Di Rumah Duka

Via tidak langsung menjawab. Ia tampak menenangkan diri. Semua orang, kecuali Zayn yang belum tahu apa-apa, tampak tegang menanti.

“Om Candra yang menelepon. Iya, ada yang meninggal, Om ….”

Ucapan Via terjeda karena kedatangan Rio. Mata Via menatap lelaki teman Azka, adik iparnya.

“Assalamualaikum semua,” sapa Rio.

“Waalaikumsalam.” Semua menjawab serentak.

“Wah, sudah siap semuanya. Kita berangkat sekarang?” tanya Rio.

“Sebentar, nunggu bunda. Pak Yudi sedang menjemput ke rumah Eyang Probo.” Farhan menjawab sembari melirik Via yang tampak gelisah.

“Pak dokter Haris tidak ikut?”

“Tidak. Nanti yang jaga eyangku siapa?”

Baru saja dibicarakan, Bu Aisyah datang. Ia turun dengan menenteng hand bag-nya.

“Assalamualaikum,” ucap Bu Aisyah yang segera dijawab orang yang tengah duduk di teras.

“Sudah siap, ya?” tanya Bu Aisyah sembari menyalami besan dan menantunya. Farhan menyalami  terakhir.

“Sudah, Bunda. Tapi, Via mau bicara dengan Bunda sebentar.” Via mengajak Bu Aisyah ke dalam.

Farhan hanya melihat keduanya melalui ekor matanya. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka keluar.

“Bagaimana kalau kita berangkat sekarang agar tidak terburu-buru?” Bu Aisyah menawari.

“Iya, kita berangkat,” Pak Roni menyahut dengan penuh semangat.

Meli mengangkat tubuh Zayn. Via justru hanya membawa tas kecil berisi dot dan keperluan Zayn yang lain. Sementara Farhan dan Rio dibantu satpam mengangkat koper dan barang lain ke bagasi mobil.

Dua mobil Via meninggalkan rumah megah yang dibangun semasa papa Via masih hidup. Roda mobil mulai menggilas aspal jalanan Kota Gudeg dengan kecepatan sedang.

“Eh, Zayn ikut Meli, ya? Apa nggak rewel itu anak?” Bu Aisyah baru menyadari kalau cucunya tak berada di mobil yang ia tumpangi.

“Biar saja dekat dengan tantenya. Kalau rewel, Meli tentu telepon. Kita bisa berhenti sejenak,” jawab Farhan santai.

Bu Aisyah menarik nafas lega. Ia tak lagi mencemaskan cucu pertamanya.

“Tadi  di telepon Om Candra bilang apa, sih? Siapa yang meninggal?” tanya Farhan.

Via melirik Bu Aisyah. Kebetulan, bunda mertuanya tengah menatapnya. Sang bunda mengangguk, memberi isyarat agar Via menceritakan kepada Farhan.

Farhan mendengarkan cerita Via dengan saksama. Ia mengangguk-angguk setuju.

Perjalanan ke bandara cukup lancer. Demikian pula penerbangan ke Medan. Pesawat tidak delay. Sebelum ashar, mereka sudah tiba.

Ternyata, Azka ikut menjemput. Begitu melihat keluarganya, Azka segera mendekat. Ia mencium takzim tangan Bu Aisyah dan kedua orang tua Meli. Setelahnya, baru ia memberi pelukan dan ciuman untuk sang istri.

“Kita juga pemilik dunia ini, Bro! Masa dikacangin,” gerutu Rio.

Azka melepas pelukannya. Ia tertawa lalu memeluk Farhan dan Rio bergantian.

“Kakak iparmu nggak usah dipeluk!” ucap Farhan dingin.

“Siapa juga yang mau meluk? Mulai deh, posesifnya kambuh,” desis Azka.

“Sudah, sekarang bantu angkat barang ke mobil, Ka!” Bu Aisyah melerai.

Mereka berjalan beriringan menuju mobil.

“Kaum pria jadi satu mobil. Ibu-ibu misah, ya,” kata Via.

“Eh, aku nggak bareng Mas Azka dong!” Meli kebingungan.

“Nanti malam boleh kamu puaskan berdua Mas Azkamu. Sekarang ada hal penting yang harus dibicarakan. Udah, nanti kuberi tahu di mobil,” bisik Via.

Sesuai instruksi, Via, Bu Aisyah, Bu Fatimah, dan Meli juga Zayn berada dalam satu mobil. Yang lain masuk ke mobil berbeda. Setelah semua siap, sopir melajukan mobil perlahan membelah keramaian Kota Medan.

“Maaf, Mel. Aku nggak bermaksud mengerjaimu. Ada hal yang harus dibicarakan dengan Mas Rio. Mungkin dia akan lebih nyaman bila di dekatnya kaum  pria, tidak ada wanita.” Via memberi Meli pengertian.

“Memang membaicarakan soal apa?”

“Musibah. Orang tua angkat Mas Rio meninggal. Tadi waktu kita akan berangkat, Om Candra mengabarkan  hal ini.”

“Innalillahi wa innailaihi rajiuun. Kasihan bener Mas Rio. Menjelang pernikahannya malah orang tuanya meninggal.”

Via menarik nafas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya. Ia tahu betul nasib Rio. Seorang anak yatim piatu yang sejak bayi hidup di panti asuhan. Ia diangkat anak keluarga Danu waktu berusia sekitar 3 tahun karena keluarga angkatnya belum memiliki keturunan. Setahun kemudian, adik angkatnya lahir. Baru saja ia lulus S1, keluarga angkatnya jatuh miskin hingga ayah angkatnya stroke. Orang tua dan adik angkatnya menumpang di rumah adik mamah angkatnya. Dia ditelantarkan hingga kembali tinggal dipinti asuhan.

“Maaf, kita langsung ke rumah Om David. Pemakaman jam 4 sore. Kita berhenti di masjid nanti untuk salat,” kata Bu Aisyah.

Meli dan ibunya mengangguk setuju. Perjalanan langsung menuju ke kediaman keluarga David.

Saat mereka turun, upacara pemberangkatan jenazah akan dimulai. Rio berjalan paling depan dengan muka sedikit sembab.

“Mas Rio! Mamah, Mas. Mamah sudah ….” kalimat gadis memakai seragam napi terjeda.

Rupanya ia tak sanggup melanjutkan. Gadis itu memeluk Rio erat dan menenggelamkan wajahnya di dada Rio.

“Iya, Mas tahu. Kamu harus sabar, Lia. Ikhlaskan mamah pergi, ya,” ucap Rio dengan suara parau.

Tangis gadis bernama Lia itu mereda. Ia belum melepas pelukannya.

“Papah, bagaimana dengan papah, Mas?”

“Nanti biar aku yang urus papah. Kamu nggak usah mikir terlalu berat. Doakan mamah agar mendapat ampunan dari Allah, dilapangkan kuburnya.”

Tepukan di bahu Lia membuatnya tersentak dan melepaskan pelukannya. Lia menoleh, ternyata Via di belakangnya.

“Via, maafkan mamah. Maafkan keluargaku. Keluargaku sudah banyak salah,” tangis Lia meledak lagi.

“Iya, insya Allah kami sudah memaafkan. Jangan meratapi kepergian mamahmu agar perjalannya tidak tersendat. Kamu saying mamah, kan?” ucap Via lembut.

Lia melepaskan pelukannya. Ia mengusap air mata yang membanjiri pipi.

“Upacara sudah hampir dimulai. Mas, apa nggak menyalatkan jenazah?” bisik Via ke telinga Farhan.

“Iya, ni Mas mau ajak Rio, Dek Azka, dan Om Roni.”

Keempatnya mendekat ke keranda. Mereka bergabung dengan beberapa orang yang hendak menyalati jenazah.

“Lho, kamu bilang yang meninggal 2 orang. Kenapa keranda cuma satu?” bisik Meli.

“Om David agamanya Nasrani. Pemakamannya nggak sekarang. Mungkin jenazahnya disemayamkan di ruangan lain,” jawab Via juga dengan berbisik.

“Gadis itu adik angkat Mas Rio?” bisik Meli lagi.

Via mengangguk mengiyakan. Lia yang dibicarakan Meli tampaknya tidak mendengar. Ia tenggelam dalam lamunan.

“Lia, kamu kan sudah mulai berhijrah. Kamu jangan sampai goyah, ya! Minta ajari kepada pembimbingmu bagaimana mendoakan orang tua yang telah meninggal. Untuk papahmu, biar nanti diurus Mas Rio. Mungkin nanti papahmu kami bawa.”

“A—aku sendirian di kota ini?” desis Lia.

“Bukankah di lapas banyak teman? Setiap kali aku ke Medan, insya Allah kusempatkan menemuimu. Ingat, aku punya om di sini. Jangan merasa sendiri, merasa terasing atau dikucilkan!” hibur Via.

Lia mengangguk. Ia sudah sedikit tenang.

“Lalu, pemakaman Om David kapan dilakukan?”

“Entahlah, aku belum sempat menanyakan. Aku juga baru datang sekitar seperempat jam yang lalu. Kudengar pengacara Tuan Candra Wijaya yang mengurus ijin agar aku bisa mengikuti prosesi pemakaman mamah.”

Via mengangguk-angguk. Ia mengerti, om-nya pasti ikut campur dalam hal ini. Kalau tidak, mungkin Lia tidak dapat mengantar mamahnya ke tempat peristiraahatan terakhir.

“Kamu sudah bertemu papahmu?:

“Sudah, sebentar. Papah terlihat sangat terpukul. Ia juga bingung siapa yang akan merawatnya. Kamu tahu sendiri kondisi papahku. Tapi, tadi Mas Rio bilang siap merawat papah. Aku sedikit lega. Mudah-mudahan papah mau,” jawab Lia.

“Kamu sepertinya ragu? Kalau papahmu nggak mau, apa mau tetap di sini? Tantemu sendiri saat ini masih dirawat di rumah sakit. Sepupumu mau merawat papahmu?”

“Iya, di sini memang tidak ada yang merawat papah. Tapi, papah orangnya keras kepala. Mungkin saja papah menolak karena gengsi, dulu ikut menelantarkan Mas Rio.”

Via menghela nafas panjang. Ia juga tahu kerasnya hati seorang Danu Santoso, papah Lia.

“Kkkah—mu di—ssii—nih?” pekik seorang pria tua yang duduk di kursi roda.

Via dan Lia menoleh. Mereka tampak terkejut

***

Bersambung

Siapa pria itu? Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti terus, ya! Bagi yang ingin mengenal karakter para tokoh, silakan baca dulu novel SELALU ADA TEMPAT BERSANDAR dan CINTA STRATA 1!

Jangan lupa klik like dan tinggalkan komentar.

Terpopuler

Comments

yuli novelis🕊🕊

yuli novelis🕊🕊

Keren ceritanya 👍

2021-03-19

0

Simi/ IG:@ismisimasimi

Simi/ IG:@ismisimasimi

Kasian Lia. Siapa kakek2 itu

2021-03-03

1

Renna Mustika

Renna Mustika

lanjut teruss😂

2021-02-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!