya di dada Janu. Hingga beberapa saat kemudian dia melepaskan pelukan suaminya. Ditatapnya Janu, nanar. "Berapa lama kamu di sana, Mas?"
Janu menghela nafas. "Setahun, Dik," jawabnya lirih.
Maira menelan ludah. Air matanya kembali mengalir deras. "Lalu, siapa yang akan mengadzani anak ini saat lahir kelak, Mas?" tanyanya pilu, sambil mengelus perut.
Janu tercekat. Kembali dipeluknya Maira dengan sangat erat. "Sabar, Sayang ...." Hanya itu yang bisa terucap dari bibir Janu. Mata lelaki itu pun berkaca-kaca.
Pagi yang berkabut, mereka berdua berpelukan sangat lama di balkon penginapan. Janu seakan enggan untuk melepaskan, demikian juga Maira.
***
Keinginan untuk jalan-jalan mengunjungi destinasi wisata lainnya di Dago lenyap sudah. Sepagian ini hanya mereka habiskan di kamar saja. Saling bercerita, membicarakan tentang masa depan, dan saling berbagi kemesraan.
Mereka sepakat tak membicarakan masalah penugasan. Alih-alih membicarakannya, mereka justru sibuk merancang masa depan. Tentang nama anaknya kelak, tentang sekolah anak-anaknya, tentang rumah masa depan yang akan mereka bangun di Jogja, dan masih banyak lagi. Mereka tak mau waktu menjelang perpisahan ini terbuang sia-sia hanya untuk menyesap kesedihan.
"Oza nanti jadi tentara saja ya, Sayang," ucap Janu ketika mereka membicarakan sekolah Oza.
"Jangan, Mas!" cepat Maira menjawab. "Masak sepanjang hidup aku harus jadi yang kedua terus."
"Maksudnya apa, Dik?"
Maira yang tiduran di sebelah Janu memiringkan badan menghadap suaminya. Tangannya melingkar memeluk perut Janu.
"Tentara itu nomor satunya negara. Istri atau pun orang tua hanya jadi nomor dua. Iya, kan?"
Janu tertawa kecil. Dielusnya rambut Maira. Kemudian dikecup puncak kepala istrinya.
Menjelang siang mereka cek out dari penginapan. Meski jelas terlihat gurat kecewa di wajah Maira, namun setidaknya masih ada senyum di bibirnya. Perempuan itu sepenuhnya memahami konsekuensi sebagai istri tentara. Salah satunya harus siap ditinggal dalam kondisi apa pun.
Sampai di rumah, Karina, Bayu dan Oza belum pulang. Mereka jalan-jalan ke salah satu mall di kota. Apalagi tujuannya kalau bukan Playground yang ada di mall itu.
"Mas, pinggulku kok agak sakit, ya?" keluh Maira setelah membuka pintu rumah. Dia agak tertatih berjalan masuk. Kedua tangannya memegang pinggul.
Janu segera menangkapnya. Kemudian dia mengangkat Maira dalam bopongan. "Kamu istirahat dulu ya, Sayang." Dibawanya Maira ke kamar.
"Nanti kita periksa ke dokter ya, sayang."
"Ini hari Minggu, Mas, nggak ada dokter buka."
"Kalau gitu ke IGD rumah sakit saja, ya!"
"Enggak, ah. Cuma kecapekan kok, disuruh ke IGD. Kayak orang sakit aja!"
Janu keluar kamar. Beberapa waktu kemudian dia masuk lagi dengan segelas teh panas di tangan. "Minum ini dulu, Sayang, biar agak seger!"
Maira bangkit dan menyesap teh beraroma melati. Sedangkan Janu mengelus-elus punggung dan pinggul Maira, mencoba meredakan sakitnya.
"Aku mau ke belakang dulu, Mas. Agak mules nih, perutku."
Janu membantu Maira berdiri. Lalu dipapah istrinya itu menuju kamar mandi.
"Aku bisa jalan sendiri, Mas. Sudah, ah, Mas istirahat saja!" Maira melepaskan tangan Janu dari lengannya. Kemudian dia lanjut berjalan sendiri ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi Maira terkejut ketika membuka celana dalamnya. Noda kemerahan tampak jelas di sana.
"Apa ini?" Tangan Maira bergetar, jantungnya berdebar.
(bersambung)
// Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan like, komen, vote dan rate 5....🙏🙏🙏❤️❤️❤️ //
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Puan Harahap
Oh, cemas
Hadir
⚘⚘PRIA IDOLA
DAN
PRIA URAKKAN ⚘⚘
2021-02-16
0
🐝⃞⃟⃝𝕾𝕳Simple Hayati
boom like 5 episod. nanti aku lanjut baca.
semangat ya thor.
ditunggu feedbacknya
2021-01-18
1
Ahmad
baru jam tujuh, harusnya jam sembilan baru mandi 🙏🙏
2021-01-10
1