Via menghela nafas panjang. Ia juga tahu kerasnya hati seorang Danu Santoso, papah Lia.
“Kkkah—mu di—ssii—nih?” pekik seorang pria tua yang duduk di kursi roda.
Via dan Lia menoleh. Mereka tampak terkejut.
Lia buru\=buru mendekati papahnya yang mendekat, didorong salah satu satpam rumah Pak David. Ia berjongkok di depan kursi roda.
“Pah, tolong dengarkan Lia. Selama ini kita sudah berusaha mencelakai keluarga Via. Bahkan, Lia menyuruh orang membunuh suaminya. Memang usaha Lia gagal dan berujung dijebloskannya Lia ke penjara. Lia akui Lia salah. Meski begitu, mereka masih baik sama Lia.”
Pria itu membuang muka ke kiri. Sementara Lia masih di posisinya, berjongkok di depan papahnya.
“Pah, Lia sekarang sudah sadar. Lia ingin bertobat. Papah juga, ya. Berdamailah dengan diri sendiri! Hapuskan dendam yang ada di hati papah. Lihatlah kenyataan yang ada! Keluarga Via tidak jahat. Mereka justru mau menengok Lia di penjara di saat keluarga Lia tak ada yang mau menengok.”
Tangis Lia kembali pecah. Tidak hanya isakan yang terdengar tetapi raungan. Papahnya tampak tertegun.
“Lia, jangan begitu! Orang-orang lihatin kamu, tuh. Ayo, hapus air matamu! Sebentar lagi upacara pemberangkatan jenazah mamah kamu,” bujuk Bu Aisyah yang segera mendekat begitu mengetahui Lia menangis keras.
Dengan dibantu Bu Aisyah, Lia berdiri. Baru saja berdiri, ia memeluk Bu Aisyah dan menumpahkan tangisnya.
Dengan sabar, Bu Aisyah membujuk Lia dan menenangkan gadis itu. Setelah beberapa saat, tangis Lia mereda.
“Pak Danu, lupakanlah dendam Bapak. Apalagi saat ini keluarga Bapak tengah berkabung. Sebaiknya kita fokus pada pemakaman istri Bapak,” ucap Bu Aisyah.
Papah kandung Lia hanya diam membisu. Sebenarnya, hati kecilnya mengakui kalau dia yang salah. Dia yang telah membuat perusahaan almarhum papa Via bangkrut. Lia beberapa kali berusaha mencelakai Via. Demikian juga dirinya dan sekutunya, pernah berusaha membuat Via celaka.
Namun, keadaan berbalik saat Via telah menikah dengan Farhan. Perusahaan milik Danu Santoso beserta sekutunya gulung tikar. Ia sendiri menderita stroke karena tekanan batin yang ia rasakan. Itu membuatnya masih membenci Via.
Beberapa saat kemudian, upacara pemberangkatan jenazah dimulai. Memang tak banyak yang hadir dan upacara pemberangkatan jenazah pun berlangsung singkat.
Begitu liang lahat tertutup tanah, air mata Lia kembali membanjiri pipinya. Tak ada isak yang keluar. Ia menatap Rio dan papahnya bergantian.
“Pah, sebentar lagi Lia kembali. Tolong jaga diri papah baik-baik. Ikutlah Mas Rio! Biarkan Mas Rio yang merawat papah, ya!” ucap Lia sembari menghapus air matanya.
Pak Danu diam. Ia membalas menatap Lia dan Rio. Rio pun mendekat.
“Iya, Pah. Izinkan Rio merawat papah. Sementara, papah ikut Rio menginap di rumah Om Candra, ya. Lusa kita kembali ke Jogja,” kata Rio penuh harap.
Papah angkat Rio masih diam. Matanya tampak berkaca-kaca. Akhirnya, ia mengangguk.
Rio dan Lia menarik nafas lega. Mereka saling tatap dan mengulas senyum tipis.
“Nona Aurelia, saatnya Nona kembali. Mari!” kata seorang petugas lapas sopan.
“Iya, Bu. Sebentar, saya pamitan dulu,” jawab Lia.
Gadis itu berjongkok kembali di samping makam yang masih basah. Ia berkata-kata sejenak lalu menghampiri papahnya.
“Pah, Lia kembali ke lapas. Doakan Lia agar bisa jadi orang baik! jaga diri Papah, ya!” ucap Lia dengan suara bergetar.
Gadis itu menoleh ke Rio, kakak angkatnya. Ia memegang kedua tangan Rio.
“Mas, titip papah. Lia yakin Mas Rio orang baik, tidak menaruh dendam meski kami dulu pernah berlaku buruk. Semoga kita bisa berkumpul lagi.” Lia kembali meneteskan air mata.
“Iya, kamu juga jaga diri di sana! Ikuti bimbingan rohani dengan baik. Insya Allah kita bisa berkumpul kembali,” sahut Rio.
Lia digandeng petugas lapas melangkah menjauh. Semua yang ada di makam menatap kepergian gadis itu.
“Rio, sebaiknya kau membereskan keperluan papahmu. Setelah itu, kita ke rumah Om Candra.” Farhan menepuk bahu Rio.
Pemuda itu mengangguk. Ia segera mendorong kursi roda papahnya menuju kediaman om angkatnya.
***
Sesampai kediaman Candra Wijaya, semua dipersilakan menempati kamar tamu yang telah disediakan. Mereka menempati kamar di lantai 1, kecuali Azka, Via dan Farhan. Mereka memang memiliki kamar sendiri. Azka tinggal di rumah Pak Candra selama kuliah. Sementara, Via adalah satu-satunya keponakan Pak Candra Wijaya.
Pak Candra sengaja tidak menemui Papah angkat Rio, Danu Santoso. Ia khawatir Danu Santoso akan kembali teringat akan dendam lamanya kepada papa Via yang telah tiada karena kecelakaan. Wajah Candra Wijaya memang sangat mirip dengan Beni Wijaya, papa Via, yang lebih dikenal dengan nama Wirawan.
Saat makan malam, Rio mengalah tidak makan bersama yang lain. Ia menemani papahnya makan di kamar. Danu memang masih canggung di rumah itu.
Usai makan malam, mereka berbincang di ruang keluarga. Azka menjadi bintang utama.
“Ka, kamu beneran sudah nggak betah di Medan?” tanya Candra Wijaya.
“Bukannya nggak betah di Medan, Om. Azka kan deserahi mengurus salah satu anak cabang Kencana Grup. Selain itu, Eyang Probo yang sakit membua Azka tak tenang berjauhan dengan eyang.”
“Sudah, cuma itu alasanmu, Dek?” Farhan manaik-turunkan alisnya.
“Memang apa lagi?” Azka balik bertanya.
Via melirik Meli yang tengahmenunduk. Ia paham maksud Farhan, suaminya.
“Bagaimana dengan calon ibu dari anak-anakmu? Tidakkah dia menjadi alasan utamamu?” Via menyambung sambil menyungging senyum.
Muka Meli tampak memerah. Sementara Azka masih tetap santai.
“Kalau yang itu sudah pasti. Siapa sih yang nggak ingin kumpul dengan istri yang dicintai? Mas Farhan dan Mbak Via saja yang aneh dulu. Bisa-bisanya tinggal sekota tapi nggak serumah. Gayanya seperti …”
Ucapan Azka terhenti karena kepalanya ditimpuk bantal yang dilempar Farhan.
“Jangan ungkit masa lalu! Kamu nggak tahu rasanya menahan perasaan. Istri di depan mata tapi nggak bisa dipeluk,” gerutu Farhan.
Semua orang tertawa termasuk Via. Ia tak lagi bersedih mengingat saat awal pernikahan. Ia dan Farhan tidak tinggal bersama untuk menjaga keselamatan Via dari incaran Danu Santoso dan teman-temannya. Mereka terpaksa menyembunyikan fakta bahwa mereka adalah suami-istri.
“Baju, dasi, dan semua perlengkapan untuk besok sudah disiapkan?” tanya Bu Aisyah.
“Sudah, Bun. Besok Bunda dan Meli yang masuk auditorium, kan?” ganti Azka yang bertanya.
Bu Aisyah tidak menjawab. Ia menatap Meli menantunya.
“Bagaimana, Mel?” tanya Bu Aisyah.
Meli sedikit gugup mendapat pertanyaan yang sebenarnya sangat biasa. Dia balik menatap bunda mertua. lalu, ia ganti menata kedua orang tuanya.
“Terserah kamu, Mel,” ucap Bu Fatimah.
“Apa aku saja sama bunda?” canda Via dengan senyum lebar.
“Ish, apaan sih? Kamu itu cukup dampingi aku seorang,” gerutu Farhan.
“Kumat posesifnya,” desis Azka.
Untung saja Farhan tidak mendengarnya. Ia tidak melibas Azka kembali.
Saat itu, Rio melintas di dekat ruang keluarga. Azka pun memanggil sahabatnya.
“Papahmu sudah makan?" tanya Azka.
“Sudah. Kenapa?”
“Nggak apa-apa. Alhamdulillah kalau Om Danu mau makan,” ucap Via dan tantenya lega.
Rio mengangguk. Setelah ke dapur untuk meletakkan kiriman dan pesanan obat, ia ikut bergabung dengan yang lain.
“Besok kita berangkat pukul 6.45. Acara akan dimulai pukul 7.30.” Azka memberi tahu.
“Maaf Ka, aku sepertinya tidak bisa ikut. Aku sangat menyesal.”
Azka menatap sahabatnya. Ada gurat kecewa di wajah tampan Azka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
kompakkk suka sama azka dan farhan😁✌
2021-05-07
0
yutantia 10
3 like mendarat untukmu
2021-03-25
0
yuli novelis🕊🕊
semangat terus di tunggu kelanjutannya
2021-03-19
0