Di tempat lain, tampak seorang pemuda tampan tengah memasuki sebuah kafe dengan langkah canggung. Belum juga ia masuk ke dalam kafe, langkahnya terhenti karena ragu. Ia menghela napasnya perlahan saat melihat kafe itu ternyata sudah ramai oleh pengunjung.
Satu fakta, ia tak suka keramaian. Berada di keramaian seperti ini hanya bisa membuat kepalanya pusing.
Pemuda itu akhirnya masuk ke dalam kafe setelah meyakinkan dirinya sendiri. Ia lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe untuk mencari seseorang.
Beberapa saat lalu ia di telepon oleh salah satu teman lama. Dia adalah seseorang yang ia kenal semasa masih SMA. Hari ini, tiba-tiba saja temannya itu menghubunginya dan mengatakan ingin mengatakan sesuatu hal penting padanya.
"Justin, sebelah sini!" seru seorang gadis cantik, melambaikan tangan padanya dengan senyum cerah.
Pemuda yang dipanggil Justin itu menoleh dan saat itu juga dia bisa melihat dengan jelas gadis yang dia cari sejak tadi, gadis itu tengah duduk dengan santai di sudut kafe itu.
Pemuda bernama Justin itu balas melambai kemudian dengan cepat melangkahkan kakinya menuju gadis itu.
"Maaf aku terlambat, Alicia." ujar Justin sembari mendudukkan dirinya di kursi yang ada di hadapan gadis itu. "Pekerjaanku tadi agak-"
"Tidak masalah, aku juga baru datang." potong gadis bernama Alicia itu dengan cepat, sembari mengibas-ngibaskan tangannya. "Aku tau kalau kau ini gila kerja."
"Ya, tapi tetap saja, aku merasa tidak enak."
"Ayolah Justin. Kita ini teman. Teman SMA. Hal seperti terlambat bukanlah hal besar. Jadi, jangan bertingkah seolah kita ini orang lain, oke."
Justin akhirnya mengangguk sembari tersenyum canggung, "Jadi, ada masalah apa? Kenapa meminta untuk bertemu denganku di sini?" tanya Justin.
Mendengar pertanyaan dari Justin itu senyum cerah di wajah Alicia langsung memudar. Pemuda ini tidak berubah bahkan sejak beberapa lama mereka tak bertemu. Justin tak suka basa basi dan selalu bicara langsung ke intinya.
"Kenapa buru-buru sekali, sih?"
"Ya, sebenarnya pekerjaanku masih banyak." jawab Justin melirik layar ponselnya, mengecek jam. "Aku masih harus mengantar pesanan lagi setelah ini."
"Kau ini memang anak yang tekun."
"Bukan tekun, Alicia. Aku bekerja dengan orang lain, jadi aku harus bekerja dengan baik, bukan?"
"Ya, benar. Kau ini memang tak ada kurangnya. Kau tampan, manis, sopan, dan tekun." puji Alicia, tampak begitu terkesan dengan Justin.
"Aku ini biasa saja, Alicia." Justin tampak bingung harus menanggapi apa pada pujian itu. Ia lalu menatap Alicia dengan serius, "Jadi, bisa aku tau ada masalah apa sehingga ingin bertemu denganku?"
Alicia tersenyum.
"Aku akan mengatakan maksudku memanggilmu kemari," ujar Alicia, "…tapi kita makan dulu."
"Makan?"
Alicia mengangguk, "ya."
"Kita?"
"Ya, kita. Kau dan aku makan di sini. Sekarang." ujar Alicia. Ia lalu terkekeh saat melihat Justin menunjukkan ekspresi kaget.
"Kau memanggilku kemari untuk makan?" tanya Justin.
"Tentu saja bukan."
"Lalu?
"Sudah ku bilang kalau ada yang ingin aku katakan padamu. Tapi aku mau kita makan dulu."
Justin menatap Alicia bingung, "Alicia, aku rasa aku tak punya waktu untuk makan denganmu disini." tolak Justin. "Sudah kubilang padamu bukan kalau aku harus bekerja."
"Justin, aku bisa membayarmu untuk ganti rugi kalau menurutmu percakapan ini membuang waktu." ujar Alicia. "Yang penting kau mau menunggu disini dulu, hanya sebentar, oke?"
Justin menggaruk belakang kepalanya, canggung. "Ah, maaf sebelumnya, Alicia. Sebenarnya masalahnya bukan uang. Tapi-"
"Tapi apa?"
"Tapi tanggung jawab. Maksudku, aku ini kurir. Aku bahkan sudah mencuri waktu agar kita bisa bertemu sekarang. Pekerjaanku bukan sesuatu yang bisa di ganti dengan uang. Ini masalah tanggung jawab."
Alicia menghela, "Tapi-"
"Lagipula aku datang kemari kan bukan untuk makan, melainkan untuk bicara. Kau bilang ingin membicarakan sesuatu yang penting padaku, kan?"
"Ya, memang benar. Tapi kurasa akan lebih baik kalau kita bicara sambil makan. Itu sebabnya aku memintamu pesan makan dulu."
Justin diam. Jujur, ia merasa kurang nyaman dengan hal ini.
"Ayolah Justin, kau ini sungguh pelit waktu sekali." protes Alicia. "Kita ini sudah lama tak bertemu. Aku juga sudah susah-susah menghubungi dirimu untuk bertemu, tapi malah kau perlakukan seperti ini."
"Baiklah, baiklah." Justin akhirnya menyerah. Ia merasa tak enak karena membuat teman masa SMA-nya itu tersinggung. "Aku akan menunggu sebentar di sini."
Mata Alicia melebar, "Benarkah. Kau mau?"
"Ya, tapi hanya sebentar. Aku sungguh tak bisa lama-lama. Aku bisa dipecat atasanku nanti."
"Baik. Hanya sebentar. Seperti yang kau mau, tak masalah." Alicia menganggukkan kepalanya setuju. Ia lalu mulai membuka buku menu yang berada di atas meja dan membacanya satu per satu. "Ngomong-ngomong kau mau pesan apa?"
"Ah, itu…"Justin buru-buru menggeleng. "…sebenarnya aku belum lapar, jadi aku tidak ingin pesan apa-apa. Kau saja yang makan."
Alicia meletakkan kembali buku menu di tangannya dengan kecewa. "Apa maksudmu tidak ingin pesan apapun?"
"Aku rasa aku belum lapar. Tapi aku akan menunggu lebih lama di sini."
"Ah, begitu rupanya? Padahal aku sangat ingin mengajakmu makan bersama." gadis itu memasang raut sedihnya.
Justin yang melihat ekspresi sedih di wajah Alicia kembali merasa tak enak. Selama ini ia tak pernah ingin seseorang tersinggung atas ucapan dan perbuatanya, apalagi sampai harus merasa kecewa karena dirinya begini.
"Aku sungguh masih kenyang. Tapi aku masih bisa minum dan makan camilan. Apa tidak masalah?"
"Kau mau?" Alicia kembali tersenyum. "Tidak masalah, tentu saja. Kalau begitu biar aku yang bayar."
"Jangan, aku bisa bayar sendiri. Saat masih sekolah kau juga sering mentraktirku di kantin."
"Ayolah, Justin. Sering darimana. Aku justru sangat jarang mentraktirmu jika di bandingkan dengan Charlie, kan?" ujar Alicia ia membuka kembali buku menu di tangannya.
Alicia lalu memanggil pelayan. Setelah memesan menu untuknya sendiri, Alicia lalu menatap Justin.
"Kau mau pesan apa?"
"Aku terserah saja."
"Bagaimana kalau aku pesankan kau kopi, sama denganku."
Justin mengangguk canggung. "Kopi boleh juga."
"Baiklah," Alicia tersenyum senang. Ia lalu turut memesankan menu untuk Justin.
Setelah beberapa lama menunggu, makanan yang dipesan akhirnya datang. Alicia langsung menikmati makanannya dengan riang, sementara Justin masih tampak canggung. Sejujurnya, Justin tidak nyaman berada di kafe di jam kerja-nya seperti ini.
Pada awalnya, Justin bersedia datang kemari karena Alicia mengatakan ingin membicarakan sesuatu hal yang dengannya.
"Mau makan ini?" Alicia menatap Justin yang tampak melamun sambil mengangkat sendok berisi makanan dan langsung dibalas dengan gelengan oleh Justin.
"Tidak, terima kasih."
"Dan kenapa kau hanya diam. Camilan di depanmu sudah menunggu untuk di makan, tuh!"
"Ah, iya." Justin menusuk makanan di depannya dengan sendok garpu.
"Enak?" tanya Alicia.
"Enak."
"Pelayan bilang ini adalah camilan nomor satu di kafe ini."
Justin hanya manggut-manggut sambil menikmati makanannya. Alicia meletakkan sendoknya dan menatap Justin.
"Ngomong-ngomong terima kasih sudah mau datang ya."
"Tidak masalah. Aku senang bisa bertemu teman sekolahku lagi."
Alicia mengangguk.
"Aku beruntung bisa mengenalmu, Justin."
"Aku juga sama, Alicia. Selama sekolah kau banyak membantuku saat aku butuh sesuatu."
"Ya, bantuanku tidak ada apa-apanya. Kau yang banyak membantuku sehingga aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan."
"Masalah itu… aku tidak merasa terlalu berguna. Aku hanya membantu sebisaku."
"Kau ini hobi sekali merendah." Alicia tersenyum sembari menggelengkan kepalanya, "Ngomong-ngomong. Bagaimana kehidupanmu selama ini? Sudah lama sekali kita tak bertemu."
Justin meneguk minumannya. "Aku biasa-biasa saja. Aku kuliah, juga bekerja."
"Sama seperti dulu. Sekolah dan bekerja adalah hidupmu."
"Benar, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku." ungkap Justin.
Alicia menatap Justin lekat-lekat. Sejujurnya sejak sekolah dahulu ia sudah merasa simpati dengan Justin. Ia ingin sekali membantu pemuda itu dengan kemampuannya tapi Justin selalu saja menolak.
Selama ini diam-diam Alicia juga menyimpan perasaan pada Justin namun tak bisa mengutarakan apapun mengingat Justin adalah orang yang tertutup. Namun sekarang, setelah mereka lulus dan berpisah kampus, Alicia tak ingin membuang waktu lagi untuk mengutarakan perasaannya.
Jika Justin menerimanya, ia akan membuat hidup pemuda itu senang. Justin tak perlu bekerja lagi karena setelah ini dirinya yang akan membantu menghidupi Justin.
Alicia berdehem sebentar sebelum kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Justin.
"Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu hal padamu, Justin."
"Ya? Ingin mengatakan apa?"
"Begini…" Alicia menghela napasnya gugup, lalu mengulurkan tangannya menyentuh tangan Justin.
Justin melihat tangan Alicia yang tengah menyentuhnya dan menatap wajah gadis itu. "Ada apa Alicia?"
"Justin… aku ingin kau… jadi pacarku!" ungkap Alicia, matanya menatap Justin penuh tekat.
Justin yang mendengar ungkapan itu mengerjapkan kedua matanya.
"Apa?" tanya Justin seolah tak mendengar ucapan Alicia barusan.
"Jadi pacarku." ulang gadis itu lagi.
Justin tersenyum canggung.
"Jangan bercanda, Alicia. Apa yang kau katakan?"
"Aku tidak bercanda. Aku serius. Aku menyukaimu. Dan aku tak suka melihatmu menyiksa diri dengan bekerja keras seperti ini. Jadilah pacarku dan berhentilah bekerja. Aku akan membiayai hidupmu."
Justin menarik pegangan tangan Alicia dari tangannya. "Alicia, kau-"
"Kumohon Justin, sudah lama aku menyukaimu. Selama itu juga hatiku sedih melihatmu kelelahan karena bekerja. Jadilah pacarku, dan kita akan hidup bahagia bersama."
"Alicia, kita ini teman baik. Kau dan aku tak bisa menjadi pasangan."
"Kenapa tak bisa Justin?"
"Karena aku tak menyukaimu."
"Apa aku kurang cantik untukmu?"
"Kau sempurna, Alicia. Tapi aku yang tak bisa menganggapmu lebih dari teman. Aku tak menyukaimu lebih dari teman."
Alicia memundurkan tubuhnya dan menatap Alvin lekat. "Aku tahu kau akan menolakku. Selama ini kau selalu menolak semua orang."
Justin menunduk, "maafkan aku Alice,"
"Tidak. Jangan minta maaf, kau tak membuat kesalahan. Dan aku juga tak menganggap apa yang aku lakukan ini salah. Aku memang menyukaimu dan aku senang bisa menyatakan perasaanku. Tapi Justin…"
"Ya?"
"Bekerjalah di kantor ayahku. Aku bisa membantumu mendapatkan posisi yang tinggi. Lagipula ayahku juga menyukaimu, dia pasti tak akan keberatan."
"Tidak perlu, Alice. Aku senang dengan pekerjaanku saat ini. Gajinya juga cukup untuk kebutuhanku."
"Tapi kau pasti kelelahan bekerja sebagai kurir."
"Itu hal wajar, Alicia. Setiap orang harus merasakan apa itu kelelahan."
Alicia mendengus. "Setelah menolakku, sekarang kau malah menyindirku manja, hah?"
Ucapan Alicia membuat Justin terkekeh.
"Tapi, apa ungkapan perasaanku mengganggu dirimu?" tanya Alicia.
"Ya, sejujurnya itu cukup membuatku terkejut. Tapi aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu."
Alicia mengangguk paham. Semua orang memang akan terkejut jika ada teman baiknya yang tiba-tiba malah menyatakan perasaannya.
"Em, Justin. Setelah ini bisakah kita bersikap biasa saja? Seolah tak terjadi apapun?"
"Tentu saja."
"Aku senang kau tidak marah."
"Justru aku yang senang kau tidak marah padaku karena menolak untuk menerima dirimu."
"Niatku hanya ingin mengutarakan perasaan. Tak diterima tak masalah. Asalkan kau bisa tahu segala yang aku rasakan. Kita akan berbeda kampus. Aku hanya tak ingin kita berpisah tanpa memberitahu apapun padamu."
Justin mengangguk.
"Sekarang aku sudah tau. Aku hanya bisa mengatakan terima kasih padamu." ujar Justin. "Kita masih bisa bertemu setelah ini."
"Aku malah merasa kalau kita pasti akan jarang bertemu. Kau akan sibuk dengan kuliah dan perkerjaanmu. Dan aku akan sibuk dengan kuliahku."
"Benar juga." Justin mengangguk. "Ngomong-ngomong sepertinya aku harus pergi sekarang. Pekerjaanku menunggu."
Alicia mengangguk paham. "Semangat, oke!"
Justin mengangguk kemudian bangkit dan langsung melangkah pergi meninggalkan Alicia. Alicia tersenyum menatap kepergian pemuda itu. Sejak sekolah dulu, Justin memang bukan orang yang mudah. Ia jarang dekat dengan wanita. Hanya Alicia seorang wanita yang berhasil menjadi sahabatnya.
Sebenarnya saat masih SMA, banyak sekali wanita yang menyukai Justin tapi pemuda itu selalu menolak mereka. Dan sekarang Alicia juga masuk daftar yang di tolak.
Sembari menggelengkan kepalanya, Alicia tersenyum singkat. "Siapa kiranya yang akan berhasil menaklukannya dan menjadi kekasihnya nanti."
***
✔ Note :
▪Author peduli dengan kesehatan mata kalian, jadi, kalau kalian kurang suka sama ceritanya, Author sarankan kalian untuk mencari cerita yang lain saja, karena cerita ini bisa menyebabkan sakit mata akut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
himmy pratama
komunikasi yg bagus antara Alicia dam Justin..di crt ini perempuan nya yg aktif agresif..tumben si biasanya cowok agresif
2024-08-12
0
Irawan Yesi
kayanya di bikin jatuh miskin mantebbb nih.. masih belaga ga tu
2021-01-24
1