“Memangnya kenapa, Rio?” tanya Azka dengan wajah kecewa.
“Aku nggak bisa meninggalkan papah di sini. Bukan aku nggak percaya dengan keluarga Om Candra dan juga para ART di sini. Tapi, papah tentu tidak nyaman bersama orang-orang baru dengan kondisi seperti ini. Papah mungkin sungkan meminta tolong kepada mereka,” jawab Rio.
Azka terdiam. Ia menatap bundanya meminta pendapat.
“Kalau menurut Rio begitu, Bunda rasa Rio tidak apa-apa besok tidak ikut. Toh, ada hal yang lebih penting,” kata Bu Aisyah bijak.
“Terima kasih, Tante,” ucap Rio.
Suasana sejenak hening. Mereka membiarkan pikiran mereka melayang.
“O iya, pulang dari sini papahmu akan tinggal di mana?” tanya Farhan memecah keheningan.
“Rencana aku bawa ke panti. Aku kan hanya punya itu untuk berteduh.”
Mendengar jawaban Rio, semua orang tertegun. Kondisi panti saja masih berdesakan. Via dan Farhan memang sedang membantu merenovasi. Namun, baru sebagian karena bertahap. Hal itu dimaksudkan agar anak-anak tidak perlu pindah cari tempat.
“Lalu, papahmu akan tinggal sekamar denganmu?” tanya Azka dengan suara tercekat.
“Iya, tentu saja. Sudah tidak ada kamar kosong lagi.”
“Kamu sudah membicarakan dengan ibu panti?” tanya Bu Aisyah.
Rio terdiam. Ia baru ingat kalau belum memberi tahu rencananya kepada Bu Aminah. Ia pun menggelengkan kepala.
“Kalau begitu, telepon beliau! Kamu harus memastikan Bu Aminah bersedia menerima papahmu!” ucap Azka tegas.
“Kalau beliau menolak?” Rio terlihat kebingungan.
“Sementara tinggal bersamaku di rumah ayah. Toh aku sendirian sebelum Meli pindah ke Jogja,” jawab Azka.
Meli melirik suaminya. Ia tidak ingin tinggal bersama orang lain, apalagi sosok yang dinilai jahat. Meli sudah tahu tentang kejahatan yang dilakukan seorang Danu Santoso.
Rio melihat ekspresi Meli yang terlihat kurang senang dengan usul Azka. Ia merasa tak enak hati.
“Aku yakin Bu Aminah bisa menerima papah. Aku belum mencoba menanyakannya. Kalian nggak usah khawatir.”
“Coba kamu telepon Bu Aminah sekarang!” usul Bu Aisyah.
Rio beranjak pergi ke kamar. Ia menelepon ibu panti di luar karena khawatir ditolak.
“Bagaimana tanggapan Bu Aminah?” tanya Azka tak sabar. Ia menyusul Rio.
“Aa—apa?” Rio kaget karena mendadak Azka di belakangnya.
“Bu Aminah mengizinkan papahmu tinggal di panti?” Azka mengulang pertanyaannya.
“I—iya. Ibu memperbolehkan papah tinggal di panti.”
Azka mengangguk. Ia mengajak Rio duduk di kursi teras.
“Rio, berikutnya kamu juga harus membicarakan dengan Ratna. Sebagai calon istrimu, dia harus tahu. Dia harus siap menerima papahmu.” Azka menyampaikan pendapatnya.
“Kamu benar. Kalau tiba-tiba aku membawa papah ke ruko, tentu Ratna akan kaget.”
“Tidak hanya itu. Kehadiran papahmu saat ini saja tentu mengejutkan Ratna. Dia tahunya kamu telah dicampakkan keluarga angkatmu,” sambung Azka.
Rio mengangguk membenarkan.
“Kalian bicarakan hal ini begitu kita pulang! Jangan lewat telepon! Kamu datang saja ke ruko lalu ajak Ratna bicara berdua,” saran Azka.
“Bukankah kita tak boleh berduaan? Kalau dua orang lawan jenis berduaan, yang ketiganya setan,” ujar Rio polos.
Azka terbahak-bahak mendengarnya. Ia menoyor kepala Rio.
“Kalian bicaranya berdua. Tapi, di sana ada Salsa dan Mira, juga teman Salsa yang sering menginap di ruko. Kamu ini ada-ada saja.”
Rio menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia baru menyadari kebodohannya.
“Bagaimana kalau Ratna nggak bisa menerima? Dulu dia sering sekali berntok dengan Lia waktu SMA. Dia juga paham penderitaan Via akibat ulah papahku,” gumam Rio.
“Kalau begitu, ajak Mbak Via. Insya Allah dia bisa menjinakkan Ratna,” ucap Azka santai.
“Menjinakkan? Memang Ratna termasuk binatang buas?” gerutu Rio.
“Selow, Bro! Pokoknya, serahkan urusan meluluhkan Ratna kepada kakak iparku! Kamu cukup mengatakan niatmu merawat papahmu.”
Rio mengangguk setuju. Ia bersyukur memiliki sahabat yang sangat perhatian layaknya saudara.
*
Pukul 7 pagi keluarga Azka sudah sampai kampus. Dengan baju kebesaran seorang wisudawan, Azka terlihat begitu gagah. Meli pun terpesona melihat suaminya. Sejak di rumah, ia terus menerus melihat Azka.
“Berkedip, Mel,” goda Via.
“Ish, Mbak Via nih. Mas Azka ganteng banget pakai toga,” bisik Meli.
“Memang biasanya nggak ganteng?” balas Via.
“Ya, ganteng. Tapi kali ini berlipat gantengnya,” ucap Meli malu-malu.
Via terkekeh. Ia senang sekali menggoda adik iparnya sejak tadi.
Mereka pun berpisah. Azka bergabung dengan wisudawan lain. Meli dan Bu Aisyah masuk auditorium lewat pintu berbeda, duduk bersama keluarga wisudawan lain.
Tepat pukul 8 acara wisuda dimulai. Suasana berubah menjadi khikmat.
Meli membayangkan dirinya berada di antara orang-orang yang memakai toga dengan baju yang sama. Mendadak ia tak sabar menyandang gelar sarjana.
Setelah pengukuhan wisudawan, tibalah pengumuman wisudawan wisudawati terbaik. Nama Azka disebut sebagai salah satu wisudawan terbaik karena meraik IPK tertinggi untuk program magister.
Begitu nama Azka disebut, Meli terlonjak. Ia terkejut sekaligus bangga dan bahagia. Hampir saja ia melompat sambil berteriak memanggil nama sang suami. Untung saja Bu Aisyah menariknya hingga Meli urung melakukan hal yang norak.
“Bunda, Mas Azka meraih ....” Meli terbata-bata mengungkapkan perasaan bangganya.
“Iya. Dia sudah berusaha keras menyelesaikan kuliah secepatnya dengan nilai terbaik. Bunda juga bangga.”
“Ternyata Mas Azka hebat, ya,” gumam Meli.
Bu Aisyah tertawa lirih. Ia menggelengkan kepala melihat polah menantunya.
Saat penyampaian pesan kesan wisudawan, Azka kembali tampil karena dia wisudawan terbaik program magister, Melihat suaminya di podium, lagi-lagi Meli hampir berdiri dan meneriakkan nama Azka.
“Meli, tahan luapan perasaanmu. Nanti saja di rumah kau habisi suamimu,” bisik Bu Aisyah sambil menarik tangan Meli.
“I—iya, Bunda. Eh, menghabisinya? Ba—bagaimana caranya?” Meli kebingungan.
“Terserah kamu. Mau kau cium, kau peluk, kau apakan saja, terserah.” Bu Aisyah menjawab dengan santai.
Meli tersenyum tak jelas. Ia makin bangga dengan suaminya. Namun, ia juga gemas karena Azka tidak pernah cerita kalau dia memiliki prestasi yang bagus.
“Kalau saja Mas Azka cerita sebelumnya, Meli tak sekaget ini. Hampir saja Meli histeris,” desis Meli.
Lagi-lagi Bu Aisyah hanya bisa geleng kepala karena sang menantu yang absurd.
Pukul 11.30 acara formal telah usai. Meli tak sabar ingin berfoto dengan Azka. Namun, ia terpaksa harus menahan keinginannya. Azka justru berfoto-foto dengan para dosen.
Meli mendapat kesempatan berfoto berdua setelah seperempat jam menunggu. Ia berpose ala mempelai wanita saat foto pre-wed (maklum, tidak ada foto pre-wed karena hanya seminggu persiapan pernikahan Azka-Meli).
Saat sesi foto-foto selesai, mereka bermaksud pulang. Namun, mereka mengurungkan niat saat beberapa gadis yang memakai toga mendekat.
“Kak Azka, kita foto dulu, yuk!”
Mereka tampaknya tidak memedulikan keluarga Azka. Mereka menarik tangan Azka menjauh.
Setelah mengambil beberapa foto dengan berbagai pose. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Bu Aisyah.
“Terima kasih, Tante. Tante ini mamanya Kak Azka, ya?”
“Iya, sama-sama,” jawab Bu Aisyah ramah.
Mereka berjabat tangan. Dan saat menjabat tangan Meli, gadis itu memasang wajah masam.
“Ini adik Kak Azka, ya? Cantik. Kakaknyajuga ganteng,” ucap salah satu di antara mereka.
“O iya, Kak Azka kembali ke Jogja atau tetap di Medan?” tanya yang lain.
Meli semakin cemberut. Ia kesal dengan tingkah gadis-gadis itu.
“Aku akan kembali ke Jogja. O iya, ini bukan adikku. Ini istriku,” kata Azka. Ia tahu kalau istrinya tengah cemburu.
“Istri?” Mereka tampak kaget.
“Iya, aku istri Mas Azka. Kami sudah menikah, sah secara agama maupun hukum negara,” sahut Meli tegas.
Mereka buru-buru berpamitan. Terlihat sekali kegugupan para gadis itu.
“Cieee, ada yang cemburu nih,” celetuk Via.
“Mereka kecentilan,” gerutu Meli.
Azka terkekeh. Ia segera melingkarkan tangannya ke bahu Meli.
“Yang penting suamimu tidak tergoda. Besok saat kamu wisuda, mungkin juga dikerubuti teman priamu atau mungkin dosenmu,” kata Bu Aisyah.
“Itu dosen-dosen Mas Azka juga ada yang centil tadi.” Meli mengerucutkan bibirnya.
“Ish, masa iya? Mereka tidak ada yang single, lo!” ucap Azka.
“Terus, yang tadi pakai toga itu teman-teman Mas Azka?” tanya Meli masih dengan muka cemberut.
“Mereka dari S-1. Karena kadang bertemu di perpustakaan, kami jadi tahu. Mas juga nggak hafal nama mereka,” jawab Azka santai.
“Ya sudah, kita segera pulang ke rumah Om Candra, yuk!” ajak Via.
***
Bersambung
Agar lebih memahami karakter para tokoh, silakan baca SELALU ADA TEMPAT BERSANDAR. baca juga CINTA STRATA 1 dan IKATAN CINTA ALENNA untuk mengetahui latar belakang Meli. Jangan lupa berikan dukungan dengan klik like, rate 5, dan berikan komentar.
Terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
klo jadi meli gue jg cemburu tingkat balapan😄🤣
2021-05-19
0
yuli novelis🕊🕊
Semangat 💪💪
2021-03-30
0
Quntul96524526
slamat ya
2021-02-12
1