"Nona Nggak Penting"

Bram berdiri di barisan paling belakang. Tubuh tinggi besar tidak mungkin berada di barisan depan. Ia termasuk kategori bongsor. Satu keuntungan yang patut ia syukuri. Bram senang. Dengan berada di barisan paling belakang setidaknya tidak bersitatap langsung dengan guru. Semua guru di sekolah itu, entah mengapa selalu berubah mood jika harus berhadapan dengan biang onar seperti Bram. Meskipun saat anak itu bersikap manis.

Posisi temanis untuk melarikan diri. Alasan bisa saja dibuat demi meninggalkan upacara bendera setiap senin pagi. Bersembunyi di UKS merupakan alasan paling klasik yang sering dibuat. Tempat yang nyaman, tidak panas. Tentu saja ruang UKS sebagai pertolongan pertama harus membuat si sakit merasa nyaman. Agar lekas sembuh.

Tepat di belakang Bram, gerbang sekolah. Satu-satunya akses keluar masuk. Bram berjinjit, menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok gadis berkuncir kuda, poni layaknya gorden jendela dan kacamuka.

Tidak mudah mencari satu orang diantara ratusan manusia. Barisan dibuat per kelas. Kelas 8 saja ada 10 kelas. Bram kelas 8-J, kelas terakhir. Berisikan sekumpulan siswa-siswa berkasus. Dia tidak tahu gadis yang dicarinya di kelas mana. Jika saja di kelas A sudah pasti mata Bram tak akan mampu memindai keberadaan gadis

itu.

Lima menit lagi upacara akan dimulai, gerbang sudah ditutup. Tiba-tiba terdengar perdebatan antara Pak Min sang penjaga sekolah dengan seorang perempuan. Nafasnya memburu, mungkin dia baru saja menyelesaikan lari marathon.

“Pak, tolong izinkan saya masuk. Upacara belum dimulai artinya saya masih bisa mendapat dispensasi.”  Keiyona terengah-engah. Gadis itu berusaha menormalkan detak jantungnya.

“Ya sudah masuk sana. Jangan diulangi lagi ya.” Pak Min mengalah.

Karena terlambat, Keiyona tidak bisa berbaris sesuai kelas. Ia menempati barisan paling belakang, terdekat dengan gerbang.

Upacara sudah dimulai. Keiyona masih terengah. Sebentuk kaki berbalut sepatu menginjak ujung sepatu Keiyona. Laki-laki. Keiyona menoleh. Ia mengesah pelan.

Keiyona memutar bola mata, memalingkan muka. Rasanya ia sudah tidak memiliki energi berlebih untuk meladeni bocah pembuat onar itu.

“Gue masih punya urusan sama lo.”  Bisik Bram di telinga kiri Keiyona.

Keiyona acuh. Malas menanggapi. Bocah lelaki itu selalu sukses membuat kesal.

“Gue bakal balikin bros elo dengan perjanjian.” Rupanya Bram ingin tawar menawar dengannya.

“Balikinbros gue, Bram. Atau gue buka mulut.”  Ancam Keiyona.

“Jangan ngancem, jelek! “

“Nggak tahu diri sih lo Bram. Gue nggak bercanda dengan omongan gue tadi.”

“Nama lo siapa?“

“Nggak penting”

“Hey nona nggak penting, gue tunggu di tempat kemaren kalau elo pengin bros itu balik."

“Gue nggak ada urusan sama elo Bram. Apa susahnya lo balikin barang gue.”

“Nggak semudah itu berurusan dengan Bram, nona nggak penting! “

Keiyona menghentak. Ia menginjak kaki Bram. Bram tertawa sinis.

“Oh begitu cara mainnya, oke! “

“Auw… “

Keiyona dan Bram memekik bersamaan. Telinganya ditarik paksa oleh Pak Min. Mereka dibawa ke depan. Sinar mentari pagi menyorot tepat di mata dua bocah itu. Mukadimah hukuman pelaku pelanggar upacara bendera. Tidak menghormati jalannya upacara. Cukup setimpal. Mereka harus berdiri disiksa terpaan matahari hingga upacara selesai. Menunggu hukuman yang sejatinya lebih menyakitkan.

Kini mereka berdua berada di dalam ruangan guru bimbingan dan konseling atau yang disebut BK. Tangan Keiyona mulai kebas menulis berlembar-lembar kata-kata yang sama. Janji tidak mengulangi.

Bram melirik Keiyona sambil tersenyum, kepalanya manggut-manggut. Bagi Keiyona itu adalah sebuah ledekan. Bram sengaja membuat gadis itu kesal.

Keiyona memelototkan mata, memajukan wajah menantang Bram. Bram tak bergeming, malah semakin asik menggoda. Melancarkan ledekan.

“Keiyona… Bramasta! Kalian minta ditambah hukuman?” Bu Vira memperingati. Wanita berambut keriting mekar, dijepit dengan penjepit bertabur permata bak berlian. Heboh seperti artis cantik Syahrini tetapi versi rambut sarang tawon. Bu Vira terkenal galak. Tidak sesuai dengan namanya yang terdengar sangat imut. Selalu memasang mode ingin membunuh, terlebih jika berhadapan dengan anak-anak seperti kami yang membuat masalah.

Keiyona bergidik ngeri membayangkan bu Vira menambahkan hukuman. Demi pluto yang terjauh dari bumi, setidaknya disana tidak ada bu Vira. Dan lelaki semacam Bram. Pasti di sana jauh lebih damai.

Bram nyengir kuda menampakkan gigi geligi yang mengering. Terlalu banyak nyengir. Ia sudah terbiasa menjalani hukuman. Malah sengaja membuat masalah supaya dihukum demi menghindari pelajaran yang tidak disukai.

“Tanda tangani kertas yang kalian tulis itu. Sekarang kalian lari 20 putaran.” Titah bu Vira.

Demi apapun tubuh Keiyona melemas. Pagi ini ia sudah berjalan 3 km dan masih harus berlari 20 putaran lapangan yang luas itu?.

Bu Vira tak bisa ditawar apalagi disanggah. Perkataannya adalah perintah tak tertulis tanpa perlu disahkan. Dasar hukum yang berlaku di sekolah ini.

Keiyona dan Bram berlari mengelilingi lapangan. Bram dengan kaki panjangnya tentu bisa berlari lebih cepat terlebih tenaganya sebagai lelaki tentu melebihi Keiyona.

Keiyona kesal, gara-gara bocah nakal itu ia harus terkena hukuman, artinya ia kehilangan pelajaran di jam pertama.

Baju seragam Keiyona basah. Tiba-tiba ia pening, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. Ia mengeraskan kepalan tangannya. Berusaha melanjutkan berlari.

Pandangan matanya buram, berkunang-kunang lalu menggelap. Ia merasakan tubuhnya ringan, melayang.

Bram yang berada di belakang Keiyona terkejut. Ia segera menangkap tubuh Keiyona. Gadis itu pingsan. Bram membopong tubuh Keiyona menuju UKS. Ia setengah berlari. Panik.

Bram merebahkan tubuh Keiyona ke tempat tidur. Ruang UKS itu kosong meskipun pintunya tidak terkunci. Bram celingukan mencari sesuatu.

“Dok… dok….Tolong… “

Bram berteriak memanggil dokter jaga. Ia bingung. Sangat khawatir.

Wanita muda berpakaian putih membuka pintu ruang UKS, dokter Bella. Ia menenteng bungkusan di dalam sebuah kantong plastik. Tersenyum ke arah Bram.

“Dok, buruan periksa. Dia pingsan.”

Dokter Bella memeriksa Keiyona.

“Dia tidak apa-apa. Sebentar lagi juga siaran. Kamu jagain aja sampai dia bangun. Saya mau

makan.”

“What…? Makan sih dok, pasien pingsan begitu.”   Ucap Bram tak terima.

“Khawatir banget sih, pacarnya ya? Cie ciieee.”

“Iiiisshhh apaan sih dok gak jelas banget.”

“Dia cuma belum sarapan, sama kayak saya. Nah, kalau saya nggak buru-buru makan pasti akan pingsan juga kayak dia.”

Bram berlari menuju kantin. Sesaat ia membawa sebungkus nasi uduk dan teh manis hangat.

Dokter Bella yang sedang asik menikmati sarapan tergoda meledek Bram.

“Beli makanan sebungkus doang, saya nggak dibeliin. Mentang-mentang jatuh cinta lupa sama orang, setidaknya pajak jadian lah buat orang yang udah nolongin pacarnya.”  Dokter Bella melempar tuduhan.

“Makin nggak jelas sih dok.”   Bram menggerutu.

Kalau dipikir untuk apa Bram harus sekhawatir itu. Bukankah seharusnya ia bersorak. Apalagi jika gadis itu pergi untuk selama-lamanya, rahasianya aman.

Bram berdecak mengenyahkan pikiran buruk itu. Betapa kejam mengharapkan orang mati. Ia berbalik keluar ruang UKS. Dokter Bella tertawa lebar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!