Malam dikediaman Sabiel.
"Oke Mister, nanti saya akan kabari begitu tiba waktu keberangkatan" Intan tampak tersenyum senang berbicara dengan salah satu CEO perusahaan mode di Singapura melalui sambungan seluler.
"Kami akan sangat menanti keterlibatan anda dalam perusahaan kami." terdengar samar suara lelaki dewasa dari seberang sana.
"Baik. Terima kasih." Intan menganggukkan kepala meski seseorang disebrang sana tak melihatnya. Dia terlanjur merasa senang karna impiannya untuk menjadi seorang desainer muda berbakat di manca negara sepertinya akan ia raih sebentar lagi.
Sebenarnya Intan sudah berencana untuk pindah ke Singapura dan meniti karir disana sejak lama. Namun rencananya itu tidak berjalan mulus, karna Sabiel suaminya tidak pernah merestuinya untuk pindah ke Singapura. Hal itu membuatnya mengurungkan diri dan harus menerima untuk bekerja sebagai desainer texstil di Kota Kembang ini.
Namun beberapa waktu yang lalu, Intan menerima email dari satu perusahaan mode besar di Singapura. Mereka sempat melihat karya desain Intan di laman medsos dan tertarik untuk mengajak Intan Join di perusahaan itu. Intan yang terlalu merasa senang dan bangga, serta merta menyetujui ajakan itu tanpa merundingkannya terlebih dulu dengan Sabiel. Alhasil Sabiel marah besar padanya, sampai beberapa hari bahkan ia tak mau berbicara dengan Intan. Hingga akhirnya Intan berjanji pada Sabiel, jika ia bisa masuk dan menjadi desainer utama diperusahaan itu. Maka ia akan setuju untuk memiliki anak. Dan akhirnya Sabiel setuju.
Setelah berbicara panjang lebar dengan CEO perusahaan itu, Intan menutup ponselnya dan berbalik badan menghampiri Sabiel yang sedang duduk bersandar di kasur. Pandangannya datar menatap sebuah buku yang sedang ia baca. Sabiel mendengar obralan itu, tapi dia tidak peduli.
"Sayang, kau dengar?" Intan naik ke atas kasur dan mengambil tempat di samping Sabiel yang acuh. " Perusahaan itu ingin bertemu denganku. Mereka berharap aku setuju untuk menjadi salah satu desainer magang di perusahaannya." Senyuman bangga terbit dari bibir mungilnya.
"Sayang..." Intan merajuk ketika melihat tak ada respon dari suaminya.
"Iya aku dengar." ucap Sabiel ketus. Ia malas setiap kali Intan membicarakan tentang karirnya. Dia menganggap Intan terlalu berambisi mengejar karirnya hingga ia lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri.
"Aku akan berangkat kesana akhir pekan ini." Intan kembali bersemangat. "Aku sudah tidak sabar ingin segera kesana." sambungnya sembari menepuk-nepuk bantal untuk ia pakai di kepalanya.
"Lalu bagaimana denganku?" tanya Sabiel menoleh pada istrinya yang bersiap untuk tidur.
"Apa maksudmu? Bukankah kau sudah menyetujui keberangkatanku?" Intan bertanya heran.
"Itu karna kau memaksaku. Bukan kemauanku." jawab Sabiel sinis. "Apa kau tidak memikirkan aku saat kau berkata ingin berkarir disana?" Sabiel geram dengan keegoisan Intan. Intan selalu saja mengedepankan karirnya daripada kewajibannya.
"Sayang, ayolah... kenapa kau tiba-tiba berbicara seperti itu?" Intan meminta Sabiel untuk mengerti.
"Kau tidak memikirkan kebutuhanku sebagai seorang suami, Intan." Sabiel menutup kasar buku yang ia baca tadi. Pandangannya sepenuhnya menatap tajam pada Intan yang mulai bangkit kembali dari tidurnya.
"Seks maksudmu?! Ya ampun sayang, jarak Bandung dan Singapura tidak terlalu jauh. Baik aku maupun kau, kita bisa saling mengunjungi satu sama lain." Intan mengemukakan solusi dari kekhawatiran Sabiel akan kebutuhannya sebagai seorang suami.
"Intan. Kita ini suami istri, apa wajar jika kita berjauh-jauhan dalam waktu yang lama? Suami tidak hanya butuh seks. Ia butuh perhatian, butuh penyemangat, butuh kasih sayang istri yang sepenuhnya." Sabiel mencoba menahan kegeramannya.
"Tapi aku sudah melakukannya." Intan mengangkat bahu santai membela dirinya.
"Aku yang merasakan Intan. Aku yang merasakan bagaimana kau bersikap kepada suamimu ini." Sabiel mendelik tak terima.
"Jadi maksudmu, aku tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri?" tanya Intan dengan intonasi suara yang tinggi. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat, pertanda hatinya diliputi emosi.
Sabiel menarik nafas panjang ketika melihat bola mata Intan yang tampak memerah dan berair. Nafasnya terdengar memburu tak terkendali. Itu senjatanya. Menangis dan mengingat-ngingat janji Sabiel untuk menjaganya kepada mendiang orangtuanya. Dan seperti biasa, Sabiel harus rela menurunkan egonya dan mengalah pada istri keras kepalanya itu.
"Sudahlah, aku tidak ingin kita bertengkar. Lebih baik kau tidur." Sabiel hendak turun dari kasurnya namun tangan Intan menahannya.
"Kau akan meninggalkanku? Kau sudah berjanji pa... "
"Sssttthh! Aku hanya ke ruang kerja. Tidak meninggalkanmu." Jari telunjuk Sabiel menempel di bibir Intan yang hendak mengingatkannya pada janji itu. Intan melepaskan pegangannya di lengan Sabiel, membiarkan suaminya itu berjalan menuju ruang kerjanya.
Pintu tertutup dari luar, Sabiel mengelus dadanya sesaat. Menenangkan emosi yang masih bergejolak di dalam hatinya. Andai saja waktu itu ia tidak berjanji pada orangtua Intan, mungkin sudah sejak lama ia akan menceraikan wanita itu.
***
Sabiel terus memandangi gelapnya malam dari balik jendela ruang kerjanya. Lantunan melodi Moonlight Sonata milik Ludwig Beethoven mengalun indah melalui Gramofon langka yang ia dapatkan sebagai salah satu warisan orangtuanya yang merupakan kolektor piringan hitam.
Sejenak ia bisa menetralkan kembali emosinya yang hampir saja tersulut karena keegoisan istrinya. Kepalanya yang tadi sempat pening berangsur membaik. Ternyata benar, pernah ada orang yang berkata bahwa sedikit memberi jarak pada dua hati yang bergejolak itu memang diperlukan. Kini kondisinya membenarkan ungkapan itu. Untuk mencegah hal yang buruk terjadi, kedua manusia memang sewajarnya membuat sekat. Guna membentengi diri dari ledakan emosi yang tak terkendali.
Sabiel memijit pelipisnya pelan. Dia merasa gusar akan keinginan sepihak Intan untuk pergi ke Singapura. Karir yang di dambakannya tak lain adalah belenggu yang menjerat leher Sabiel dengan duri-duri tajam yang tertancap tanpa bisa ia lepas.
Apa yang sebenarnya Intan cari? Segala kebutuhannya sebagai seorang wanita, telah terpenuhi dengan berlimpah ruah. Meskipun Sabiel hanyalah dosen muda di salah satu universitas. Namun orangtua Sabiel tidak meninggalkan Sabiel dengan tangan kosong. Beberapa properti di pusat kota Bandung, adalah miliknya. Outlet-outlet yang bertebaran di Jalan Setiabudi dan Jalan Martadinata juga miliknya. Belum lagi warisan dalam bentuk deposito dan saham yang orangtuanya tinggalkan untuk Sabiel sebagai anak tunggalnya. Itu semua cukup untuk membiayai keluarga kecil Sabiel hingga tujuh turunan.
Sebenarnya Sabiel bukanlah tipe suami kolot yang tidak suka apabila istrinya bekerja. Di awal hubungannya dulu dengan Intan, Sabiel sangat mendukung keinginan Intan untuk bekerja. Bahkan Sabiel memberikan fasilitas untuk mendukung karir Intan tersebut. Namun dukungan Sabiel ternyata disalah gunakan oleh Intan. Intan secara egois terus saja fokus pada karirnya, dia mengabaikan kewajibannya sebagai seorang istri. Intan tidak pernah menyiapkan kebutuhan Sabiel seperti pakaian untuk mengajar, makanan untuk sarapan atau makan malam. Bahkan Sabiel sering makan seorang diri tanpa kehadiran Intan disampingnya. Hingga kini Sabiel tak ingin mempermasalahkan hal-hal teknis yang sepele itu. Yang menjadi masalah besarnya adalah hanya karena karir Intan bahkan tega membuat Sabiel menunggu kesiapannya untuk memiliki seorang anak.
Setahun dua tahun, Sabiel coba terus bersabar dengan sikap egois Intan. Hingga tanpa terasa tujuh tahun sudah ia lewati biduk rumah tangganya dengan berbagai drama pertengkaran. Jika sudah merasa tersudut, Intan pasti akan mengingatkan Sabiel kembali pada janjinya dulu di hadapan mendiang orangtua Intan. Bahwa ia tidak akan meninggalkan Intan, apapun yang terjadi. Dan karna itulah Sabiel selalu mengalah.
Sabiel benar-benar dalam kondisi tertekan. Disatu sisi dia terikat dengan janji itu, disisi lain ia ingin bebas dari Intan.
Apa yang harus Sabiel lakukan saat ini? Sesungguhnya ia sudah berada pada titik dimana ia merasa jenuh hidup berumah tangga. Ia ingin merasa dicintai dengan baik.
Hingga instrumen melodi Moonlight Sonata selesai di dengarkan, Sabiel masih diam memandang langit Bandung yang gulita. Dilangit kelam sana sekelebat bayangan kehidupan indah tergambar. Layaknya sebuah layar, di langit itu Sabiel mengkhayalkan kondisi dimana ia memiliki seorang istri yang cantik dan baik, tersenyum lembut menatap bocah-bocah kecil yang berlarian bersamanya. Sang istri dengan telaten menyiapkan makanan yang ia keluarkan dari keranjang persegi terbuat dari rotan yang saling terjalin. Ketika makanan telah siap, ia memanggil suami dan anak-anaknya. Tangannya yang ramping melambai, seketika itu Sabiel berlari menuju istrinya, dan diikuti para bocah yang tertawa riang mengejarnya.
Tiba-tiba Sabiel menggelengkan kepala kasar, ketika raut wajah istri dalam khayalannya menampilkan sosok yang ia kenal.
"Kenapa dia?" gumamnya lirih.
***
Silahkan tinggalkan Like, Koment dan Vote-nya ya 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
@⒋ⷨ͢⚤L♡Marieaty♡
kan aku kata, mulai tergoda 😁😁😁
2022-09-13
0
Anthony Krisyudanto
ggmuimnmm
2021-12-05
0
isna akhiriya
pisah aja sabiel, ayo kejar laura😂
2021-07-27
0