4| Hiburan Malam

Setiap kali Sabil ke sekolah, ia melihat Marian sudah tidak seperti dulu lagi. Marian yang dulu jahil dan iseng kini menjadi seorang perempuan pendiam dan tidak banyak tingkah. Semua teman-teman di kelasnya merasa senang melihat perubahan Marian seperti itu, karena mereka tidak diganggu lagi olehnya. Sedangkan Sabil merasa kasihan pada sahabatnya, itu bukanlah sifat Marian yang ia kenal, akibat masalah yang sedang dihadapinya sehingga membuat Marian menjadi seperti itu.

Sabil mencoba untuk mendekat dan bertanya pada Marian, namun dia menjauh dan meninggalkan Sabil. Entah apa yang dirasakan oleh Marian sampai-sampai tega menghukum dirinya sendiri.

Bel istirahat berbunyi, secara diam-diam Sabil mengikuti Marian dari belakang, ia hanya ingin tahu apa yang dilakukan oleh sahabatnya itu setelah beberapa hari ini tidak pernah bicara banyak pada orang lain.

Kedua mata Sabil melotot tidak menyangka melihat Marian yang tengah berdua dengan Rendra. Bahkan ia melihat Marian meminta pertanggungjawaban atas perbuatan Rendra kepadanya. Sabil mendengarkan pembicaraan di antara mereka sampai-sampai ia tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk menolong Marian.

Saat Marian hendak pergi ke kantin dan meninggalkan Rendra di belakang sekolah, ia pun segera mengikutinya lagi.

"Marian, Marian!" Panggil Sabil lari supaya bisa mensejajarkan jalannya.

"Ada apa?" Tanya Marian melihat sahabatnya itu sedang mengatur nafasnya.

"Ada yang mau gue tanyain sama lo. Tapi lebih enak sambil makan bakso yuk." Jawab Sabil meraih tangan Marian. Namun tolakan yang ia dapat, belum pernah satu kali pun Marian menolak uluran tangan Sabil.

"Yuk." Ucap Marian berjalan lebih dulu.

Sabil hanya memandang punggung Marian yang semakin lama menjauh dari pandangannya.

Saat pesanan bakso mereka datang tiba-tiba Marian muntah-muntah sehingga menjadi pusat sepasang mata siswa-siswi yang sedang memakan santap makanannya.

"lo sakit an?" Tanya Sabil dengan suara pelan.

Marian menggeleng lalu menenggak jus jeruk pesanannya.

"lo udah tau semuanya ya bil?" Marian bertanya balik sambil memandang sahabatnya itu.

"Tau apa?" Sabil tidak mengerti dengan pertanyaan Marian.

"Pura-pura bego deh! gue tau tadi lo nguping obrolan gue sama Rendra." Ujar Marian.

"Jadi, lo hamil an?" Bisik Sabil.

Marian mengangguk pelan, sangat pelan seolah ia tidak mau merasakannya.

"Terus sekolah lo gimana? Rendra mau kan nikahin lo?"

"gue tetap sekolah kok, tapi kalau udah buncit gue berhenti, nanti gue terusin lagi kalau udah lahiran. Dan masalah Rendra, dia gak mau tanggungjawab! dia bilang anak ini bukan perbuatan dia." Jawab Marian menjelaskan.

"Apa? dia gila an! Gimana bisa lo ngelahirin anak tanpa suami! Lo harus tuntut dia!" Sabil marah-marah mendengar jawaban Marian tentang ucapan Rendra pada dia.

Marian menghela nafas panjang. "Gue terima semua resikonya bil. Gue juga gak bisa asal tuntut dia karena yang gue lakukan atas dasar suka sama suka."

Sabil benar-benar merasa dicampakkan melihat sahabatnya mengalami hal yang tidak pernah sedikitpun ada di pikirannya sama sekali. Ia baru sadar mungkin inilah yang dikhawatirkan oleh Yunus terhadap dirinya dan Tio, walaupun Sabil berpacaran sewajarnya tetapi tetap saja tidak mengurangi rasa cemas yang berada pada diri Yunus.

Kejadian yang dialami oleh Marian, membuat Sabil takut akan pacaran, tetapi ia juga tidak tahu harus melakukan hal seperti apa. Kalau ia putuskan Tio melalui telepon itu tidak etis rasanya, bahkan Sabil juga tidak mau mengganggu Tio yang sedang sekolah di luar negeri. Meskipun jika liburan sekolah Tio datang menemui Sabil, ia juga tidak tahu apa alasan yang pas untuk mengakhiri hubungannya.

"Bil, nanti malam temani gue ya." Ucap Marian.

"Ke mana?" Tanya Sabil.

"Diskotik." Jawab Marian tersenyum sumringah.

"lo mau ngapain ke sana an?" Tanya Sabil.

"Kenapa sih setiap kali gue minta temani, lo banyak banget nanyanya!"

"An, gue takut kalau lo ke sana, nanti lo minum-minum, itu kan gak bagus buat kandungan lo."

"Emang itu alasan gue bil."

"Jadi maksud lo, lo sengaja mau ke sana karena mau gugurin kandungan?!"

"Iya, alasan apalagi yang harus gue dengar dari lo bil?" Tanya Marian.

"An, itu dosa. Kelakuan lo dan Rendra aja udah dosa, dan sekarang lo nambah dosa dengan cara gugurin kandungan lo."

"Tau apa sih lo bil tentang dosa! ke gereja aja gak pernah." Cibir Marian.

"Terserah lo an, gue cuma bilang apa yang gue tau, selebihnya itu terserah lo." Sabil berdiri dan pergi dari kantin meninggalkan Marian yang masih berpikiran cara untuk mengugurkan kandungannya.

Di dalam kelas Sabil terus memikirkan Marian, ia tidak mau kalau sahabatnya itu nekad dengan tindakannya. Namun ia juga tidak punya pilihan lagi selain ikut dengan Marian ke diskotik jika memang ia ingin memantau kondisi Marian.

Sambil menunggu jam istirahat selesai, Sabil mengeluarkan buku astronomi. Kali ini ia membacanya tidak dengan konsentrasi karena masih kepikiran Marian. Ia begitu menyayangi sahabatnya sampai-sampai ia tidak mau jika terjadi apa-apa dengannya.

"Sabil." Panggil Nichole menghampiri tempat duduk Sabil.

"Ada apa nic?" Tanya Sabil menutup bukunya.

"Maaf kalau aku sok tau, tapi aku mau tanya satu hal sama kamu, boleh?"

Sabil mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti kenapa Nichole begitu hati-hati berbicara pada dirinya padahal mereka tidak pernah berantem selama berteman di kelas.

"Boleh. Memangnya ada apa?"

"Nih baca deh." Pinta Nichole memberikan ponselnya pada Sabil.

"Marian, siswi kelas XI A HAMIL!!!" Ucap Sabil pelan lalu memandang wajah Nichole yang meminta penjelasan dari temannya itu.

"Siapa yang ngirim Nic?" Tanya Sabil tidak menyangka kalau rahasia Marian terbongkar, bahkan ia sendiri tidak tahu siapa yang membocorkannya.

"Shela. Makanya aku tanya sama kamu soalnya aku takut kalau itu cuma fitnah yang diberikan sama orang-orang yang tidak menyukai Marian." Jawab Nichole.

"Maaf Nic, gue gak tau." Ujar Sabil menolak jawaban Nichole.

"Yaudah gak apa-apa, aku do'ain kalau itu semua bohong bil."

"Aamiin. Makasih ya Nic."

"Sama-sama bil." Ucapnya.

Semua pasang mata tertuju pada Marian yang sedang berjalan masuk ke tempat duduknya. Tidak terkecuali, sehingga membuat Marian jengkel, apalagi ia melihat ada Nichole di depan tempat duduknya bersama Sabil.

"Minggir lo!" Usir Marian pada Nichole.

"Jangan gitu dong an. Maaf ya Nic." Ujar Sabil pada kedua temannya.

"Kenapa harus minta maaf sih sama dia, emangnya lo punya salah?!" Ucap Marian ketus.

Selama Sabil berteman dengan Marian maka selama itu pula ia selalu tidak enak hati kepada semua teman-teman di sekolahnya yang mendapat cibiran maupun hinaan dari Marian. Ia hanya tidak mau mereka sakit hati lalu menaruh dendam pada Marian akibat ucapan yang terlontar dari mulutnya.

"Nggak kok." Sahut Sabil.

"Mereka ngeliatin gue kenapa sih bil? Oh ya, tar malam jadi ya temani gue ke diskotik."

"Karena lo cantik an." Jawab Sabil berbohong, ia tidak mau membuat sahabatnya malu karena ulahnya sendiri.

"Masa?" Marian tidak percaya dengan jawaban Sabil meskipun dia tidak kalah cantik dengan Sabil dan Nichole.

"Beneran Marian."

"Iya deh. Jadi nanti malam gimana? mau ya? Please." Marian memohon dengan wajah yang dibuat sendu supaya Sabil tidak bisa menolaknya.

"Insyaallah." Jawab Sabil membuka kembali buku astronomi-nya.

"Insya Allah?" Marian heran dengan sahabatnya yang menyebutkan kata "insyaallah", karena setahu dia, kalimat itu hanya dipakai oleh temannya yang muslim.

"Emm... Maksud gue, kalau bang Yunus ngizinin ya."

"Bilangnya juga jangan ke diskotik bil pasti gak boleh."

"Hehehe, iya-iya nanti gue usahain, gue yang ke rumah lo!"

"Siap!"

...***...

Selepas pulang sekolah, Sabil tidak menemukan adanya Yunus di dalam rumahnya bahkan di kamarnya pun tidak ada. Ia berpikir sepertinya abangnya masih di kampus, namun saat telepon rumah berdering Sabil mendengar bahwa banyak sekali orang yang sedang bersama dengan Yunus. Saat Sabil tanya sedang di mana, ternyata abangnya sedang berada di rumah Aslam. Senyuman Sabil terlihat saat Yunus menyebut nama Aslam, tanpa sadar ia tersenyum dan senang mendengarnya setelah cukup lama abangnya tidak pernah cerita tentang sahabatnya itu.

Senyuman Sabil hilang saat mbok Eli menyuruhnya makan siang, dan ia sendiri baru sadar bahwa dirinya senyum-senyum sendiri menerima telepon dari abangnya.

Sambil menyantap makan siangnya, Sabil tidak bisa menolak memikirkan nama Aslam di dalam pikirannya. Ia juga memberanikan diri untuk mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan seorang laki-laki yang memiliki wajah teduh serta suara yang sangat lembut di dengar.

"Bang Aslam." Sabil bergumam sendiri menyebut nama laki-laki yang berhasil membuatnya penasaran.

Dengan rasa gembira Sabil langsung mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan kepada abangnya.

"Bang, boleh aku ke sana?"

Send to bang Yunus.

Sabil sangat berharap bahwa Yunus menyetujuinya dan memperbolehkannya datang ke rumah Aslam.

Bang Yunus  : boleh, soalnya banyak perempuannya juga.

^^^Perempuan? Memangnya boleh kumpul seperti itu?^^^

^^^Send to bang Yunus.^^^

Sabil menaruh dagunya di atas meja sambil menunggu balasan dari abangnya.

Bang Yunus : tugas presentasi dari dosen. Selagi menjaga pandangan, itu tidak masalah. Ke sini aja, di tanyain juga sama umi.

Sabil membaca SMS dari Yunus berulangkali dan memastikan bahwa benar dirinya ditanyakan oleh umi Sarah, ibunda Aslam. Dengan gesit Sabil langsung masuk ke dalam kamarnya, ia ganti pakaian dan memberitahukan kepada seluruh asisten rumah tangganya bahwa ia akan pergi menemui abangnya.

Sesampainya di rumah Aslam, semua mata tertuju pada Sabil yang datang dengan naik ojek online. Ia tidak menyangka kalau perempuan yang berada di rumah Aslam seluruhnya berkerudung, Sabil langsung merasa risih dan malu, bahkan sejenak ia ingin lari dari sana dan meneruskan makan siangnya yang ia tinggalkan begitu saja.

"Perkenalkan dia Sabil, adikku." Ucap Yunus merangkul Sabil yang menampilkan senyumannya dengan terpaksa.

"Hai." Sapa Sabil.

"Hai." Balas mereka semua dengan ramah.

"Kau tau bang, aku ini seakan-akan telanjang jika di sejajarkan dengan kawan-kawanmu!" Bisik Sabil sambil memelototi Yunus.

"Kenapa gitu?" Tanya Yunus pura-pura tidak mengerti dengan ucapan adiknya.

"Abang nih gak bisa lihat ya, cuma aku bang yang berpakaian seperti ini." Ucap Sabil.

Yunus melihat adiknya dari ujung rambut hingga kaki. "Rapih kok! Gak ada rok mini maupun tangtop!"

"Aku gak berkerudung!!!" Ujar Sabil kesal karena Yunus berpura-pura tidak mengerti maksud ucapan adiknya.

"Ada Sabil rupanya, mari nak masuk." Suara umi Sarah memecahkan kekesalan Sabil pada Yunus.

"Iya umi." Sahut Sabil berjalan menghampiri umi.

Di dalam rumah dengan setia Sabil menjadi pendengar yang baik untuk uminya Aslam. Mereka berbincang-bincang tentang masa kecil Aslam bersama dengan Yunus dan beberapa sepupunya dahulu. Sabil benar-benar merasa bahagia sekali sore itu, belum pernah ia merasakannya.

Tak terasa semua teman-teman Yunus dan Aslam sudah pulang satu persatu, sehingga Sabil bisa melihat Aslam masuk ke dalam rumahnya dan menampakkan senyumannya untuk menghormati Sabil sebagai tamu uminya dan juga adik dari sahabatnya.

Sabil melihat ponselnya yang sejak tadi bergetar karena Marian terus-menerus menelepon dirinya namun sengaja ia tidak angkat. Sampai akhirnya Yunus masuk menemui Sabil dan mengajaknya pulang.

"Umi kita pulang dulu ya." Ucap Sabil.

"Iya, kalian hati-hati."

"Iya umi, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatu."

"Bang, nanti malam aku mau main." Ucap Sabil setelah ia masuk ke dalam mobil.

"Malam jam berapa? Dan main ke mana?" Tanya Yunus mulai menjalankan mobilnya, meninggalkan rumah Aslam.

"Ke rumah Marian." Jawab Sabil ragu.

"Main apa ke sana?"

"Boleh atau nggak bang?" Tanya Sabil lagi.

"Tergantung."

"Kok, tergantung sih!"

"Tergantung kamu bohong atau nggak."

"Bang, ini terakhir kalinya aku keluar malam sama Marian."

"Kau tau kan kekhawatiran aku sama kamu itu belum hilang."

"Siapa suruh ikut ke rumah papahnya Marian."

"Bil, semenjak papah meninggal, aku yang menggantikan papah sebagai kepala rumah tangga. Aku yang urus kamu, mantau kamu, perhatiin kamu."

"Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa bang."

"Pilihan yang abang nggak suka."

Sabil menoleh ke arah Yunus, ia tidak mengerti ucapan abangnya itu.

"Satu, kalau aku gak izinkan kamu pergi, kamu akan menekuk wajahmu sampai besok hari. Dua, jika aku memperbolehkan kamu pergi tanpa alasan yang masuk akal, maka aku sama aja melepas kamu ke kandang harimau." Kata Yunus dengan melirik wajah adiknya.

"Jangan pakai ibarat deh bang, udah tentukan aja, aku boleh atau nggak!" Ujar Sabil kesal.

"Kita buat perjanjian."

"Perjanjian apa? Memangnya mau beli rumah harus ada perjanjian segala!"

"Mau pulang jam berapa?" Tanya Yunus serius.

"Aku gak tau."

"Kalau begitu gak boleh keluar."

Sabil mendengus kesal, ia tidak bisa melawan kemauan Yunus serta tidak bisa membatalkan perjanjiannya dengan Marian.

"12 malam." Jawab Sabil datar.

"Itu terlalu malam."

"11?"

"Masih."

"Setengah 11?"

"Masih."

"10?"

"Hampir."

"Oke! Jam sembilan malam aku pulang! tapi sekarang jangan bawa aku pulang ke rumah, tolong antarkan aku ke rumah Marian!!!" Teriak Sabil.

"Deal!!!" Yunus tersenyum melirik adiknya begitu kesal dengan sikapnya.

Sebenarnya sikap Yunus kepada Sabil hanya semata-mata karena ia ingin menjaga adiknya, ia ingin menjaga kehormatan adiknya di saat banyak gadis seusianya yang rela melepas kehormatannya hanya demi laki-laki yang mereka cintai. Yunus juga tidak mau kalau adiknya merasa terkekang oleh sikapnya, semua yang ia lakukan tidak lebih karena ia menyayangi Sabil.

...***...

Club malam bukan lagi menjadi hal baru bagi Marian dan Sabil. Mereka sudah berkenalan dengan diskotik sejak setahun yang lalu, namun beberapa bulan belakangan ini Sabil sadar kalau kelakuannya salah, ia tidak butuh diskotik ataupun minum-minuman beralkohol, tapi yang ia butuhkan hanyalah ketenangan batin. Sehingga Sabil memutuskan untuk memperdalam keislamannya yang menempel pada dirinya, dan hanya ia yang tahu serta abangnya dan papahnya.

Marian berjoged dengan santai dan lenturnya, sedangkan Sabil, ia memilih duduk di bangku bartender sambil meminum orange jus. Sabil ditertawakan oleh beberapa temannya yang sudah mengenal lama dirinya karena pesanan Sabil yang menurut mereka aneh dan tidak cocok untuk diminum di tempat seperti itu.

Tatapan Sabil terus mengarah pada Marian yang sudah setengah sadar akibat menenggak minuman alkohol yang sudah tidak bisa lagi dicegah olehnya.

Sabil memutuskan untuk mengajak pulang Marian karena janji untuk pulang jam 9 malam tidak ia tepati. Namun lagi-lagi Marian menolak ajakan Sabil.

"lo udah gak asik lagi bil! kalau mau pulang yaudah pulang aja sana, gue masih mau di sini!!! dasar anak mamah!!!" Ucap Marian, dengan dirinya yang sudah tidak terkontrol.

Sabil tidak sakit hati ataupun marah karena yang sedang bersamanya adalah perempuan mabuk. Dan menurutnya itu wajar jika Marian bersikap seperti itu kepadanya.

Akhirnya Sabil memutuskan untuk pulang ke rumah sendiri dan meninggalkan Marian sendirian di dalam diskotik. Meskipun Sabil khawatir kepada sahabatnya tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Sekitar pukul 12 malam Sabil sampai di rumah. Seluruh lampu rumahnya sudah mati, dan ia juga berharap kalau Yunus sudah tidur. Sabil masuk ke dalam kamarnya dengan mengendap-endap supaya tidak membuat gaduh sehingga membangunkan abangnya.

"Jam berapa ini?!"

Sabil terkejut lampu ruang tamu menyala dan dibarengi dengan suara laki-laki yang terdengar jutek.

"Eh, bang Yunus, belum tidur?" Sabil menggaruk-garuk kepalanya meskipun tidak gatal, ia hanya salah tingkah melihat abangnya tengah berdiri dan memandang dirinya.

"Janjinya jam berapa bil?" Tanya Yunus.

"Maaf bang, jam tanganku mati." Jawab Sabil menundukkan kepalanya.

"Oh ya? Coba aku lihat." Yunus menarik tangan Sabil lalu melihat jam yang masih melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Ini hidup kok." Ujar Yunus.

"Wah! Hidup lagi, Yeay!" Sabil pura-pura terlihat senang melihat jam tangannya.

"Abang udah percaya kalau kamu akan pulang jam 9, tapi kamu gak pegang kepercayaan abang."

"Bang, aku ini udah besar, jangan diatur-atur terus dong!"

"Karena kamu sudah besar makanya abang tambah khawatir."

"Aku bisa jaga diriku sendiri!"

"Oh, yaudah. Jangan bilang-bilang ke aku kalau mau pergi. Dan harus kamu tau, aku menyayangimu!" Yunus pun pergi masuk ke dalam kamarnya. Ia juga tidak bisa pungkiri kalau sisi remaja Sabil dengan sifat yang tidak mau dikengkang akan keluar dan merengek kepadanya.

Di dalam kamar Sabil menyesal telah mengatakan seperti itu kepada Yunus. Ia tahu bahwa sampai kapanpun ia menjadi tanggungjawab abangnya. Sabil juga merasakan betapa sayangnya Yunus kepada dirinya, seharusnya ia bersyukur karena memiliki abang yang selain tampan, dia juga sangat menyayangi dirinya.

Sabil baru tahu inilah akibatnya jika ia pergi larut malam dan inilah resiko yang ia terima jika tidak bisa menepati janji yang sudah ia katakan kepada abangnya. Sabil keluar kamar dan berharap Yunus belum tidur, namun saat ia membuka kamar Yunus, ia melihat Yunus sudah tidur. Ia pun langsung kembali ke kamarnya dan segera istirahat, berharap besok pagi abangnya melupakan kejadian malam itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!