Kaget Tarisa mendengar ucapan Abram. “Kamu ngomong apa, Mas?” Tarisa seolah tak percaya omongan suaminya.
“Gugurkan kandunganmu. Aku belum siap punya anak!”
DEEGG!
Hilang rasa kantuk Tarisa. Matanya membulat. Ia menentang Abram.
“Enggak, Mas. Ini anak kita. Buah cinta kita. Aku gak mau menggugurkan kandunganku!”
Abram kesal ditatap demikian oleh Tarisa.
“Oh gitu. Terus kalau kamu terusin kehamilan kamu, anak ini bakal lahir. Kamu gak mikir?! Dia butuh susu, butuh popok dan segala keperluan bayi lainnya. Terus aku lagi yang harus keluar duit buat bayarin semua itu?! Iya?!”
“Ya iya lah, Mas. Kan kamu kepala keluarga. Mau gak mau kamu harus tanggung jawab menafkahi istri dan anak kamu.”
“Mungkin nanti, tapi gak sekarang!” Sahut Abram pendek.
Lalu dipegangnya tangan Tarisa. “Gugurin kandunganmu! Kata ibuku usia kandungan 3 bulan masih bisa digugurin. Mau pake cara tradisional bisa, pake nanas muda atau lainnya biasanya mujarab. Kalau itu gagal, janin kamu masih bisa digugurin di klinik!”
Tarisa menepis tangan Abram. “Enggak, Mas. Akan kupertahankan janin di kandunganku.”
Abram marah. “Kenapa kamu ngelawan suami sih?!”
“Aku bukan ngelawan kamu, Mas. Aku cuma mempertahankan anak di kandunganku. Karena dia sudah bernyawa. Sudah punya kehidupan. Kalau janin ini digugurin berarti kita adalah pembunuh!”
“Huuhh!” Abram mendengus sewot. “Pembunuh apaan? Janin kamu juga paling baru segede gumpalan sudah dibilang anak!!”
“Terserah Mas bilang apa.” Tarisa kukuh pendirian. “Tapi aku gak mau menggugurkan kandunganku. Akan kupertahankan kehamilanku walau bagaimana pun caranya!”
Abram tertawa mengejek. “Kalau gitu kamu harus cari duit sendiri buat membiayai kehamilan kamu dan biaya melahirkan anak itu. Aku gak mau ngurusin!”
*
Hanya berbekal uang sepuluh ribu di kantung, subuh itu Tarisa berjalan kaki ke pasar tradisional dekat rumah kontrakannya.
Di pasar ia membeli singkong dan oncom. Tarisa bersyukur bahan itu harganya murah. Dengan modal sepuluh ribu rupiah ia bisa mendapatkan singkong dan oncom cukup banyak.
Di dapur yang sangat sempit, Tarisa memarut semua singkong yang dibelinya. Ia menggunakan parutan tradisional yang harus dilakukan secara manual. Setiap singkong diparutkan satu persatu ke alat parut. Karena singkong cukup banyak yang harus diparut, Tarisa kewalahan.
SRRTT!
“Aarghhh…!” Tarisa terpekik kecil.
Ujung jari tengahnya terluka kena parutan. Ada darah muncul.
Buru-buru Tarisa membersihkan tangannya. Lalu ia menutupi lukanya pakai plester penutup luka.
Untunglah parutan singkong sudah hampir habis. Tarisa berhenti memarut singkong. Ia menyiapkan isian oncom. Lantas ia membentuk bulatan adonan singkong memanjang yang di bagian tengahnya diisi oncom. Untuk menggoreng combro ini Tarisa bersyukur masih punya stock minyak goreng di dapur.
Abram usai mandi. Ia sudah ganti pakaian. Mengenakan celana jins dan kaus kerah berwarna biru. Ia ke dapur melihat Tarisa berjibaku dengan wajan di penggorengan. Tarisa sedang menggoreng banyak combro.
Tarisa menoleh. Ia heran melihat Abram muncul tanpa memakai celana bahan dan kemeja rapi seperti biasanya jika hendak ngantor.
“Kok bajunya gitu, Mas? Kamu gak ngantor?”
“Ada tawaran kerja yang lebih bagus dengan gaji lebih baik. Aku lagi mempertimbangkan tawaran itu.”
“Oh, syukurlah.” Tarisa senang. Ia melanjutkan bicara sambil tetap menggoreng combro. “Dapat tawaran kerja dimana, Mas?”
“Di Yogya…”
DEEGG!
Tarisa kaget. Ia sampai terpekik karena tangannya tak sengaja menyentuh ujung penggorengan.
“Yogya?” Tarisa menjauh sedikit dari penggorengan dan menatap Abram.
“Iya. Biasa aja kalee.” Abram menatap sebal ke Tarisa. “Gak usah pake kaget. Sok drama kamu!”
“Yogya kan jauh, Mas. Kita tinggal di Jakarta. Kalo Mas entar kerja di Yogya terus kita harus pindah ke Yogya?”
“Aku juga belum tau kerjanya kayak apa. Ibuku yang ngasih tau di Yogya ada lowongan bagus. Aku baru mau jajakin. Kalau kerjaannya bagus aku terusin. Kalau enggak ya aku balik lagi ke Jakarta.”
Bingung juga Tarisa mendengarnya.
“Sudah, bikinin aku kopi. Terus kasih combronya buat aku sarapan!”
“Iya, Mas… Iya…”
Sambil terus menggoreng combro, Tarisa menyiapkan kopi untuk suaminya.
*
Sebuah meja kecil ditaruh Tarisa di depan meja kontrakan. Ia menaruh wadah tampah besar berisi combro di meja itu. Kumpulan combro itu masih mengepulkan panas.
Ada tulisan kertas karton di samping tampah. COMBRO RP 1000.
“Jual combro nih Mbak Risa?” Seorang ibu tetangga melihat. Ia menghampiri dagangan Tarisa.
“Iya, Bu Fitri. Cari tambahan. Maklum saya lagi hamil.” Tarisa tersenyum ramah. “Cobain dong combro saya.”
Si ibu mencomot dan memakan sebuah combro.
“Huaahhh, panas nih. Tapi enak…” Si ibu terus makan dengan lahap.
Tarisa tersenyum. ia tahu Bu Fitri bakal mendapat kejutan saat terus mengunyah.
“Waddooww! Pedas!” Bu Fitri berteriak. Rupanya ia mengunyah sebuah cabe rawit yang sengaja diselipkan di dalam combro.
Tarisa tertawa. “Tapi pedasnya enak kan, Bu?”
“Iya sih. Enak ini.” Bu Fitri melanjutkan mengunyah. “Malah mantap karena cabenya diselipin di dalam combro.”
Beberapa ibu tetangga lain melihat Bu Fitri ngobrol dengan Tarisa. Mereka berdatangan.
“Ayo, ibu-ibu silakan. Combronya murah. Cuma seribuan.” Tarisa menawarkan.
Para ibu-ibu itu makan combro.
“Awas ada merconnya!” kata Bu Fitri.
Sebagian ibu terpekik kala menggigit cabe. Tapi ada pula yang senang karena sangat suka pedas.
“Enak ini combronya. Tapi pedas banget cabenya.”
“Gampang Bu. Yang gak suka pedas cabenya gak usah dimakan. Dibuang aja cabenya.” Kata Bu Ida, tetangga yang tak suka pedas.
“Nah, betul kata Bu Ida.” Tarisa mengangguk setuju.
Ternyata jualan combro tak butuh waktu lama. Hanya dalam sejam lebih semua combro yang digoreng Tarisa tandas dibeli. Para pembeli tak hanya tetangga. Orang yang kebetulan lewat juga ikut membeli combro karena harganya terjangkau. Harga combro seribu per buah tergolong murah di Jakarta.
“Dapat berapa hasil kamu jualan combro?” Seorang perempuan bertanya ketus.
Tarisa yang sedang membereskan meja dagangannya menoleh. Ia melihat Bu Komariah, mertuanya muncul.
“Eh, ibu.” Tarisa buru-buru salim, mencium tangan mertuanya. "Ibu jam berapa dari Cirebon?”
“Tadi subuh.” Si ibu menyahut pendek. Ia menepis tangan Tarisa yang memegang tangannya saat salim.
Tarisa tau si ibu mertua jutek padanya. Sebabnya Bu Komariah tak suka Abram menikahi Tarisa. Dulu Bu Komariah sudah punya calon istri buat Abram. Tapi Abram tak mau dengan gadis yang dicalonkan ibunya.
Tarisa tersenyum agar ibu mertuanya tak jutek lagi. “Risa sekedar jualan kecil-kecilan, Bu. Lumayan ini dapat duitnya, 55 ribu.”
“Oh, bagus kalo gitu. Kamu sudah bisa cari makan sendiri!”
DEEGGG!
Tarisa kaget dijutekin. Ia melihat wajah mertuanya. Tapi si mertua belagak biasa saja. Pura-pura tak melihat kalau Tarisa kaget mendengar omongannya.
Abram keluar dari pintu depan. Ia melihat ibunya datang.
“Lho, ibu kok malah di luar? Masuk, Bu.”
“Iya, Bu. Ibu masuk dulu. Entar Risa nyusul habis beresin dagangan.” Tarisa senyum ke Bu Komariah.
Perempuan itu tak menyahut. Ia terus masuk rumah mengikuti Abram.
Tarisa berusaha maklum. Terus membereskan dagangannya. Tampah dan plastik pembungkus dikumpulkan. Meja dibersihkan dari kotoran dan dilapnya hingga bersih.
Tapi bagaimana cara memindahkan meja dari pinggir jalan ke dalam rumah?
Tarisa tadi minta tolong ke Abram untuk mengeluarkan meja dagangannya dan menaruhnya ke dekat jalan. Sepertinya ia harus minta tolong Abram lagi untuk memasukkan meja ke dalam rumah.
Tarisa kembali ke rumah. Ia sudah mau masuk. Tapi langkahnya terhenti. Terdengar suara ibu mertuanya mengobrol dengan Abram. Suara mereka rada pelan.
“Lebih baik kamu ceraikan Tarisa. Dari dulu ibu sudah gak suka sama dia! Perempuan ini hanya bisa bikin hidup kamu tambah susah!”
BERSAMBUNG……
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Ndhe Nii
ga pernah bersyukur nih mertua...suami lama lama terhasut😀
2022-03-28
0
🌸nofa🌸
wahwah
2021-04-25
0
♠️ˢᵏ⋆≛⃟A͙i͙r͙i͙n⋆࿐
masih ada ibu mertua macam begitu ya,,jahara bingidtzss
2021-02-15
1