...Hal yang sulit dilakukan adalah mengatakan sesuatu yang akan membuat kecewa orang teristimewa....
"Dik, selama sebulan ini aku akan pulang telat terus, ya. Banyak kegiatan di kantor," kata Janu pagi itu.
Maira yang sedang mengancingkan seragam loreng Janu, menengadahkan wajah. "Kegiatan apa, Mas?"
"Seperti biasa, latihan rutin."
Janu berbohong. Sebenarnya selama sebulan ini dia harus mengikuti pra tugas sebelum nanti diberangkatkan ke Papua.
"Kok, sebulan?" tanya Maira heran.
"Iya, Dik."
"Memangnya dalam rangka apa, Mas?" Maira melanjutkan mengancingkan seragam Janu.
"Enggak, kok. Latihan rutin biasa saja."
Sebenarnya ada sedikit rasa curiga di hati Maira, namun segera dia abaikan. Bukan hanya sekarang saja dia jadi istri tentara. Jadi dia sedikit banyak tahu kegiatan-kegiatan suami di kantor. Sebelum menikah dengan Janu, Maira adalah istri Galang, adik Janu yang tentara juga. Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa suami pertama Maira tersebut.
Sampai detik ini Janu memang belum memberitahu Maira tentang penugasannya ke Papua. Dia tak mau merusak kebahagiaan karena kehamilan Maira. Kabar penugasan itu pastinya akan membuat Maira sangat bersedih. Mereka baru menikah selama tiga bulan. Baru hangat-hangatnya menikmati kebersamaan. Apa jadinya jika mendengar kabar kalau sebentar lagi akan berpisah? Bukan sehari dua hari, bukan sebulan dua bulan, tapi setahun lamanya.
"O iya, aku nanti mau kasih kabar ke ibu sama Karina kalau aku hamil ya, Mas?"
Kancing paling atas baju seragam Janu selesai dikancingkan Maira. Perempuan itu sekarang menatap Janu dengan mata berbinar. Tangannya masih diletakkan di dada suaminya.
Janu melingkarkan lengan di bahu Maira. "Jangan lupa kasih kabar eyang Hartini juga."
"Pasti lah!"
Janu tersenyum. Direngkuhnya Maira dalam pelukan. Tangannya mengusap-usap rambut Maira yang masih setengah basah.
"Sayang, jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, ya!" bisiknya. "Jangan kerja yang berat-berat, jangan angkat-angkat, jangan ...."
"Iya, iyaaa ...." potong Maira. "Banyak banget pesennya!"
"Soalnya kamu suka ngeyel, bandel. Suka seenaknya saja angkat ini, angkat itu. Kalau nggak diingetin nanti pasti sudah sibuk angkat-angkat meja, geser-geser kursi!" Janu melonggarkan pelukannya. Sekarang dia menatap Maira dengan mata tajamnya.
Maira tertawa. Hobinya memang berbenah rumah. Menata ruangan-ruangan mungil di rumah dinasnya atau merawat tanaman di halaman depan. Terkadang dia harus angkat-angkat perabotan rumah atau memindahkan pot-pot bunganya. Pantas saja Janu khawatir. Takut Maira lupa ada janin yang harus dijaga.
"Siap, Komandan!" guraunya.
Kembali Janu memeluk Maira, erat. Lelaki itu seakan enggan melepaskan. Diciuminya rambut Maira.
Ah, gimana ini caranya aku memberi tahu dia?
***
Seperti kata Janu, lelaki itu pulang ketika hari sudah gelap. Maira menunggunya di teras depan. Setelah mencium tangan Janu, dia segera mengambil tas ransel suaminya. Mereka berdua masuk ke dalam rumah.
"Oza, mana, Dik?"
"Ngaji, ini kan hari Rabu, jadwal dia ngaji."
Janu merebahkan tubuh di sofa depan TV. Maira segera membuka kancing baju lorengnya.
"Dik!" Janu menahan tangan Maira. "Mulai sekarang kamu jangan terlalu memanjakan aku seperti ini. Kamu harus perhatikan kesehatanmu sendiri. Jangan terlalu sibuk melayani aku."
"Tapi, Mas, ini kulakukan dengan senang hati, kok. Aku gak merasa berat sama sekali. Justru aku bahagia bisa melayani dan mengurusi kamu setiap saat."
Jani tersenyum. Mata elangnya teduh menatap Maira. Dicium kening istrinya dengan lembut.
Mungkin beberapa waktu lagi kamu tak akan bisa melayani aku, Dik. Ah, semoga pemberangkatan pasukan tidak terlalu cepat. Sehingga aku masih punya banyak waktu menikmati kebersamaan ini denganmu.
"Eh, kok, malah bengong, to?"
Janu terkesiap.
"Hayo, melamunkan apa?"
"Tentu saja melamunkan kamu, sayang," jawab Janu sambil memencet hidung Maira. "Eh, sudah jadi kasih kabar ke Jogja sama ke Karina belum?"
"Belum. Nunggu mas Janu pulang. Aku mau kasih kabar bahagia itu bareng-bareng sama kamu."
"Kenapa harus bareng?"
"Ya, biar rasa bahagianya lebih nampol," jawab Maira sambil tertawa.
Janu menggeleng-gelengkan kepala. "Oza sudah tahu belum?"
Maira menggeleng. "Nanti biar ayahnya yang kasih tahu," ucapnya dengan nada manja.
"Ya, sudah, telepon Jogja sekarang saja!"
"Eh, mandi sama makan dulu lah. Bau asem!" Maira menutup hidung sambil nyengir.
Bukannya berdiri, Janu kemudian malah memeluk Maira. "Nih, asem, nih ...!" serunya dalam derai tawa.
Maira memekik. Susah payah perempuan itu melepaskan diri dari pelukan Janu. "Jangan kenceng-kenceng. Nanti dedek bayinya kepenyet!"
Janu segera melepaskan pelukan. Lalu tangannya mengelus-elus perut Maira. "Maafkan ayah ya, Sayang," ucapnya lembut, di depan perut Maira. Lalu dikecupnya perut yang masih tampak langsing itu.
Lepas isya, mereka sudah berkumpul di ruang tengah. Oza mulai membuka bukunya.
"Za, ada PR?" tanya Janu.
"Nggak ada, Ayah."
"Coba kesini!" Janu menepuk sofa tempatnya duduk.
Oza segera bangkit dari duduknya di lantai. Anak itu kemudian duduk di sofa, di antara ayah dan bundanya.
"Oza, Oza mau nggak kalau punya adik?"
Mata anak itu berbinar. Ditatapnya wajah Janu dengan senyum terkembang. "mau, mau, Ayah!" serunya.
"Coba pegang perut bunda!"
Dengan sorot mata penuh tanya, anak itu beralih pada Maira. Tangan mungilnya menyentuh perut Maira.
"Nah, di dalam perut bunda sekarang, ada calon dedek bayinya."
"HAH! Beneran, ayah?"
Janu tersenyum.
Oza berpaling pada Maira. Beneran, Bunda?"
Maira pun mengangguk. Direngkuhnya Oza dalam pelukan. "Bener, Sayang," bisiknya lirih.
"Alhamdulillah!" pekik Oza. Dicium-cium perut bundanya dengan girang.
Maira tertawa kegelian. "Sudah, sudah, Bunda mau telepon eyang dulu!"
"Kasih tahu eyang ya, Bunda. Bilangin kalau Oza mau punya adik. Eyang Hartini juga, budhe Wulan, pakdhe Sapto, tante Karina, om Bayu!" Oza mulai mengabsen.
"Iya, sayaaang ...!"
Tak berapa lama Maira sudah menelepon ibunya, kamudian ibu Janu, berlanjut Wulan, terakhir Karina. Sepanjang pembicaraan mereka melalui telepon, yang ada hanya riuh tawa dan kegembiraan. Sesekali Oza menimpali dengan kalimat-kalimat polos dan lucunya.
Janu hanya menyaksikan mereka dengan perasaan bahagia bercampur nelangsa. Semakin tak tega rasanya memberi tahu Maira tentang penugasan ke Papua. Kebahagiaan Maira dan Oza, serta anggota keluarga besar lainnya, terlalu riuh untuk disela oleh kabar tak mengenakkan.
"Semoga kamu nanti segera menyusul ya, Rin," ucap Maira saat menelepon Karina. Adiknya itu sebulan yang lalu juga sudah menikah dengan Bayu. Dan saat ini juga sedang menanti-nanti kehamilan.
"Iya, ada nih, di sini," kata Maira, masih di telepon. Lalu handphone dia berikan kepada Janu. "Karina mau ngomong, Mas."
Janu menerima telepon genggam itu. "Halo, Rin. Ada apa?"
"Mas, kata mas Bayu, mas Janu ikut penugasan ke Papua, ya?"
Deg!
Sesaat Janu kelu. Dia tak mengira Karina sudah tahu. Mungkin saja Bayu mendengar kabar itu dari teman-teman satu lettingnya yang dinas sekantor dengan Janu.
Gimana ini. Aku harus jawab apa?
(bersambung)
// Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa like, komen, vote, rate 5, yaa ...❤️❤️❤️🙏🙏🙏 //
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
Yukity
hai Thor.. Salken..
mampir yuk ke novelku..
Gadis Tiga karakter
2021-10-03
0
Bintang mehong
bagus thor
2021-04-12
0
Ade Safitri
aq waktu hamil ke2 ditinggal tugas ke Ambon ( lg genting2nya), bilangnya 1 thn ternyata lbh...😭 lahiran anak ke2 gak ditungguin suami
2021-03-18
0