3| Hikmah

"Mamah berapa lama di Surabaya?" Tanya Yunus.

"Seminggu paling cepat. Besok antar mamah ke bandara ya."

"Iya." Ucap Yunus.

"Kamu mau ikut antar mamah ke bandara?" Tanya Kristiani pada Sabil.

"Hah? Emm... Iya."

"Kamu kenapa bil? Sakit?" Tanya mamahnya dengan lembut.

"Nggak mah, aku lupa kalau besok sekolah, hehehe." Sabil cengengesan pada mamahnya dan hanya mendapat pandangan serius dari Yunus karena sikapnya yang terlihat gugup.

Kristiani menghela nafas melihat sikap anak bungsunya. "Sekolah? Besok kan tanggal merah."

"Masa? Kok, aku gak tau ya."

"Kalau Sabil tidak ikut yaudah tidak apa-apa, biar aku saja yang antar mamah." Kata Yunus.

"Ya sudah." Sahut Kristiani.

Sabil hanya memberikan senyuman tipis kepada mamahnya dan juga Yunus. Semenjak kepulangannya dari rumah Aslam, Sabil merasa ingin balik lagi ke sana, bahkan sampai terpikirkan bahwa ia tidak mau pulang karena kondisi keluarga Aslam yang sangat berbeda dari kondisi keluarganya sendiri.

Di dalam kamar tidur, Sabil memandang langit-langit kamar yang ia dekorasi dengan gambaran bulan, bintang, serta komet 3D yang menghiasi kamarnya. Sejak kecil Sabil memang menyukai dunia astronomi, bahkan dahulu jika ia ditanya tentang cita-cita maka dengan lantang ia ingin menjadi seorang astronot.

Sabil membuka ponselnya yang sejak tadi bergetar di atas meja belajar. Nama Marian terpampang di layar, ia pun segera mengangkatnya dengan rasa malas.

"Halo."

"Bil, bisa antar gue ke rumah bokap besok pagi."

"Loh, emangnya ada apa? Emm... Maksud gue Rendra ke mana?"

"lo pasti gak nyangka bil, Rendra mukulin gue waktu gue putusin dia. gue mau ke rumah bokap, pingin cerita ke bokap biar Rendra di penjara!!"

"Apa! lo dipukulin? Kok bisa? Marian, gue kan udah pernah bilang ke elo jangan berhubungan lagi sama Rendra."

"gue cuma tanya masalah dia sama Nichole. Tapi dia malah menyangkal, terus gue dipukulin sampai memar bil."

Mendengar cerita Marian, ada rasa sesal pada diri Sabil karena sudah memberitahukan tingkah laku Rendra padanya. Tapi sebenarnya mau ia cerita atau tidak, Rendra memang memiliki sikap yang kasar kepada Marian. Itu terbukti sejak SMP, namun kala itu Marian tidak mau ditinggalkan oleh Rendra hanya karena satu alasan, bahwa keperawanannya telah hilang.

Ada isakan tangis yang Sabil dengar dari suara Marian, dan Sabil langsung mencoba untuk menenangkannya agar Marian tidak terlarut dalam kesedihannya dan tidak mencoba melakukan hal-hal di luar nalarnya.

"Mau kan bil, temani gue. Sekali aja, please!"

"Iya, iya an, besok gue jemput lo ya."

"Jam 9 pagi ya bil."

"Iya. Yaudah sekarang lo istirahat, tenangin diri lo ya."

"Iya bil."

Sabil melihat jam dinding pada kamarnya sudah pukul 10 malam, ia keluar kamar dengan mengendap-endap supaya bisa masuk ke dalam kamar Yunus tanpa ketahuan oleh mamahnya, Sabil membuka pintu kamar abangnya dan mendapati Yunus tengah berada di depan laptop.

Melihat adiknya datang Yunus menghentikan tugasnya yang belum selesai ia kerjakan.

"Ada apa?" Tanya Yunus.

"Mobil masih di bengkel ya?" Sabil bertanya balik.

"Iya. Memangnya ada apa?"

"Aku mau pergi."

"Kamu tuh gimana sih, di suruh antar mamah ke bandara tidak mau, tapi malah mau pergi."

"Bang, yang ini lebih penting, menyangkut nyawa orang lain!"

"Maksud kamu tuh apa sih bil?! abang gak ngerti."

Sabil menghela nafasnya. "Marian minta anterin ke rumah papahnya."

"Terus?"

"Dia mau buat perhitungan sama pacarnya karena sudah mukulin dia."

"Astaghfirullah hal adzim, serius kamu?!"

Sabil mengangguk pelan.

"Rendra gak terima bang diputusin." Ujar Sabil duduk di atas kasur abangnya.

"Jangan masuk ke dalam lingkaran mereka, bahaya! Kamu cukup antar aja dan jangan pernah kasih solusi apapun."

"Kau nih gimana sih bang, Marian itu kawanku, masa dia cerita aku cuma angguk-angguk kepala doang."

"Dia cerita karena kesalahan dia sendiri. Lagipula apa yang mau kamu kasih solusi, solusi apa? Tidak ada kan? Diam itu lebih baik bil."

"Justru karena aku Marian kena pukul!"

Yunus memandang adiknya, ia menunggu apa yang akan dikatakan lagi oleh adiknya itu.

"Aku cerita ke Marian kalau Rendra nonton bioskop berdua sama Nichole. Makanya Marian marah pada Nichole dan pacarnya." Lanjut Sabil.

"Jangan merasa bersalah. Karena tanpa kamu cerita, sikap Rendra akan ketahuan juga. Dan rahasia itu pun akan terbongkar semua."

"Tapi bang..."

"Terserah kamulah, aku ini cuma abangmu, kamu mau ikuti apa kataku atau tidak, itu tidak masalah."

"Abang nih kenapa jadi sentimen banget sih! Bang, aku kan cuma jadi pendengar doang, emang salah ya?!"

"Nggak. Yaudah abang lanjut lagi ya."

Sabil mengangguk, lalu keluar dari kamar Yunus yang mulai sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya.

...***...

Sekitar pukul 8 pagi Sabil sudah rapih dan langsung keluar dari kamarnya untuk menjemput Marian yang berada di rumah. Namun ia terpaku saat melihat mamahnya dan Yunus belum berangkat ke bandara. Kristiani memandang anak bungsunya dan meminta penjelasan kenapa Sabil sudah rapih sepagi itu.

"Sabil mau ikut nganterin mah." Ucap Yunus menjawab ekspresi mamahnya.

"Oh." Kristiani langsung masuk ke dalam mobil.

"Pulang dari bandara, aku ikut anterin Marian ke rumah papahnya." Bisik Yunus.

Sabil melotot mendengar perkataan abangnya. Lalu menggeleng cepat untuk memastikan bahwa abangnya tidak perlu ikut dengannya.

"Cepat masuk mobil!" Pinta Kristiani pada kedua anaknya.

Sabil langsung duduk di samping Yunus. Ia hanya diam dan tidak mau memulai obrolan dengan mamahnya dan abangnya. Sesampainya di bandara Sabil mendapat pelukan serta ciuman kening dari mamahnya, dan tidak lupa Kristiani meminta Yunus untuk menjaga adiknya selama dirinya pergi.

Melihat mamahnya sudah menjauh dari pandangannya, Sabil pun segera berjalan ke dalam mobilnya untuk melaju ke rumah Marian. Cukup waktu 10 menit Sabil dan Yunus sampai di rumah Marian yang nampak sepi. Beberapa kali Sabil menekan bel rumah namun tak juga ada yang membukakan pintu gerbang. Sabil pun masuk ke dalam mobilnya lagi dan menunggu Marian keluar, bahkan ia mengirimkan pesan pada Marian bahwa ia sudah berada di depan rumahnya.

"Sabil!" Panggil Marian pelan sambil mengetuk kaca mobil Sabil.

Yunus langsung menyuruh Marian untuk segera masuk ke dalam. Kedua mata Marian dan Sabil saling pandang saat dia tahu bahwa sahabatnya itu membawa abangnya.

"Jadi sopirku hari ini bang." Bisik Sabil pada Yunus lalu pindah ke kursi belakang bersama Marian.

"Tunjukkan jalannya." Ucap Yunus.

"Iya." Sahut Sabil.

...***...

Sabil terkejut saat Marian membuka masker dan tudung jaket yang dia kenakan untuk keluar dari rumah. Saat itu pula kedua mata Sabil tidak berhenti menatap wajah Marian yang memiliki memar di pipinya. Emosi Sabil tersulut melihat sahabatnya diperlakukan seperti itu, Rendra bukanlah suami Marian, tapi kenapa dia begitu tega menyakitinya? Pertanyaan itu muncul setiap kali Sabil melihat air mata Marian yang sudah mengembang di pelupuk matanya.

Dengan rasa simpatik Sabil memeluk Marian dan membiarkan sahabatnya itu nangis di bahunya. Ia tidak mau bertanya apa-apa pada Marian karena luka memar itu adalah jawaban atas semua pertanyaan yang kemarin hendak mampir di dalam pikirannya.

"gue gak apa-apa bil." Ucap Marian melepaskan pelukannya sambil menghapus air matanya.

"lo emang selalu bilang gak apa-apa. Kapan terakhir kali lo bilang kalau lo ada masalah?" Balas Sabil.

Marian tersenyum tipis, "semalam." Jawabnya.

"Bang Yunus apa kabar?" Tanya Marian, ia berusaha untuk tidak larut dalam tangisnya di depan Yunus.

"Alhamdulillah baik an." Jawab Yunus tanpa melirik Marian dari kaca spion mobil sedikitpun.

"Selama mamah gue pergi, dia jadi sopir pribadi gue an." Sindir Sabil.

"Yah gak apa-apalah, abang lo ini." Kata Marian.

Melihat Yunus tersenyum, Sabil hanya menghela nafasnya dan berwajah masam.

"Belok ke mana nih an?" Tanya Yunus.

"Emm... Kanan bang, nanti berhenti di rumah yang bercat biru muda." Jawab Marian.

Setelah satu jam perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah papahnya Marian. Rumah megah namun sunyi itu memang biasa terjadi di rumah-rumah orang kaya seperti papahnya Marian. Dengan penuh hati-hati Marian menekan bel rumah papahnya. Dan seorang satpam membukakan pintu gerbang untuk mereka, lalu terkejut melihat Marian.

"Nona Marian?" Ucap satpam itu.

"Iya pak. Ada papah?" Tanya Marian.

"Ada non. Tuan Andre lagi santai di ruang keluarga." Jawab satpam itu dengan gembira melihat anak majikannya datang.

"Emm... Tante Yuni ada?" Tanya Marian lagi.

"Baru saja keluar, hayu masuk."

"Iya pak. Hayu bil, bang Yunus." Ajak Marian.

Sabil dan Yunus pun mengikuti langkah kaki Marian yang terasa berat untuk memasuki rumah papahnya sendiri. Di salah satu sofa sudah ada seorang laki-laki yang begitu serius membaca koran pagi hari ditemani dengan secangkir kopi.

"Pah." Panggil Marian pelan.

Laki-laki yang dipanggil 'pah' itu langsung melipat koran dan melihat siapa gerangan yang memanggil dirinya.

"Marian?!" Ucapnya terkejut.

"Iya ini aku pah, Marian."

Andre segera memeluk anak semata wayangnya karena merasa sudah lama sekali tidak bertemu dengannya.

"Ayo duduk." Ajak Andre kepada Marian, Sabil dan juga Yunus.

"Pah, aku... aku dipukuli."

"Apa! Dipukuli?! Siapa yang berani pukul kamu?!" Andre marah besar saat tahu maksud kedatangan Marian.

"Rendra pah."

"Rendra?"

Kini Andre hanya diam terpaku, sebab ia tidak menyangka kalau ternyata laki-laki yang sejak SMP sudah ia restui berhubungan dengan anaknya, justru malah membuat anaknya menderita.

"Aku belum lapor polisi pah." Ucap Marian lagi.

"Kenapa sampai seperti ini sih an?" Tanya Andre meminta penjelasan dari anaknya.

"Rendra selingkuh pah, dan aku minta putus, tapi dia gak terima terus mukulin aku sampai memar kayak gini." Marian membuka maskernya.

"Brengsek!!!" Pekik Andre melihat wajah putrinya.

"Kalau kalian sama-sama cinta yaudah nikmatin aja, gak perlu lapor polisi atau malah lapor papah!"

Semua orang yang berada di ruang keluarga memandang ke asal suara perempuan yang baru saja keluar dari kamarnya. Ternyata dia adalah Jessie, saudara tiri Marian.

"Dia tinggal di sini pah?!" Tanya Marian begitu kaget melihat Jessie dan melupakan sejenak masalahnya.

"Iya, kenapa? Merasa terasingkan ya? Bukannya itu yang lo mau, hidup bebas tanpa aturan!!!" Jawab Jessie ketus.

"An, udah ya mending kita pergi aja." Bisik Sabil mencegah emosi Marian yang sudah memuncak.

"gue hidup sendiri karena benci sama lo dan juga nyokap lo!!!" Bentak Marian.

"Kita pulang aja an." Ucap Yunus yang sudah tidak tahan mendengar cacian yang terlontar dari mulut saudara tiri Marian.

"Pulang sana lo! Kalau emang lo hamil, kenapa gak dia aja yang suruh tanggungjawab!!!" Tunjuk Jessie pada Yunus.

Mereka terkejut dengan semua yang dikatakan oleh Jessie. Bahkan tamparan keras dari Andre mendarat di pipi Jessie dengan mulus. Jessie semakin benci dengan semuanya terutama oleh Marian.

Kepergian Jessie ke dalam kamar sambil menangis membuat Sabil dan Yunus merasa tidak enak hati berada di tengah-tengah keluarga Marian.

"Pah, aku pulang ya. kalau memang papah mau interogasi Rendra itu semua terserah papah. Aku cuma mau ngobrol sama papah, aku kangen papah. Tapi maaf pah, aku tidak bisa lama-lama di sini, aku harus pergi." Kata Marian.

Andre langsung memeluk Marian dengan penuh kasih sayang yang ia punya.

"Papah pastikan kalau Rendra tidak akan bisa macam-macam lagi sama kamu." Kata Andre.

Akhirnya mereka semua pergi dari rumah Marian dengan perasaan campur aduk di setiap lubuk hati mereka. Sabil dan Yunus tidak menyangka kalau semua kejadian yang baru saja mereka saksikan begitu berat bagi Marian jika mereka yang mengalaminya. Sedangkan Marian, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hidup sendiri tanpa adanya orangtua di sisinya, ia juga hanya tinggal bersama Mbok Ati yang sudah bekerja sejak Marian masih kecil.

Perjalanan pulang mereka begitu sunyi, seakan semua perkataan mereka hilang terbawa oleh angin. Tidak ada yang memulai untuk bicara, tidak juga ada nasihat yang biasa Yunus berikan untuk adiknya dan Marian.

Setelah mengantarkan pulang Marian, Yunus langsung memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Bahkan Sabil pun tidak mengerti mengapa abangnya begitu tergesa-gesa. Sesampainya di rumah, Yunus langsung mengambil air putih lalu meminumnya sambil duduk di ruang keluarga dengan mulut yang masih terkunci.

"Kenapa bang?" Tanya Sabil ikut duduk di depan Yunus.

"Itu semua resiko yang harus ditanggung oleh Marian." Jawab Yunus.

"Lalu masalahnya apa yang membuat abang jadi pendiam seperti ini?" Tanya Sabil memandang wajah abangnya yang tampak cemas.

Yunus menatap adiknya serius. "Abang tidak mau kalau kamu yang mengalaminya."

"Bang, Tio itu laki-laki baik. Lagipula kalau memang dia main tangan sama aku, pasti sudah aku putusin dari dulu." Ujar Sabil menenangkan kekhawatiran Yunus terhadap dirinya.

"Bil, kamu dan Tio itu beda agama." Ucap Yunus.

"Tapi Tio taunya aku satu agama dengannya."

"Kamu itu..."

"Bang, aku itu sebenarnya terpenjara di dalam rumah ini, aku seperti boneka yang menjadi mainan untuk mamah. Semua yang aku lakukan itu seperti aktris dan mamah adalah sutradaranya." Sabil memotong ucapan abangnya.

"Dalam Islam, Allah adalah sutradara makhluknya. Kita semua, adalah aktor dan aktris di dalam dunia."

"Aku tau bang," Sabil menghela nafasnya. "Bang Yunus pasti menyuruh aku buat ambil hikmah dari masalah Marian kan?"

Yunus mengangguk.

"Kalau pacaran itu kurang lebih akan seperti Marian." Ucap Sabil lagi.

"Iya, walaupun tidak semua, tapi pasti ada yang merasakannya."

Sabil tersenyum pada Yunus, ia merasa sangat beruntung memiliki abang yang luar biasa seperti Yunus. Laki-laki yang begitu menyayanginya meskipun terkadang membuatnya kesal.

"Bil, sampai kapanpun kamu seorang muslimah." Ujar Yunus.

Sabil mengangguk pelan. Ia membenarkan yang dikatakan oleh Yunus, sejak dulu ia memang seorang muslimah namun mamahnya memaksa untuk selalu berada di keyakinan yang sama dengannya.

Bagi Sabil, ia hanya menunggu waktu untuk mengatakan semua yang ada di dalam dirinya dan juga hatinya kepada Kristiani. Apapun yang akan diucapkan dan menjadi keputusan mamahnya ia akan terima dengan lapang dada. Sabil tahu resiko menjadi anak dari orangtua yang berbeda agama, makanya ia hanya menyiapkan semuanya dan biar waktu yang akan menjawab kegundahan hatinya.

Setiap kejadian yang mereka alami semua pasti ada hikmahnya, tinggal bagaimana mereka memandang dan mengerti setiap kejadian tersebut.

Terpopuler

Comments

Dinda Natalisa

Dinda Natalisa

Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.

2021-03-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!