Tarisa berpikir keras.
Uang Rp 350 ribu di dompetnya bukanlah uang yang bebas dipakai begitu saja. Uang itu hendak dipakai buat membayar periksa dokter kandungan. Sisanya harus dicukupkan untuk biaya makan sampai akhir bulan hingga Abram suaminya gajian lagi.
Tapi, Tarisa menoleh kepada si Ibu dan Bapak yang bayinya meninggal saat dilahirkan. Kedua orang ini jelas lebih membutuhkan uang dari pada dirinya. Dan tentu berpahala besar menolong orang yang tengah membutuhkan.
Air mata di pipi si ibu masih mengalir. Suaminya kelihatan pusing dan termenung. Tentu mereka sedih memikirkan bayinya yang sudah jadi mayat tapi belum bisa dibawa pulang.
Tarisa tak berpikir lama. Ia harus menolong mereka. Segera Tarisa mengambil uang Rp 250 ribu di dompetnya. Diberikannya uang itu kepada si Bapak.
“Ini, Pak. Silakan dipakai buat membawa jenazah anak Bapak pakai ambulans. Semoga anak Bapak bisa diantarkan dengan baik dan dia pulang ke surga dengan bahagia.”
“Gak usah, Bu.” Si Bapak masih berusaha menolak.
“Tolong diterima, Pak. Saya akan lebih sedih kalau Bapak gak mau menerima uang ini lalu membawa jenazah anak Bapak pakai motor, karena gak sanggup bayar ambulans….”
Si bapak tercekat. Tubuhnya berguncang mendengar ucapan Tarisa. Air mata si Bapak mengalir deras kala menerima uang yang diulurkan Tarisa padanya. Sementara istrinya menangis tersedu dan memeluk Tarisa.
“Terima kasih banyak, Bu.” Si ibu berusaha tersenyum di tengah isaknya. “Ibu adalah orang baik yang dikirimkan Allah di saat kami berduka dan kehilangan.”
“Saya hanya bisa menolong sekedarnya, Bu.” Tak terasa air mata Tarisa ikut mengalir kala ia balas memeluk si ibu.
“Ibu kuat ya. Insya Allah anak ibu akan kembali ke surga dan nanti akan menyambut Ibu dan Bapak disana sambil tersenyum bahagia.”
Suami istri itu tampak lega kala mengurus administrasi pembayaran.
Tarisa tersenyum sambil melambaikan tangan melihat mobil ambulans keluar dari rumah sakit. Bapak dan ibu tadi melambaikan tangan sambil tersenyum kepadanya.
Sungguh momen yang indah. Tarisa merasa hidupnya berguna pada sore itu. Ia sungguh tak bisa memaafkan dirinya jika membiarkan suami istri tadi membawa jenazah bayinya pakai motor. Bisa menolong mereka membawa jenazah bayi pakai ambulans membuat Tarisa lega. Ia sudah melakukan hal yang bermanfaat nyata untuk orang lain.
Tarisa kembali ke ruang periksa dokter. Si petugas perempuan tepat menyebut nomer pasien yang hendak diperiksa.
“Nomer 11.”
Tarisa menunjukkan kertas nomernya. Ia kembali ke dokter di saat yang tepat kala nomernya dipanggil.
Lalu seorang dokter wanita yang berusia setengah baya memeriksa kandungan Tarisa.
“Ini sudah 3 bulan, Dok. Tapi kenapa perut saya masih langsing?” Tarisa menyebutkan kekhawatirannya.
Dokter ramah itu tersenyum lebar. “Perut ibu memang tidak langsung tumbuh lebar dan membuncit seperti perempuan lain. Tapi jangan kuatir, Bu. Kan yang penting pertumbuhan janinnya.”
“Iya, Dok.”
“Saya sudah lihat Janin ibu tumbuh sehat dan kuat. Kelak ia akan jadi anak yang kuat dan bisa menjaga ibunya.”
“Alhamdulillah…” Tarisa bahagia mendengar ucapan si dokter. “Yang penting anak di kandungan saya ini sehat ya Dok?”
Dokter mengangguk. “Sehat. Tapi ibu harus ingat. Ibu gak boleh bekerja terlalu keras atau melakukan aktivitas fisik yang berbahaya. Lalu ibu harus menjaga asupan gizi yang baik. Insya Allah bayi ibu akan terus tumbuh sehat dan kuat.”
“Amin…” Tarisa mengaminkan ucapan dokter.
*
Tarisa tiba kembali di rumah kontrakannya selepas Isya.
Abram tersenyum masam membukakannya pintu. “Lama bener kamu ke rumah sakit?!”
“Tadi harus antri periksa dokternya mas. Aku dapat nomer antrian 11. Alhamdulillah, kata dokter anak kita tumbuh sehat.”
“Aku gak nanya kandunganmu!” Jutek Abram. “Mana nasi padang yang kupesan?! Aku sudah laper!”
DEEGG!
Tarisa terhenyak. Ia belum membelikan nasi padang pesanan Abram!
“Mana nasinya?” Abram melotot.
Tarisa diam. Merasa bersalah.
Abram mengamati istrinya. Tangan Tarisa hanya memegang tas kecil dan tas plastik keresek berisi vitamin dan obat dari dokter. Tak ada bungkusan nasi di tangan istrinya.
“Kamu gak beliin aku nasi padang?” Abram menatap Tarisa dengan jengkel.
Tarisa tau. Ia harus berkata jujur. “Maafin aku mas. Aku memang gak beli nasi padangnya.”
“Kok gak dibeliin? Gimana sih kamu?” Abram sengit. “Kamu kan masih pegang uang?! Mestinya masih ada berapa ratus ribu di kamu buat kita makan sampe aku gajian minggu depan?”
“Iya, Mas. Memang tadinya masih ada 350 ribu.” Jujur Tarisa. “Buat bayar dokter, dikasih vitamin dan obat, juga buat ongkos ke rumah sakit habis 90 ribu….” Tarisa tak enak melanjutkan kalimatnya.
“Nah, masih sisa 260 ribu kan? Terus kemana duitnya?”
“Nggg….” Tarisa menguatkan diri bicara. “Duitnya cuma sisa 10 ribu. Karena 250 ribu aku kasih buat seorang ibu di rumah sakit yang bayinya meninggal waktu dilahirkan. Aku gak tega karena dia sama suaminya gak sanggup bayar ambulans buat bawa jenazah anaknya pulang.”
JREEENGG!
Abram mendekatkan wajahnya ke Tarisa. Matanya melotot ganas.
“Uang itu kamu kasih ke orang lain?!”
“Iya, Mas…”
“Huhhh!” Abram mendengus jengkel. “Benar-benar gak punya otak kamu!”
Tanpa diduga Abram mendorong Tarisa dengan kasar.
BRRUUKK!
Tarisa jatuh ke lantai. Ia meringis kesakitan.
“Mas, aku ini lagi hamil…” Tarisa mengingatkan suaminya. “Jangan kasar! Entar anak kita kenapa-napa.” Ia mengelus perutnya. Khawatir kalau kandungannya terganggu.
“Heh! Dengar…! ” Abram menarik Tarisa yang masih terjajar di lantai agar berdiri secara paksa. “Aku gak perduli sama kamu dan kandunganmu! Aku lagi lapar malah gak kamu beliin makanan. Karena kamu sok baik ke orang lain! Mestinya kamu mikir! Kita sendiri susah. Kamu malah ngurusin orang lain?!”
Ditatapnya Tarisa dengan galak.
”Kita ini baru nikah, Risa. Gaji aku kecil. Uang gaji gak seberapa harus buat bayar kontrakan bulanan, biaya listrik, makan dan keperluan sehari-hari di rumah ini. Belum lagi ongkos aku ngantor. Uang sisa yang cuma sedikit malah kamu buang ke orang lain!”
“Bukan dibuang, Mas. Itu sedekah.” Tarisa berusaha meluruskan. “Kalau kita ikhlas bersedekah, insya Allah kita akan dikasih Tuhan rejeki yang jauh lebih banyak!”
“Kamu ikhlas ngasihnya?” Abram menatap Tarisa galak.
Tarisa mengangguk. “Aku memang niat menolong orang dengan ikhlas.”
“Tapi aku yang gak ikhlas! Apalagi uang itu dari gaji aku!” Kata Abram galak. “Bersedekah itu kalau kita sudah banyak duitnya. Kita aja hidup pas-pasan. Mau bersedekah apanya kalau malam ini aku gak makan?! Kamu senang kita mati kelaperan?!”
Tarisa terdiam. Merasa bersalah. Ia kemudian menatap Abram. “Maafin aku, Mas. Biar aku masakin kamu mie instan kalau kamu laper….”
Abram tersenyum sinis. “Tuh kan. Gitu cara berpikir kamu. Kamu bisa ngasih uang gaji aku ke orang lain 250 ribu. Tapi buat suami kamu sendiri, kamu cuma masakin mie instan?!”
“Ya ampun, Mas. Bukan gitu. Aku pikir kalau kita masih bisa bersedekah ke orang lain kenapa enggak?”
“Halaaahh, capek ngomong sama kamu! Sudah, masakin aku mie instan! Aku lapar!”
Tarisa pun ke dapur. Ia memasak mie instan sambil menangis.
*
Malam beranjak larut. Sudah nyaris tengah malam, tapi Abram belum tidur.
Tarisa yang sudah tidur lebih dulu terbangun. Dilihatnya suaminya duduk di sudut kasur memegang hand phone. Ia dan Abram memang hanya menghamparkan kasur di dalam kamar sebagai alas tidur.
“Kamu belum tidur, Mas?” Tarisa bertanya pelan. Heran melihat Abram sibuk melakukan chat whats app di hand phonenya nyaris tengah malam begini. "Kamu whats app an dengan siapa?"
Wajah Abram keruh saat menjawab. "Dengan ibuku.... Ibu besok mau kemari." Ia menutup hand phonenya lalu menatap Tarisa.
“Terus terang dengan kondisi hidup yang sengsara begini, aku belum sanggup punya anak, Risa! Aku pikir, lebih baik anak di kandunganmu digugurkan. Mumpung usia kandunganmu baru 3 bulan….”
BERSAMBUNG......
JANGAN LUPA KASIH LIKE DAN TINGGALKAN KOMEN jika kamu suka cerita ini. Reader juga bisa membaca karya saya lainnya di aplikasi Noveltoon Mangatoon. ISTRI YANG TERSIKSA dan TERPAKSA MENIKAHI BIG BOSS. Semoga terhibur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Aqiyu
ya ampun tuh paksu mulutnya....
2022-05-21
0
Ndhe Nii
perlu waspada kl ada seorang yg masih asik pegang hp lewat tengah malam... pengalaman sekamar dg temanku...dia malah asik dg org lain pdhal dia py suami juga pas kebetulan kami keli kota 🤣🤣
2022-03-28
0
@Ani Nur Meilan
Allah udah ngasih rezeki lewat anak bukan bersyukur.. 😠😠😠😠😠😠
2021-06-26
0