Keesokan paginya Sabil yang sudah rapih dengan seragam sekolahnya langsung turun dari lantai dua menuju ruang makan dan berharap Yunus ada di sana seperti biasa menunggu dirinya sarapan, baru keluar rumah bersama. Namun yang dilihat Sabil kali ini adalah meja kosong dengan dua piring yang tersedia di sana.
Sabil duduk sambil menunggu Yunus keluar dari kamarnya. Tetapi salah satu asisten rumah tangganya menghampiri Sabil dan mengatakan bahwa Yunus sudah berangkat kuliah setengah jam yang lalu.
"Kok bang Yunus tidak sarapan bi?" Tanya Sabil saat mendengar ucapan pembantunya itu.
"Dia bilang udah kesiangan neng."
"Oh, yaudah deh. Aku berangkat sekolah dulu."
Dengan perasaan bersalah Sabil berjalan menelusuri koridor sekolahnya. Semua teman-teman satu sekolah melihat Sabil dan ingin menanyakan kabar tentang Marian namun ia tidak menggubrisnya, Sabil hanya diam sambil berjalan tidak semangat menuju kelasnya.
Lirikan mata Sabil tertuju pada perempuan cantik dengan rambut sebahunya, Marian tersenyum memandang sahabatnya yang baru datang. Sabil tidak menanggapi sapaan Marian dan ia memilih untuk membaca buku astronomi.
"Lo kenapa sih bil?" Tanya Marian.
"Gak apa-apa." Jawab Sabil tanpa berpaling dari buku bacaannya.
"Marah ya atas sikap gue semalam?"
"Nggak."
"Bohong! lo pasti marah kan?!"
Sabil menutup bukunya dengan kasar sehingga membuat hening kelasnya.
"Yang marah itu bang Yunus. Gara-gara gue ikut lo, dia marah!"
"Dia kan cuma abang lo, gak ada keharusan buat ngatur hidup lo!" Ujar Marian.
"Memang! Tapi gue suka diatur! dan mulai sekarang gue gak mau lagi menemani lo ke sana!!" Sabil merapihkan buku astronomi miliknya yang ia dapat hadiah ulang tahun dari Yunus.
Sabil menyuruh Dewi untuk pindah duduk bersama Marian. Sedangkan Sabil duduk berdua dengan Nichole. Sebenarnya ia sendiri tidak mau marah-marah dengan Marian, namun ini semua tidak akan terjadi jika ia tidak ikut bersama Marian ke diskotik tadi malam.
Memang sudah tidak asing lagi bagi teman-teman Sabil melihat kemarahannya pada Marian, perempuan jahil dan banyak tidak disukai oleh murid di sekolahnya. Tetapi pagi itu Sabil benar-benar marah, belum pernah mereka lihat Sabil pindah tempat duduk, meskipun kedua sahabat itu bertengkar mereka akan melihat Sabil dan Marian tetap duduk berdua walaupun mereka tidak saling bicara.
Jam pelajaran pertama tidak ada gurunya di kelas, Sabil dan teman-temannya mengabiskan waktu 2 jam ke depan hanya dengan ngobrol atau mengisi soal-soal di buku paket biologi.
"Kalian marahan ya?" Tanya Nichole sambil membaca esay yang terdapat di buku biologi tersebut.
Sabil menghela nafasnya lalu mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Nichole.
"Memangnya tidak bisa dibicarakan baik-baik bil?" Tanya Nichole.
"Coba aja gue gak ikut sama Marian ke diskotik, mungkin abang gue gak akan marah kayak gini Nic. Memang gak sepenuhnya salah Marian, cuma gue merasa bersalah sama diri gue sendiri karena gak bisa pegang janji." Jawab Sabil menyesali tindakannya.
"Abang kamu tau kalau kamu ke diskotik?"
"Nichole, gue pulang telat aja dimarahi, apalagi gue jujur habis darimana semalam."
"Bil, kayaknya kamu harus baikan deh sama Marian. Karena menurut aku nih, tanpa kamu minta maaf pada abang kamu, aku yakin dia akan maafin. Kalau Marian kan seumuran sama kita, cara pikirnya juga belum sedewasa abang kamu. Ngerti kan maksudku?" Ujar Nichole, ia hanya ingin memberi saran pada Sabil yang memang terlihat marah pada Marian.
"Iya, gue paham." Sabil melirik Marian yang sedang merebahkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tas selempang berwarna putih.
"Nic, lo masuk Islam, orangtua lo tau?" Tanya Sabil.
Nichole tersenyum mendengar pertanyaan Sabil yang diam-diam tertarik dengan kehidupannya.
"Memangnya kenapa tanya gitu? Mau masuk Islam juga?" Jawab Nichole menggoda salah satu siswi paling cantik di sekolahnya.
"gue tanya aja Nic." Ucap Sabil.
"Orangtuaku beda agama, tapi syukurnya mereka membebaskan aku dan adik-adikku untuk memeluk agama apa yang mereka inginkan. Alhamdulillah aku jadi muslimah dengan persetujuan mereka." Kata Nichole.
"Agama itu keinginan kita?" Tanya Sabil lagi dengan polosnya.
"Bil, kalau kamu udah nyaman sama apapun, maka kamu ingin tau banyak tentang itu, kamu cari tau semuanya, kamu pahami dan kamu coba mengerti. Sama seperti kamu nyaman dengan agama, dengan orangnya misalnya, yang lembut dan juga mengormati sesama manusia lainnya dan saling membantu." Jawab Nichole.
"Sayangnya mamah gue gak kayak mamah lo ya Nic." Ucap Sabil tersenyum tipis namun membekas di dalam hatinya.
"Maksudnya?" Nichole tidak mengerti apa yang di maksud oleh teman sekelasnya itu.
"Sewaktu masih ada papah, mereka membebaskan anak-anaknya, samalah kayak keluarga lo. Tapi setelah papah meninggal, semua berubah, mamah nunjuk gue biar satu agama dengannya. KTP gue agamanya dia yang jawab waktu ditanya sama orang kecamatan. Dan gue gak bisa apa-apa. Gue iri sama abang gue yang udah diajarin agama Islam sama papah, pokoknya gue iri sama lo, dan anak muslimah lainnya."
Perkataan panjang yang diucapkan oleh Sabil mampu membuat Nichole tertegun cukup lama. Gadis cantik itu benar-benar tidak menyangka bahwa Sabil akan bercerita mengenai hal seperti itu kepadanya, mereka tidak sedekat seperti Marian kepada Sabil. Namun entah mengapa Sabil begitu mempercayai Nichole yang sudah menjadi seorang muslimah lebih dahulu. Sabil begitu mempercayai orang-orang Islam setiap kali bercerita tentang masalahnya, karena ia yakin kalau Islam mengajarkan untuk amanah.
"Bil, suatu saat mamah kamu akan mengerti semuanya kok, dan aku do'ain semoga kamu mendapatkan ketabahan."
"Kata abang gue, gue ini seorang muslimah buat diri gue sendiri. Karena teman-teman gue taunya gue ini seorang non-muslim, tapi gak apa-apalah semoga gue bisa seperti lo ya Nic."
"Aamiin." Sahut Nichole dengan tulus. Ia memang selalu menyadari bahwa Sabil beda dengan temannya yang lain, meskipun dia seorang non-muslim tetapi keingintahuannya tentang Islam begitu tinggi. Bahkan sikap Sabil seperti itu dilakukan sebelum Nichole memutuskan dirinya menjadi seorang muslimah.
Bel istirahat telah dibunyikan, seluruh murid berhamburan keluar kelasnya masing-masing. Begitupun dengan Sabil yang berniat ingin ke perpustakaan menemani Mbak Eni di sana. Namun sebelum Sabil keluar kelas ia menyempatkan minta maaf karena sudah marah-marah kepada Marian tadi pagi.
Sabil berjalan santai menuju perpustakaan sekolah dengan beberapa buku yang ia pegang dan siap ia kembalikan kepada Mbak Eni.
"Tumben sekali kau datang ke sini jam istirahat?" Suara mbak Eni sudah terdengar saat Sabil baru saja hendak masuk ke dalam perpustakaan.
"Jangan berisik! Mereka mau baca dengan tenang." Sahut Sabil tersenyum menghampiri meja mbak Eni.
"Ada apa bil?" Tanya mbak Eni.
"Apa aku selalu datang ke mbak Eni setiap kali ada masalah?" Sabil duduk di hadapan penjaga perpustakaan sekolahnya sambil menaruh buku-buku yang ia pinjam dan telah selesai ia baca.
"Tidak juga, tapi aku selalu tau kalau kau sedang ada masalah." Jawab mbak Eni.
"Seperti paranormal." Cibir Sabil dan ditanggapi dengan suara tawa Mbak Eni.
Kedua mata Sabil tertuju kepada siswi yang mengenakan cadar sedang mencari hadist nabi. Tidak ada rasa ragu ataupun heran setiap kali Sabil melihat teman-teman muslimah yang mengenakan cadar. Justru Sabil ingin tau alasan mereka mengenakan cadar itu untuk apa, sebab setahunya cadar itu boleh dipakai atau tidak.
Senyuman Sabil muncul saat para siswi bercadar itu menghampiri meja mbak Eni untuk mencatat buku apa saja yang mereka pinjam. Dan Sabil yakin dibalik cadarnya, mereka membalas senyuman Sabil hanya saja mereka lebih spesial dibandingkan yang lainnya.
"Kau memberikan mereka senyuman, apa kau yakin kalau mereka juga tersenyum pada kau?" Tanya Mbak Eni setelah siswi itu keluar dari perpustakaan.
"Yakin." Jawab Sabil.
"Apa alasannya?"
"Karena hanya Islam, agama yang mengajarkan bahwa senyuman adalah ibadah. Dan aku yakin mereka tidak mau melewatkan ibadah sekecil apapun." Jawab Sabil terlihat santai namun penuh dengan keyakinan.
"Jawaban yang cerdas! Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa tersenyum kepada orang lain?"
"Bukan tidak bisa, hanya saja mereka bingung untuk mengartikan senyuman mereka sendiri."
"Wah-wah! Rupanya kau sudah pandai mengenai hal-hal sekecil itu." Puji Mbak Eni.
"Biasanya orang-orang sibuk mengejar sesuatu yang lebih besar dan melupakan sesuatu yang sepele namun bernilai bagi siapapun. Contohnya senyuman itu." Ujar Sabil.
"Diskusi kita mengenai senyuman sepertinya tidak cukup hanya satu jam, perlu tambahan waktu." Kata mbak Eni.
"Dan hari ini cukup sampai di sini, karena aku harus masuk kelas." Ucap Sabil meninggalkan mbak Eni bersama dengan buku-buku yang selalu setia menemaninya.
"Hei! Kau tidak pinjam buku-buku lagiiiii?" Teriak Mbak Eni, sehingga mendapat tatapan tajam dari siswa-siswi yang tengah berada di dalam perpustakaan.
"Pulang sekolaaaah." Balas Sabil dengan suara teriakannya.
...***...
Setelah meminjam beberapa buku tentang sejarah Islam, Sabil langsung menyetir mobilnya menuju kampus Yunus tanpa sepengetahuan darinya. Sengaja ia ke sana hanya untuk minta maaf kepada abang kesayangannya.
Sesampainya di kampus Sabil menanyakan keberadaan Yunus kepada salah satu teman kampusnya yang ia kenal. Sabil segera berjalan ke kantin, karena di sanalah Yunus berada bersama sahabat-sahabatnya.
Sabil tersenyum melihat Yunus sedang asyik berbincang-bincang dengan Aslam dan beberapa temannya yang lain. Ia pun mempercepat langkahnya lalu mengagetkan Yunus karena ada dirinya di kampusnya.
"Lagi pada ngobrolin apa sih?" Tanya Sabil ikut nimbrung.
"Eh, ada Sabil. Biasalah, abang Yunus minta dicarikan calon istri." Jawab Ervan.
"Oh ya? Betul begitu bang?" Tanya Sabil kepada Yunus yang semenjak kedatangannya menunjukkan wajah masam.
Yunus hanya mengangguk, tanpa menjawab ucapan adiknya.
"Bang Aslam." Panggil Sabil.
"Iya?"
"Aku menyesal udah buat abangku marah. Aku juga kepikiran dia terus di sekolah karena sikapnya yang jutek padaku. Bang Aslam, tolong bilangin bang Yunus kalau adiknya juga sayang sama dia, dan adiknya juga minta maaf karena sikapnya semalam. Tolong bilangin ya." Sabil berdiri dari tempat duduknya.
Aslam dan Ervan saling pandang, mereka tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh Sabil dan juga masalah di antara kakak beradik itu.
"Kau mau ke mana?" Tanya Yunus.
Sabil tersenyum dan langsung kembali duduk di samping abangnya.
"Tadinya mau pulang, hehehe." Jawab Sabil cengengesan.
"Aku udah maafin, sekarang kamu pulang, istirahat, dan jangan ke mana-mana!" Suruh Yunus.
"Gak mau ah, aku masih mau di sini." Kata Sabil.
"Kalau gitu gue sama Aslam balik duluan ya. kita tidak mau ganggu keharmonisan kalian." Ujar Ervan.
"Iya, hati-hati." Sahut Sabil.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatu."
Kepergian Aslam dan Ervan dari kantin membuat kedua mata Sabil memandang punggung mereka, sampai-sampai Yunus mempergoki tatapan Sabil untuk sahabat-sahabatnya itu.
"Kamu naksir sama Ervan?"
"Hah? Apaan sih bang." Jawab Sabil.
"Ervan sering banget nanyain kamu, padahal udah abang bilang kalau kamu punya pacar, tetap aja mau deketin kamu. Boleh tidak?"
"Aku cuma bisa senyum aja deh jawabnya." Kata Sabil.
Yunus pun hanya menyunggingkan senyumnya.
"Semalam aku ke diskotik. Maaf udah bohong dan juga tidak bisa tepati janji." Ucap Sabil pelan.
"Apa? Diskotik?!"
Sabil mengangguk pelan, ia siap untuk mendengar berbagai nasihat dari Yunus, atau bahkan kemarahan Yunus akan bertambah setelah mengetahui yang sebenarnya.
"Bang, Marian hamil. Dia minta temani aku ke sana, jujur aku udah nolak ajakan dia tapi aku takut kalau dia sendirian ke tempat seperti itu, dia akan berbuat macam-macam. Makanya semalam itu aku jadi satpam Marian." Sabil menjelaskan alasannya pergi ke hiburan malam.
Yunus begitu terkejut mengetahui kebenarannya, bahkan ia tidak menyangka sama sekali kalau adiknya bersahabat dengan gadis yang sudah memberikan kehormatannya di usia remaja dan di luar nikah.
"Kenapa harus kamu yang jaga Marian?" Tanya Yunus.
"Rendra tidak mau tanggungjawab bang. Apalagi, Marian berniat untuk menggugurkan kandungannya." Jawab Sabil lagi.
"Astaghfirullah hal adzim." Yunus mengelus dadanya.
"Aku bingung bang harus bantu Marian gimana lagi. Satu sekolah udah tau kalau dia hamil anak Rendra, tapi tetap aja Rendra menyangkal bahwa itu bukan anak dia." Ujar Sabil penuh sesal karena tidak bisa menegur sahabatnya berbuat salah.
"Kondisi seperti ini, kamu mau bantu apapun akan terkesan salah bil. Biar Marian jadi perempuan dewasa, biar dia yang selesaikan masalahnya sendiri. Kamu jangan jadi penonton ataupun coba masuk ke dalam lingkaran Marian dan Rendra, itu masalah mereka, yang penting sebagai sahabat kamu udah mengingatkan yang baik buat Marian. Selebihnya itu urusan mereka." Ucap Yunus.
Sabil menghembuskan nafasnya kasar sambil bersandar pada bangku plastik yang sedang ia duduki.
"Jangan bilang-bilang mamah bang. Karena bagaimanapun Marian adalah sahabat aku. Dan aku tidak punya teman selain dia." Ucap Sabil.
"Iya. sekarang kita pulang ya."
Sabil pun mengikuti arahan abangnya. Mereka pulang menggunakan mobil mereka masing-masing. Sesampainya di rumah, Sabil langsung masuk kamar dan segera istirahat.
Ucapan Yunus ada benarnya bagi Sabil, sebab sebelum Marian mengalami musibah seperti itu, ia sudah mengingatkan bahwa sikap Marian dan Rendra dalam pacaran sudah tidak wajar. Namun apa daya, perkataan Sabil hanya seperti angin lewat tanpa menyisakan jejaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments