Jennie menitikkan air mata yang sedari tadi tertampung. Sehingga membuat Alvian kembali menoleh ke arah Jennie.
"Kenapa menangis? Apa karena kau mengingat kekasih mu itu memboncengi wanita lain tadi?" tanya Alvian. Jennie menggeleng pelan.
"Lalu?"
"Aku?" Kata-kata Jennie tertahan, ia sangat ingin mencurahkan perasaannya yang sesak itu. Namun rasanya berat. Ia malu untuk mengatakannya pada Alvian. Bagaimana jika Alvian malah menatapnya jijik saat ini, terlebih jika dari telinga Alvian yang mendengarkan, makan mulutnya itu akan menyampaikan semuanya seantero sekolah.
"Katakan saja, mungkin aku bisa memberikan solusi jika memang aku mampu."
Jennie menghela nafas. Menyeka air matanya. "Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah seorang wanita yang hamil di luar nikah, adalah wanita paling rendah dan bodoh di dunia?" air matanya menderas.
"Maaf, pertanyaan mu sedari tadi menjurus ke situ apa kau?"
"Iya." jawab Jennie lirih bahkan hampir tak terdengar.
"Kau sedang?" Alvian menoleh ke kiri dan ke kanan, depan dan belakang. Lalu berbisik. "Hamil?" tanya Alvian. Jennie tertunduk lalu mengangguk pelan.
"Astaga." Desah Alvian. Rasanya lemas mendengar itu dari bibir Jennie. Bagaimana bisa adik kelasnya itu hamil di luar nikah.
"Apa Andi yang melakukannya? Dan ia marah karena kau memberitahunya?" tanya Alvian dengan suara yang pelan. jennie mengangguk. Membenarkan semua dugaan yang di lontarkan Alvian. Sudah tidak bisa lagi menahan air mata yang semakin tumpah sembari menutup mulutnya agar suara tangisnya itu tidak keluar.
Alvian yang di sana bahkan bingung ingin melakukan apa. Ingin menenangkan dengan cara apa sedangkan Jennie semakin terisak. Ia pun memutuskan untuk menenangkan Jennie dengan cara meraih kepalanya lalu membenamkan nya di dada. Itu saja dengan sangat ragu dan pertimbangannya yang sangat lama sampai akhirnya ia berani melakukan itu, menepuk-nepuk bahu Jennie pelan hingga ia tenang, dan tangisnya itu mereda.
Bus terus melaju. Sesaat Jennie tersadar ia mengangkat kepalanya. Lalu menoleh ke kaca samping. "Aku kelewatan halte ku." tutur Jennie merasa bodoh.
"Kita turun lagi saja. Lalu mengambil rute arah balik." jawab Alvian.
Jennie mengusap air matanya. "Apa kak Alvian juga kelewatan haltenya?" tanya Jennie.
'Sebenarnya tidak tapi aku harus mengantarnya sampai ke haltenya.' batin Alvian.
"Iya. Jadi kita turun saja ya." ajak Alvian, Jennie pun mengangguk. Keduanya beranjak mendekat ke arah pintu, menunggu pemberhentian selanjutnya. Setelah berhenti sempurna pintu bus terbuka. Mereka berjalan keluar dari bus itu.
Pandangan Alvian tertuju pada salah satu mini garden tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Jennie haus tidak?" tanya Alvian.
"Se...sedikit." jawab Jennie. Alvian pun menoleh ke kiri dan ke kanan dan menangkap sebuah gerobak asongan. Ia merogoh sakunya.
Uangnya hanya tersisa lima belas ribu rupiah. Jika ia membeli dua botol air mineral ia tidak akan bisa menaiki bus untuk dua kali perjalanan. Ia pun memutuskan untuk menggandeng tangan Jennie mendekati pedagang asongan tersebut.
"Bang, air mineral satu." ucap Alvian, sembari membuka peti penyimpanan minuman dingin. Ia pun menyerahkan uang nominal lima ribuan dan meraih kembaliannya.
"Ini," Alvian mengulurkan air mineralnya.
"Kok cuma satu, buat kak Alvian?"
"Sudah minum saja dulu," titahnya. Jennie kesulitan membuka penutup botol itu. Yang dengan sigap Alvian meraihnya lalu membuka penutup botolnya.
"Terimakasih kak," tuturnya setelah kembali meraih minumannya kembali lalu menenggaknya. Alvian mengamati Jennie meminumnya membuatnya sedikit menelan ludah. Mau bagaimana lagi ia juga haus sebenarnya, dan berharap Jennie menyisakan air mineral itu untuknya.
Sudah habis setengah botol, Jennie telah selesai melepas dahaganya.
"Kau sudah selesai?" tanya Alvian. Jennie mengangguk.
"Aku boleh memintanya berarti?" tanya Alvian.
"Ehh? Maksudnya kak Alvian mau minum di botol yang sama?" tanya Jennie.
"Iya memang kenapa? Apa kau masih mau minum lagi?" tanya Jennie.
"tidak sih, tapi kan kata orang?" Mata Jennie membulat saat Alvian benar-benar meminumnya tepat di bekas bibir Jennie.
Glek glek glek, dan air itu habis. Alvian pun membuang botol kosong itu ke tong sampah.
"Ka... Kak Alvian benar-benar meminumnya?"
Alvian terkekeh, tampang Jennie benar-benar lucu. Ia mengusap kepalanya lembut. "Sudah lupakan masalah air tadi ya. Sekarang jelaskan, apa benar kau sedang mengandung?" tanya Alvian.
Jennie menghela nafas, ya sudah saat nya kembali ke topik awal. "Benar kak." jawabannya.
"Lalu, apa kata Andi?"
"Ia bilang janin yang ada di perut ku bukan anaknya. Ia tidak mau ku ajak menemui orang tua ku kak." tutur Jennie.
"Sudah ku duga, pria itu tidak mungkin mau. Lagian? Kenapa kau mau berpacaran dengannya?" tanya Alvian. "Kau tahu tidak? dia itu predator wanita. Pacarnya tidak hanya kau. Itu yang ku tahu."
Jennie terdiam. "Kala itu aku bertemu kak Andi, berpapasan di depan perpustakaan, dia baru saja mengerjakan tugasnya di sana, dan aku baru mau mengembalikan buku yang ku pinjam"
"Tunggu, mengerjakan tugas? Orang seperti Andi? Aku rasa dia sedang di hukum di perpustakaan itu. Tapi lupakan saja, lalu?"
"Emmm dari situ kami berkenalan. Ia tidak jadi keluar perpustakaan, ia malah menemaniku membaca buku baru yang ku ambil dari rak. Ia terus mengamati ku bahkan tanpa berkedip. Saat aku bertanya apa yang sedang ia lakukan? Karena aku mulai risih dengan tatapannya itu. Ia hanya menjawab kalau aku sangat cantik, bahkan mahluk paling cantik dari seluruh wanita yang pernah ia lihat selama ini."
Alvian terkekeh sinis. "Memang dasar Predator. Lanjutkan."
"Ya, kita semakin dekat, hampir setiap malam ia menelfon ku, mengirimi ku pesan singkat. Dengan kata-katanya yang manis dan memuji-muji ku. Sampai dua minggu lamanya. Ia bahkan setiap hari hadir di kelas ku. Menunggu ku di dalam kelas ku, mengajak ku makan di kantin. Dan akhirnya ia menyatakan perasaannya. Dengan sangat manis."
"Ckckck. Aku sudah paham alurnya, ia terlalu memuji mu, merendahkan dirinya sendiri. Berharap mendapat rasa simpatik dari mu, lalu merusak mu perlahan, terlebih-lebih kau sangat polos. Dengan di tipu ingin putus saja kau pasti kena."
Jennie menunduk. "Iya."
"Bodoh." tutur Alvian.
"Ehhh?" Jennie mengangkat kepalanya.
"Iya kau itu bodoh Jennie. Sekarang kau malah hamil kan? Dan dia? Enak-enakan dengan wanita lain."
"Itu yang sedang membuat ku bingung kak, aku harus apa setelah ini. Kehamilan tidak mungkin bisa di sembunyikan selamanya. Sedangkan aku tidak bisa mengatakan?"
"Katakan semuanya pada orang tua mu." Potong Alvian.
"Bagaimana caranya aku bisa mengatakannya kak. Ayah ku seorang Tentara, aku takut ayah ku akan membunuh ku."
"Katakan yang sejujurnya Jennie. Orang tua mu tidak akan pernah bisa membunuh anaknya sendiri." jawab Alvian.
"Tapi kakak tidak kenal ayah ku. Dia sangat keras kak. Aku saja tidak berani melakukan kesalahan kecil apa lagi sampai hamil seperti ini kak."
Alvian menghela nafas. "Lalu kau mau apa sekarang?" tanya Alvian.
"Apa aku harus kabur saja dari rumah? Dan membesarkan anak ku sendiri? Atau mungkin melakukan ab*rsi? Karena aku sepertinya tidak sanggup merawatnya sendiri."
Alvian mendesah sinis "Sungguh Picik pemikiran mu Jennie." tuturnya. "Kau tidak ada bedanya dengan Andi. Percuma saja aku mengajak mu bicara seperti ini." alvian beranjak.
"Kak tunggu. Aku butuh pendapat mu."
"Pendapat untuk apa? Kau sudah punya pilihan mu sendiri kan? Sudah berbuat dosa lalu mau melipatgandakan dosa itu lagi." Alvian sedikit kecewa.
"Kak, ku mohon jangan dulu pergi. Aku kan belum ada keberanian." Jennie mulai berlinang air mata.
Alvian menghela nafas. "Dia tidak bersalah Jennie, yang salah itu kau dan Andi." Alvian menuding perut Jennie.
"Aku tahu itu."
"Lalu kenapa kau punya pikiran untuk ab*rsi?" tanya Alvian kesal.
"Iya, aku tidak akan pernah melakukan itu kak. Aku? Aku akan memberitahukan ini pada kedua orang tua ku."
"Itu baru benar Jennie. Kau tidak boleh lari dari masalah mu. Bertanggung jawablah pada semua yang sudah kau lakukan ini." titah Alvian.
"Tapi apa orang tua ku tidak akan marah."
"Marah." Jawab Alvian tegas. "Orang tua mana yang tidak marah, saat mengetahui anak gadisnya hamil di luar nikah. Terlebih-lebih kau masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tingkat awal pula." Sambungnya.
"Hiks, lalu aku harus bagaimana? Aku takut kak Alvian, aku takut di marahi ayah." isak Jennie. Alvian menyentuh bahu Jennie.
"Beranikan diri mu itu untuk mengatakannya, cari waktu yang pas, saat ayah mu sedang tidak dalam kelelahan. Intinya saat suasana hatinya baik. Aku percaya pada mu Jennie kau pasti bisa mengatakan itu pada ayah dan ibu mu." tutur Alvian. Jennie pun mengangguk pelan.
"Ya sudah, sekarang kita pulang ya." Ajak Alvian. Yang di balas dengan anggukan kepala Jennie lagi sembari mengusap air matanya.
'Kasihannya gadis ini.' batin Alvian yang merasa iba dengan Jennie.
Mereka pun melanjutkan langkahnya menuju halte bus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
pipi gemoy
Alfian 👍👍👍👍👍
hadir Thor 😁
2024-01-21
0
Monarista Pardede
Dewasa sekali alvian👍
2022-03-22
0
Sylvia Violetta
speechless mo komen
2021-10-06
1