Karena tidak mau terlalu sakit Ningsih segera pergi ke kamarnya, ia menanggis di sana tidak menyangka ternyata mereka menjelek-jeleknya di belakang, pada siapa Ningsih harus mengadu? sedang Herman tak ada di rumah.
Hari demi hari telah berlalu Ningsih melupakan kejadian yang pernah ia dengar sebelumnya, Ningsih berangapan kalo ia salah denger.
Tapi dugaan Ningsih salah memang keluarga suaminya tidak suka pada Ningsih karena status kehidupannya dulu, yang terlahir dari keluarga miskin, membuat dia terus di banding-bandingkan dengan gadis lainnya.
Pada suatu hari saat Ningsih sedang duduk berbincang dengan ibu mertuanya, dengan masih sedikit perasaan canggung tapi Ningsih harus tetep beradaptasi, karena ga mungkin tinggal satu rumah tapi tidak saling berbicara.
Eh ... iya maaf lupa menjelaskan sebelumnya, kalian pasti bertanya kenapa Ningsih bisa tinggal satu rumah dengan mertuanya? jadi gini penjelasannya karena Herman anak terakhir( bontot) sedangkan Kakaknya sudah di belikan rumah sendiri oleh orang tuanya, jadi rumah terakhir ini menjadi milik Herman dan karena orang tua Herman masih hidup jadi sudah jadi kewajiban anak terakhir untuk merawatnya( tinggal bersama).
Siang hari setelah selesai masak air dan memasak lauk pauk untuk makan siang nanti, bersama dengan bapak mertuanya Ningsih yang sedang pergi mencari pakan untuk kambing. Ibu mertua Ningsih mengajak Ningsih untuk menonton tivi bersama.
"Ningsih, sini duduk nonton tivi bareng udah mateng kan lauknya?" tanya ibu mertua.
"Iya Bu, sudah mateng semua tinggal cuci piring." Jawab Ningsih sopan.
"Yaudah tar habis cuci piring sini nonton tivi bareng, istirahat biar ga cape!" ajak ibu mertuanya.
"Baik Bu," kata Ningsih lembut.
Ningsih pun segera menyelesaikan pekerjaannya cuci piring setelah selesai masak, setelah selesai mencuci piring Ningsih segera duduk bersama mertuanya sambil menonton tivi.
Mereka berbincang sangat asyik, bermula dari sang mertua yang bertanya tentang masa lalu Ningsih, tentang apa pekerjaan orang tuanya, kenapa ibunya meninggal dan sebagaiannya.
Awalnya Ningsih begitu bersemangat menceritakan semua kehidupannya dengan jujur tidak ada yang di tutup-tutupi karena Ningsih ingin memulai kehidupanya dengan kejujuran tidak dengan kepalsuan.
Senyum Ningsih terhenti saat sang mertua mulai menceritakan tentang kehidupan Herman yang katanya banyak cewe-cewe yang mengejar-ngejar Herman untuk jadi istrinya dari seorang anak ustad, anak orang kaya, sampai seorang yang katanya memiliki tanah belimpah.
"Eh ... dasar jodohnya Herman sama orang yang ga punya mau di apain lagi, Herman nya seneng, jadi langsung nikah aja ngapain nunggu lama-lama," kata ibu mertua dengan nada sedikit mengejek.
Ningsih hanya tersenyum tak bisa berkata apa-apa lagi walau hatinya menjerit menanggis, tak sampai di situ saja sang mertua terus menyombongkan harta miliknya pada Ningsih, dan membandingkan dengan orang tua Ningsih.
Perih hati Ningsih tak terima mendengar ungkapan jelek tentang keluarganya yang keluar dari mulut mertuanya, namun tak ada daya Ningsih ingin melawan ia hanya seorang diri dan juga orang baru di lingkungan keluarga suaminya.
Dan juga Ningsih harus tetep menjaga sopan santun menghormati wanita paruh baya yang sedang di hadapannya sebagai mertuanya, walaupun uncapannya begitu pedes, teringat Ningsih dengan perkataan Abangnya dulu sebelum menikah.
"Dih emang lue pikir menikah itu enak? ga tau tar lue ngerasainnya sendiri." uncap Abangnya Ningsih.
*****
Menanggis Ningsih di dalam kamar seorang diri tanpa kehadiran sang suami, Herman terpaksa pergi menerima pekerjaan ini, karena katanya dalam waktu tiga bulan lagi pernikahan Herman dan Ningsih akan di repsesiin di kampung mengundang banyak orang jadi butuh modal banyak buat biayanya.
Padahal sering kali Ningsih berbicara bahwa pernikahannya ga perlu di rayain yang penting sudah sah di mata hukum sudah cukup, tapi mertuanya selalu menjawab kalo itu sudah jadi adat jawa untuk merayakan pernikahan dengan hajatan selama tiga hari tiga malam.
Jadi Ningsih hanya menurut saja apa kata mertuanya, mau nolak juga ga bisa dan ga mungkin di denger.
Keseharian Ningsih menjelang hari perayaan pernikahannya, Ningsih hanya menjemur gabah hasil panen dari sawah mertuanya, menjemur di bawah teriknya matahari menunggu sampai kering dan setelah kering akan di selip menjadi beras.
Sedang kedua mertuanya sibuk sehari-hari di sawah mengarap lahan untuk menanam padi lagi, untuk kebutuhan sehari-hari mereka makan.
Hari demi hari omongan yang tak enak dari keluarga suaminya sering banget di dengar Ningsih membuat Ningsih semakin sakit hati, dan tidak betah lama-lama tinggal di situ.
Hingga suatu hari saat batas kesabaran Ningsih sudah mencapai puncaknya dan Ningsih tak sanggup lagi menahan rasa sakit hatinya setiap hari Ningsih hanya menanggis karena omongan yang tak sedep dari orang-orang di rumah suaminya.
****
Sudah lama Ningsih menuggu dan mencari kesempatan untuk kembali ke rumah orang tuanya di ibu kota, tapi belum menemui waktu yang tepat, sudah lama juga niat untuk pergi ini terbesit di pikiran Ningsih.
Hari ini hari dimana Ningsih memilikki kesempatan bagus, di rumah sedang tidak ada orang hanya ada Kakak iparnya di rumah sebelah, dan ayah mertuanya sedang duduk di ruang depan.
Mula-mula Ningsih merapikan bajunya seperlunya saja memasukkannya dalam tas, lalu Ningsih menaruh tasnya deket pintu dapur, setelah itu Ningsih pergi pamit ingin ke puskesmas kepada Kakak iparnya.
Setelah itu pergi menemui ayah mertuanya dan juga pamit dengan alasan yang sama seperti ke kakak iparnya pergi ke puskesmas, tanpa curiga mereka memberikan ijin ke Ningsih, sungguh kesempatan bagus bagi Ningsih.
Ningsih punya tidak menyia-nyiakan kesempatan bagus untuk pergi keluar dari rumah mertuanya.
***
Sebenarnya kalo cuma karena omongan kedua mertuanya, atau hanya karena orang di rumah mungkin bisa Ningsih tahan demi menunggu suaminya pulang, tapi malam sebelumnya Ningsih merasa kecewa dengan suaminya saat itu tidak mau mendengarkan curahan hati Ningsih.
Ini yang membuat tekat Ningsih makin kuat untuk pergi meningalkan rumah dengan segera.
"Huh ... buat apa aku terus bertahan di rumah ini, kalo suamiku pun sudah tidak lagi perduli denganku, lebih baik aku pergi toh ini juga bukan tempatku." Batin Ningsih.
Sepertinya Dewi keberuntungan sedang mendukungnya jalan untuk pergi meninggalkan rumah begitu mulus tanpa ada yang mencegahnya, sampai Ningsih berhasil naik bus menuju rumah kontrakan orang tuanya.
Sepanjang jalan Ningsih masih memikirkan kejadian semalam saat dirinya berkali-kali menghubungi suaminya tapi tidak juga di angkat, ketika di SMS juga ga di bales membuat Ningsih membanting hapenya sampai hancur.
"Apa mungkin aku dan Mas, Herman tidak berjodoh! makanya dengan mudahnya hari ini aku bisa keluar dari rumah itu! karena sebelumnya aku selalu maju mundur untuk pergi," batin Ningsih melamun dalam bus.
Bus terus melaju tanpa henti sebelum sampai tujuan, karena bus telah masuk jalan tol.
*****
Sekitar jam 4 sore Ningsih baru sampai di terminal ibu kota, dari situ Ningsih masih harus naik mobil angkot dua lagi baru bisa sampai rumahnya, sekitar empat puluh lima menit Ningsih sampai gang kelurahan tempat ia tinggal dari kecil.
Rasa rindu akan kampung halamannya begitu besar air mata tak terasa mengalir di kelopak matanya, bercampur dengan rasa sedih mengingat usia pernikahannya dengan Herman baru seumur jagung tapi sudah harus berpisah rumah.
Ningsih berjalan kaki menyusuri jalan untuk sampai kontrakannya gang demi gang di masukin Ningsih, hingga akhirnya Ningsih sampai juga.
Sampainya Ningsih di rumah orang yang pertama ia temui adalah ayahnya yang selama ini ia rindukan, ayah yang merawat dan membesarkannya air mata pun mengalir Ningsih langsung memeluk ayahnya.
"Eh ... Ning, pulang sama siapa? mana suami loe! ga ikut?" tanya ayah.
"Ning, pulang sendiri Yah, suami, Ning masih sibuk kerja belum sempet dateng." Jawab Ningsih berbohong.
"Oh yaudah sini masuk istirahat dulu pasti cape kan dari perjalanan jauh." Ajak ayah mengandeng Ningsih masuk.
Malam telah begitu larut, setelah Ningsih membersihkan badannya mandi Ningsih pun merebahkan tubuhnya di kasur tempat tidurnya waktu dia kecil dulu.
Tidak langsung tidur pikiran Ningsih melayang memikirkan suaminya apakah ia sudah tahu perihal kepergiannya atau belum? Ningsih tidak bisa berhubungan dengan suaminya lagi karena hapenya sudah hancur saat di banting olehnya.
Terus melamun memikirkan keadaan suaminya, lama kelamaan karena rasa kantuk yang lelah membuat Ningsih tertidur pulas, melupakan masalah yang terjadi hari ini.
*****
BERSAMBUNG ...
Bab ini sampai sini dulu kita lanjut ke bab berikutnya yach, tapi sebelumnya tolong like👍 dan komennya jangan lupa. dan tambahkan ke faforit❤ yach.
JANGAN LUPA LIKE DAN KOMEN
❤Terimakasih❤*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Nyai💔
smngt
2021-10-12
6
CebReT SeMeDi
jejak
2021-09-26
6
Ririn hiat
hp nya hancur gimana dong kalau mau hubungin mas nya...
2021-09-24
8