2| Kebersamaan dengan Yunus

Bel pulang pun telah di bunyikan, seluruh siswa-siswi SMAN Nusantara berhamburan keluar kelas. Sabil berjalan pelan menelusuri koridor sekolahnya untuk sampai di perpustakaan, hampir setiap hari ia meminjam buku di perpustakaan sekolahnya. Bahkan terkadang ia selalu membuat sang penjaga kesal karena selalu datang di saat dia hendak menutup perpustakaan itu dan kembali ke rumah.

Awal mula mungkin Mbak Eni terus-menerus menahan emosinya atas sikap salah satu siswi di sekolah tersebut, tetapi lama kelamaan ia sudah terbiasa dengan gaya peminjaman buku yang dilakukan oleh Sabil, dan mbak Eni juga akan menunggu selama 15 menit setelah bel pulang di bunyikan untuk menyambut kedatangan Sabil.

Senyuman ramah terpancar di wajah Sabil, menunjukkan bagaimana ia dengan mudah bersosialisasi dengan anak sebayanya, bahkan ia juga menjadi idola para adik kelasnya terutama kaum Adam. Menurut mereka selain cantik, Sabil tidak sombong, dan tidak pernah merasa dirinya lebih cantik dengan yang lain, padahal sudah terbukti jelas bahwa Sabil adalah siswi tercantik di sekolahnya.

"Mau ke mana kak?" Pertanyaan seperti itulah setiap kali Sabil berpapasan dengan para adik kelasnya.

"Perpustakaan. Mau ikut?" Jawab Sabil dengan senyuman yang tidak pernah hilang dari paras cantiknya.

"Nggak ah kak, makasih. Gak suka baca, hehehe." Sahut salah seorang dari mereka.

"Yaudah kalau gitu saya ke sana dulu ya."

Mereka pun mengiyakan ucapan Sabil dan mempersilahkan kakak kelasnya itu lewat di hadapan mereka.

Sesampainya di perpustakaan, Sabil langsung mencari mbak Eni yang sedang membereskan buku-buku sejarah Islam. Sabil pun berjalan dengan sangat pelan dan mengagetkan mbak Eni.

"Kau lagi! Selalu buat aku terkejut setiap kali ketemu dengan kau!" Kata Mbak Eni menunjuk wajah Sabil seolah-olah dia sedang kena marah oleh gurunya.

"Hehehe, maaf." Sabil memamerkan cengiran kudanya dan mengembalikan beberapa buku yang ia pinjam 3 hari lalu.

"Ada buku baru mbak?" Tanya Sabil melihat-lihat judul buku sejarah Islam.

"Buku tentang astronomi?" Mbak Eni bertanya balik.

"Sejarah peradaban Islam." Gumam Sabil memegang buku tersebut.

"Itu buku buat anak-anak kelas X, tapi sampai berdebu kayak gitu cuma bisa di hitung jari yang mencari bukunya." Ujar Mbak Eni.

Sabil hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan mbak Eni. Ia duduk di bangku yang tidak jauh dari pandangan mbak Eni sambil membawa buku tersebut.

"Mbak Eni." Panggil Sabil.

"Iya?" Mbak Eni berjalan menghampirinya dan duduk di depan Sabil, menunjukkan betapa antusiasnya dia ingin tahu pertanyaan seperti apa yang akan di ajukan oleh gadis berusia 17 tahun itu.

"Bulan pernah terbelah ya?" Tanya Sabil.

Mbak Eni langsung mengernyitkan dahinya.

"Kau tau darimana?" Mbak Eni bertanya balik.

"Aku pernah baca di salah satu buku yang mengatakan bahwa ada goresan di antara bulan itu. Makanya aku tanya ke mbak Eni, apa ada hubungannya dengan peradaban Islam?" Jawab Sabil begitu ingin tahu jawaban dari mbak Eni yang sudah ia anggap sebagai teman curhatnya.

"Buku yang kau bawa ini adalah zaman peradaban Islam sebelum Nabi Muhammad Saw di utus sebagai rasul. Zaman bagaimana gambaran Arab terdahulu, tapi kalau yang ini adalah setelah di utusnya Nabi Muhammad sebagai rasul." Ujar Mbak Eni.

"Coba aku lihat."

Mbak Eni memberikan buku yang baru saja ia bersihkan dari debu.

"Terusannya ya?" Tanya Sabil.

"Iya. Tapi ada yang satu buku sudah menjelaskan semuanya. Tapi bukan tentang bulan terbelah." Jawab Mbak Eni.

"Masih tentang Islam kan?"

"Iya."

"Boleh aku pinjam?"

"Sayangnya sudah dipinjam sama Aisyah."

"Aisyah?"

"Kau tidak tau Aisyah?"

Sabil hanya menggeleng pelan.

"Kalau sudah ketemu dia, belajar Islamlah dengannya." Suruh Mbak Eni.

"Boleh." Ucap Sabil.

Drrrttt... Drrrttt...

"Sebentar ya mbak." Sabil agak menjauh untuk mengangkat telepon dari abangnya.

"Ada apa bang?" Tanya Sabil.

"Assalamu'alaikum." Suara laki-laki dari seberang sana.

"Wa'alaikumsalam. Ada apa sih?"

"Pasti lupa ya? Mobilku lagi di bengkel dan hari ini aku minta jemput kamu di kampus."

"Astaga! Iya-iya, nanti aku segera ke sana." Sabil langsung menutup teleponnya.

"Ada apa bil?" Tanya Mbak Eni.

"Aku harus pergi mbak, jemput Abang. Oh iya, aku pinjam buku ini ya. Assalamu'alaikum." Jawab Sabil tergesa-gesa.

"Eh, tapi itu kan... Wa'alaikumsalam"

"3 hari lagi aku kembalikaaaan." Teriak Sabil.

Mbak Eni hanya menggelengkan kepalanya melihat siswi seperti Sabil. Gadis itu selain ramah dan juga menjunjung tinggi sopan santun terhadap sesamanya juga orang yang lebih tua dibandingkan dirinya.

Sabil langsung mengendarai mobilnya dan menaruh tas serta buku yang ia pinjam dari perpustakaan di samping tempat duduknya. Dengan kecepatan tinggi ia segera melaju mobilnya menuju kampus Yunus.

Di parkiran kampus abangnya, Sabil sengaja tidak turun dari mobil karena ia malas menjawab basa-basi teman-teman kakaknya yang mencoba untuk mendekatinya dan berharap bisa menjadi kekasih hatinya. Sabil menelepon Yunus namun tidak diangkat, bahkan SMS darinya pun tidak dibalas sejak 5 menit yang lalu.

"Tunggu di depan ruang kelasku aja, aku ada presentasi mendadak. Oke!"

Sabil menggerutu kesal dengan SMS yang ia terima dari kakaknya. Dengan terpaksa ia pun turun dari mobil dan berjalan ke depan ruang kelas Yunus.

Semua mata mahasiswa tidak henti-hentinya memandang Sabil. Bagaimana tidak? Seorang anak SMA dengan seragam yang lengkap masuk ke pekarangan kampus dan mereka tidak tahu sedang apa.

"Cepat keluar! Aku tidak suka tatapan dari mereka!!!"

Send to bang Yunus.

Setelah mengirim pesan pada kakaknya, Sabil duduk dan memainkan ponselnya berharap semua mata mahasiswa tidak tertuju pada dirinya.

Drrrttt... Drrrttt...

Bang Yunus : "5 menit lagi aku keluar. Sabar ya adikku sayang, hahaha."

Sabil menghembuskan nafasnya kasar dan bergumam dengan kesal pada SMS balasan kakaknya.

Tidak ada yang lucu!!! Cepatlah keluar. Please!

Send to bang Yunus.

Tak lama setelah Sabil mengirim pesan lalu terbukalah pintu ruang kelas kakaknya. Namun bukannya Yunus yang keluar malah Ervan, salah satu sahabat kakaknya yang pecicilan dan asal bicara tanpa pandang situasi.

"Abang kamu lagi presentasi." Ucap Ervan.

"Aku udah tau. Tapi aku suruh dia mempercepatnya dan segera pulang." Sahut Sabil.

"Udah sesi tanya jawab doang kok. Kamu nih makin cantik ya bil."

Sabil menatap Ervan tajam dan tidak mau menjawab apapun yang dikatakan oleh dia. Sebenarnya Ervan tidak seperti laki-laki lain yang suka menggoda para wanita cantik. Ervan memang pecicilan namun dia tidak pernah lupa untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Sabil merasa iri dengan kakaknya karena di kelilingi oleh teman-teman yang mengerti agama seperti dirinya, sehingga jika Yunus salah maka ada yang menegurnya. Sedangkan Sabil, ia hanya bersahabat dengan Marian yang setiap kali ia berbuat salah tidak mendapat teguran apapun dari sahabatnya itu, dan ia selalu berharap memiliki sahabat yang mengajarkan Islam kepadanya.

"Mau masuk?" Tanya Ervan pada Sabil yang sejak tadi tidak menjawab setiap kali ia ajak bicara.

Sabil hanya menggelengkan kepalanya lalu melirik Ervan yang berjalan masuk ke dalam ruang kelasnya lagi.

15 menit kemudian pintu ruang kelas Yunus terbuka lebar, seluruh mahasiswa-mahasiswi keluar tanpa terkecuali. Sabil yang sejak tadi termenung dan melamun tidak sadar bahwa kakaknya sudah berada di hadapannya.

"Apa aku harus membelikan segudang cokelat biar adikku ini gak marah lagi." Ucap Yunus membuyarkan lamunan Sabil.

"Kau nih lama sangat, penat aku menunggu kau!" Sahut Sabil menirukan gaya mbak Eni.

"Hahaha, gaya bicara siapa itu?"

"Mbak Eni, penjaga perpustakaan di sekolah." Jawab Sabil.

"Boleh abangmu ini bertemu dengannya?"

"Dia sudah punya suami dan anak satu berumur 4 tahun."

"Astaghfirullah. Kalau begitu cari perempuan lain aja."

"Dan kita pulang sekarang! Atau aku jadi bahan tontonan mereka!" Ujar Sabil melirik mahasiswa yang lalu lalang.

Yunus hanya tersenyum melihat tingkah adiknya yang begitu gerah setiap kali ada laki-laki yang menatapnya lalu tersenyum padanya dengan senyuman genit dan hendak merayunya.

"Assalamu'alaikum, Yunus!"

Kedua kakak beradik itu pun menoleh ke belakang dan melihat siapa yang memberikan salam kepadanya.

"Wa'alaikumsalam, Aslam? Kau Aslam?!" Yunus tampak terkejut memandang laki-laki yang tengah tersenyum kepadanya.

"Iya, ini aku Aslam sahabat SD kau dulu." Jawab laki-laki tersebut mendekati Yunus.

"Masya Allah! Sedang apa kau di sini?" Tanya Yunus lalu memeluk sahabat karibnya itu.

"Aku kuliah di sini juga, kau terlalu sibuk sampai-sampai tidak pernah bertemu walaupun satu kampus." Jawab Aslam.

"Oh ya?! Aku tidak pernah lihat kau lam." Ujar Yunus.

"Hehehe, sebenarnya aku baru pindah nus." Kata Aslam cengengesan.

"Oh, kupikir kau akan pergi ke Mesir sama seperti sepupu kau."

"Ehem." Sabil berdehem karena merasa diacuhkan oleh abangnya.

"Oh iya Aslam, kenalkan dia Sabil. Adikku." Ujar Yunus memperkenalkan Sabil kepada sahabatnya.

"Sabil." Namun uluran tangan Sabil tidak dibalas oleh Aslam karena bukan mahramnya. Dan Sabil mengerti dengan hal itu, memang seharusnya seorang muslim laki-laki harus seperti Aslam.

"Aslam." Ucapnya dengan kedua telapak tangannya di rapatkan dan di taruh di depan dada. Sehingga Sabil pun langsung menarik uluran tangannya dan mengikuti Aslam.

"Mampirlah lam ke rumah. Rindu aku ini." Ujar Yunus sambil merangkul sahabatnya.

"Insyaallah aku akan berkunjung ke rumahmu. Oh iya, ini alamat rumahku, kau datanglah kalau ada waktu." Balasnya, memberikan kartu nama kepada Yunus.

"Insyaallah aku akan datang ke rumah kau, kalau begitu kami pulang dulu lam, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatu."

Di perjalanan menuju pulang Sabil tidak banyak bicara dengan abangnya karena terlalu fokus menyetir, sampai-sampai ia tidak sadar bahwa abangnya sedang asik baca buku yang ia pinjam di perpustakaan.

Yunus melirik adiknya sebentar lalu kembali baca lagi. Hingga akhirnya ia bertanya dengan adiknya itu darimana dia dapat buku yang sedang ia pegang.

"Kamu tau ini buku apa?" Tanya Yunus.

"Aku pinjam dari perpustakaan sekolah. Aku belum baca jadinya tidak tau." Jawab Sabil.

"Kamu tuh kalau pinjam buku jangan asal ambil dong, pahami isi dan maknanya. Yang kamu ambil ini kisah Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad." Ujar yunus.

"Oh ya? bagus dong kalau begitu. Aku bisa ambil kisah dari seorang Khadijah." Ucap Sabil.

Yunus menarik nafas dalam-dalam sambil memandangi adik semata wayangnya. "Mamah tau kamu sering baca buku tentang Islam, Nabi, serta sahabatnya?"

Sabil menggeleng pelan.

"Aku tau keinginan kamu buat belajar Islam itu besar sekali, tapi kamu juga tau apa resikonya kan, apabila mamah tau semuanya."

Sabil menghentikan mobilnya di pinggir jalan sebentar lalu memandang abangnya dengan serius.

"Aku berhak kan belajar Islam? Dan kadang aku iri sama kamu bang, sejak kecil udah diajarin Islam sama papah. Sedangkan aku, aku harus mencari buku-buku tentang Islam sendiri dengan cara sembunyi-sembunyi. Aku udah tau resikonya, makanya aku semangat untuk mempelajarinya." Ucap Sabil.

Perkataan Sabil membuat tenggorokan Yunus tercekat, ia tidak menyangka bahwa adiknya mempunyai keinginan yang luar biasa.

"Biar abang yang nyetir."

"Tidak usah aku bisa sendiri."

Mendengar suara adzan Zuhur Sabil langsung mencari masjid atau musholla untuk abangnya menunaikan shalat.

"Udah masuk Zuhur bang, shalat dulu, aku tunggu di mobil." Ucap Sabil pelan.

"Kau tidak shalat?"

"Aku lupa bacaannya." Jawab Sabil pelan dengan menundukkan wajahnya.

"Nanti abang ajarkan." Ucap Yunus keluar dari mobil.

Dari dalam mobil Sabil memandang abangnya yang hendak melaksanakan shalat, bahkan ia juga melihat banyak warga yang datang untuk menjalani kewajibannya terhadap Tuhan.

Sambil menunggu Yunus, akhirnya Sabil membaca buku Khadijah. Lembar demi lembar ia baca dengan serius, Sabil merasa begitu tertarik dengan sosok wanita yang sedang ia baca, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya tahu siapa Khadijah seperti para muslimah lainnya yang pasti jauh lebih tahu sosok Khadijah dibandingkan dengan dirinya.

Baru sebentar Sabil membaca, tiba-tiba saja ia berkeinginan untuk menjadi seorang Khadijah. Sabil merasa senang dan bahagia setiap membaca buku tersebut. Ia memang selalu masuk ke dalam dunia buku yang sedang ia baca, namun kali ini lain halnya, sebab ia merasa sangat-sangat ingin sekali kenal lebih dalam sosok Khadijah.

Suara bantingan pintu mobilnya mengagetkan Sabil. Ia menoleh ke samping yang ternyata Yunus telah selesai shalat.

"Abang yang nyetir ya, aku mau baca dulu." Sabil menunjukkan buku Khadijah pada Yunus.

"Oke."

"Makasih abang."

"Sama-sama."

Yunus pun memacu mobilnya untuk pergi dari masjid yang ia singgahi untuk shalat.

"Bang Yunus mau punya istri seperti Khadijah?" Tanya Sabil melirik abangnya.

"Memangnya ada?" Yunus bertanya balik sambil tersenyum pada Sabil.

"Sepertinya tidak ada. Tapi setidaknya akhlaknya hampir mendekati."

"Maulah. Tapi, kalau abang punya calon istri seperti itu, berarti abang harus membenarkan akhlak abang ini."

"Iyalah. Bukankah jodoh kita itu cerminan diri kita sendiri?" Ucap Sabil.

"Belajar di mana bisa tau kata-kata itu?"

"Mbak Eni yang bilang."

"Udah sampai, taruh buku Khadijah di dalam tas abang."

"Iya." Sabil segera menaruh bukunya di dalam tas Yunus lalu keluar dari dalam mobil dan menghampiri mamahnya yang sedang duduk di teras rumahnya.

"Masuk yuk mah, panas." Ajak Sabil pada mamahnya yang sengaja menunggu kepulangan dirinya.

"Mamah udah siapin makan siang kesukaan kamu bil." Ucap Kristiani, mamahnya Sabil.

"Oh ya? Waw! Pasti enak." Sahut Sabil berjalan ke ruang makan.

"Kamu tidak makan Yunus?" Tanya Kristiani pada anak sulungnya yang hendak masuk ke dalam kamarnya.

"Aku puasa mah." Jawabnya, menghentikan langkahnya sejenak.

"Oh ya sudah. Nanti buka mau mamah masakin apa?" Tanya Kristiani lagi.

"Tidak perlu repot-repot mah, nanti aku buat sendiri." Jawab Yunus tersenyum lembut.

"Baiklah kalau memang itu mau kamu." Ujar Kristiani.

"Aku masuk ke kamar dulu mah."

"Iya."

"Sekolah kamu bagaimana bil? Lancar?" Kini perhatian Kristiani pindah pada Sabil yang sedang menyantap makan siangnya.

"Lancar mah." Jawab Sabil.

"Besok mamah ada kerjaan di luar kota selama satu Minggu, jadi keperluan kamu semuanya akan di urus bi Sumi, atau mamah akan suruh Tante Risti untuk menjaga kamu." Ucap Kristiani.

"Aku diurus bi Sumi ajalah mah, lagian aku kan udah besar tidak perlu suruh Tante Risti yang datang ke sini." Sahut Sabil mencoba santai saat tahu mamahnya pergi tugas. Padahal di dalam hatinya ia merasa senang karena selama satu Minggu nanti ia bebas untuk membaca buku apa saja, dan di mana saja tanpa takut ketahuan oleh mamahnya.

Kristiani berpikir sejenak sebelum akhirnya menyetujui keinginan putrinya.

"Bagaimana kelas agamamu?"

"Kelas agama?" Sabil bertanya balik, sebab sudah 4 kali pertemuan Sabil tidak masuk ke kelas agama. Justru ia memilih untuk duduk di antara para murid yang beragama muslim dan mendengarkan sedikit ceramah yang diberikan oleh para ustadz atau ustadzah yang datang ke sekolah.

"Iya kelas agama kamu?" Tanya Kristiani lagi.

"Oh iya, lancar mah, lancar, hehehe." Jawab Sabil.

"Tidak ada rahasia yang kamu sembunyikan?" Tanya Kristiani curiga kepada sikap anaknya yang tampak gugup saat ditanya mengenai sekolahnya.

"Tidak ada. Semua rahasiaku ada pada mamah." Jawab Sabil tersenyum manis.

Dengan pakaian yang sudah rapih Yunus keluar kamarnya dan mengajak Sabil untuk keluar rumah. Sebenarnya itu adalah salah satu cara agar Sabil terlepas dari pertanyaan kelas agama yang mamahnya inginkan.

Di dalam mobil Sabil mendengus kesal karena diajak main ke rumah teman Yunus yang baru saja ia kenal beberapa jam lalu. Bukan kesal karena Sabil takut tidak bisa berteman baik dengannya, melainkan ia kesal karena seragam putih abu-abu masih melekat pada dirinya dan membuat tubuhnya lengket akibat keringat.

Selagi masih ada mamah di rumahnya, saat itu pula Sabil dan Yunus akan selalu bersama ke mana pun mereka pergi selalu berdua. Apalagi jika sudah menyangkut obrolan mengenai agama, maka mereka memilih untuk diam tidak berkomentar apapun dengan semua yang dikatakan oleh mamahnya.

"Malu aku diajak main tapi belum mandi, dan setidaknya izinkan aku buat ganti baju sekolah dulu bang." Keluh Sabil pada abangnya yang sejak tadi tidak menanggapi ucapannya.

Yunus menghela nafasnya, "aku tidak ajak main kamu. Aku cuma minta antar, setelah itu kamu pulang sendiri." Ucapnya.

"Apa?!"

"Jangan ngambek gitu dong, nanti kamu mandi di pemandian umum ya."

"Tidak usah. makasih!" Sahut Sabil dengan wajah cemberut dan hanya dibalas dengan suara tawa abangnya.

Yunus turun lebih dulu dari mobil setelah sampai di rumah Aslam. Sedangkan Sabil, ia menunggu kawan lama kakaknya membukakan pintu rumahnya. 3 kali Yunus mengucapkan salam, keluarlah Aslam sambil memberikan senyuman hangat kepada Yunus.

Sabil keluar dari mobil dan membuat hening perbincangan di antara Yunus dan Aslam.

"Aku tidak akan ganggu kalian." Ucap Sabil saat berada di antara mereka.

"Ada alasan yang ingin ku ceritakan pada kau lam, makanya aku ajak adikku ini." Ujar Yunus.

"Masalahnya umi lagi tidak ada di rumah. Takut fitnah nus." Kata Yunus.

"Buku aku sini." Pinta Sabil, sambil menadang tangan kanannya di depan Yunus.

"Nih." Yunus memberikan buku Khadijah pada adiknya.

"Kalian masuklah, biar aku tunggu di teras rumah." Sabil berjalan ke bangku dan mulai membuka halaman terakhir bacaannya.

Lagi-lagi Yunus dibuat kagum pada adiknya, ia tidak menyangka kalau Sabil akan mengerti norma-norma dalam Islam. Bahkan yang membuatnya berdecak kagum adalah Sabil sudah tidak mengeluh banyak aturan, ribet, dan lain sebagainya setiap kali ikut main dengan abangnya.

"Akan ku suruh Aslam membuatkan minuman jus apel untuk kamu." Ucap Yunus mendekati adiknya.

"Air putih sudah cukup bagiku." Sahut Sabil tanpa menoleh dari bukunya.

"Oke." Yunus langsung pergi meninggalkan adiknya dan segera membawa segelas air putih lalu ia letakkan di meja.

"Kau yakin berada di sini?" Tanya Yunus.

Sabil mengenal nafas dan memandang wajah kakaknya. "Aku tidak mau keluarga kawan mu menjadi gosip di luar sana cuma gara-gara aku masuk ke dalam mengikuti abangku."

"Nanti kalau orangtuanya Aslam udah pulang, kamu masuk."

Sabil mengangguk mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Yunus.

...***...

"Kamar yang bersih dan nyaman buat aku nginep di sini, hehehe." Kata Yunus melihat-lihat kamar Aslam.

"Kau mau seminggu atau 2 Minggu berada di rumahku, itu tidak jadi masalah nus. Pintu rumahku terbuka lebar untuk kawanku." Sahut Aslam.

"Bagaimana kabar Anisa? Setelah lulus sekolah SMA, aku tidak tau lagi kabar kalian?" Tanya Yunus.

Aslam duduk dengan tenang sambil mengingat sosok perempuan bernama Anisa. Ada raut kesedihan terpancar dari kedua bola mata Aslam, namun dengan cepat ia sadar kalau itu semua hanyalah masa lalunya.

"3 tahun yang lalu, semua persiapan untuk pernikahanku dengan Anisa sudah siap semua nus. Namun Allah berkehendak lain, saat aku hendak mengucapkan ijab Qabul. Anisa meninggal, dia meninggal dengan tenang. Dan aku berharap dia menjadi bidadari surga." Jawab Aslam.

"Inalillahi wainailaihi rojiun. Maaf lam."

"Tidak apa-apa. Oh iya, kita ngobrol di luar aja, supaya adik kau tidak sendirian."

"Kalau kita keluar, dia akan merasa kalau dirinya jadi pengganggu aku dan kawannya. Jadi, biarin aja dia di luar."

"Sabil seorang muslimah?" Tanya Aslam.

"Iya. Tapi untuk dirinya sendiri." Jawab Yunus.

"Maksud kau?" Aslam tidak mengerti dengan pembicaraan Yunus padanya.

"Adikku merasa iri karena melihatku tumbuh sejak kecil hingga dewasa sudah mengenal Islam yang diajarkan oleh papah. Sedangkan dia, dia harus mencari buku-buku tentang Islam lalu membacanya diam-diam."

"Kenapa seperti itu?" Tanya Aslam.

"Mamahku ingin Sabil menganut agama yang sama dengannya, mau tidak mau Sabil menuruti kemauan mamah, meskipun dia selalu bilang, kalau dia hanya pura-pura di depan mamah. Padahal aku kagum dengan dia karena keingintahuannya tentang agama Islam." Jawab Yunus.

"Kenapa tidak kau yang mengajarkannya?"

"Aku satu atap dengannya. Dan sudah pasti akan ketahuan oleh mamahku. Kau ada cara lain?"

"Apa Sabil punya kawan di sekolah?"

"Marian. Dia non-muslim."

"Kawannya yang muslim?"

Yunus menggeleng pelan.

"Sabil harus punya kawan muslimah di sekolah, karena dengan begitu dia bisa belajar sambil mempraktekkannya. Kita do'akan semoga Sabil segera mendapatkannya dan mamah kau mendapat hidayah Allah."

"Aamiin."

Saat Sabil sedang asyik membaca tiba-tiba saja ada mobil yang masuk ke dalam pekarangan rumah Aslam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Balas Sabil menaruh bukunya di atas meja.

"Ada tamu rupanya. Nama kamu siapa nak?" Tanya umi Sarah, Ibunda Aslam.

"Sabil Tante."

"Kawan Aslam?"

"Emm... Aku tunggu abangku sedang ngobrol di dalam sama bang Aslam." Jawab Sabil gugup.

"Perkenalkan saya Abi nya Aslam, Dan ini umi nya"

"Panggil kami umi dan Abi ya nak." Ucap umi Sarah dengan lembut.

Sabil mengangguk pelan. Tiba-tiba saja ada desiran di hati Sabil saat ia disuruh memanggil orangtua Aslam dengan panggilan umi dan Abi. Sabil merasa nyaman mengatakan itu, dari sekian banyak panggilan, kedua panggilan itulah yang menjadi favoritnya untuk hari ini dan seterusnya.

"Abi ke dalam dulu ya menemui Aslam dan juga abangmu."

"Iya Abi." Ucap Sabil.

Umi Sarah duduk di samping Sabil sambil memandang wajah cantiknya, namun kini pandangannya berpaling pada buku Khadijah yang sedang dibaca oleh anak remaja itu.

"Kamu suka Khadijah?"

"Suka umi. Beliau, emm.. beliau, perempuan pertama yang memantapkan iman Islamnya di dalam dirinya hingga sampai kepada kita. Beliau juga yang menjadi perempuan dibalik layar suksesnya Nabi Muhammad menyebarkan agama Islam." Jawab Sabil dengan penuh kehati-hatian. Ia takut salah jawab karena baru pertama kali ia membaca buku Khadijah.

Mereka berbincang-bincang mengenai kehidupan Khadijah, sejak sebelum menjadi istri Nabi Muhammad SAW sampai berumahtangga dengan beliau. Uminya Aslam pun bercerita tanpa lelah, bahkan senyuman ramah yang selalu terlihat di wajahnya.  Tak berapa lama mereka berbincang-bincang, Yunus pun keluar rumah untuk mengajak pulang adiknya.

Hari itu Sabil merasa bahagia bisa bertemu dengan kedua orangtua Aslam. Ada rasa tenang pada dirinya saat berada di dalam keluarga itu. Baru pertama kali Sabil bertemu dan ia sudah menyukai kedua orangtua Aslam.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Aslam, Sabil hanya diam dan terkadang senyum sendiri jika mengingat obrolan dengan uminya Aslam. Yunus pun membiarkan senyuman adiknya itu menempel di wajahnya, ia diam tidak bertanya apa alasannya karena ia tidak mau mengacaukan suasana hati Sabil hari itu.

Kebersamaan mereka hanya dihabiskan dengan cara seperti itu, main ke rumah teman Yunus atau jalan-jalan ke mall hanya untuk membeli perlengkapan sekolah dan kampus. Kakak beradik itu sangat bahagia menghabiskan waktu mereka dengan cara mereka sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!