Ingin Egois

Setelah berganti pakaian, Keiyona membantu ibu panti mencuci piring bekas makan adik-adiknya.Hari menjelang senja, Keiyona memandikan adik-adiknya yang masih balita. Dibantu beberapa orang adik yang berusia sekitar

tujuh hingga sepuluh tahun. Di panti itu anak berusia tujuh tahun sudah mampu membantu pekerjaan ringan seperti mengganti popok bayi,memandikan dan memakaikan pakaian. Tanpa diperintah mereka sudah paham dengan apa yang harus dilakukan. Ada yang bergantian menyapu dan membersihkan ruangan. Mereka harus mandiri. Keadaan memaksa menjadikan mereka dewasa lebih awal.

Hari demi hari terasa begitu singkat bagi seorang Keiyona. Seringkali ia tidak kebagian waktu untuk dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk memikirkan kebutuhan orang lain. Begitulah ia dididik ibu panti. Mandiri sekaligus peka terhadap kesulitan orang lain.

Suasana panti berangsur sepi, pertanda hari sudah malam. Sebagian penghuni panti sudah terbuai dalam mimpi. Saatnya Keiyona menyalin catatan yang dia pinjam dari Shanti, mengerjakan tugas serta menyiapkan materi untuk keesokan hari. Keiyona beruntung dianugerahi otak lumayan. Gadis itu selalu mampu mempertahankan prestasi akademik yang menunjang beasiswanya. Dengan kerja keras tentunya.

Menjelang tengah malam Keiyona sudah menyelesaikan urusan sekolah, waktunya tidur.

Gadis itu berusaha memejamkan mata, gagal. Ia teringat bros hellokitty miliknya. Benda itu merupakan satu-satunya kenangan yang ditinggalkan orang tua kandungnya. Dia selalu menjaga benda itu sepenuh jiwa. Namun hari ini bocah lelaki kurang ajar itu telah merebutnya. Terbersit perasaan tidak nyaman. Otaknya mengatakan bahwa Bram akan menggunakan benda itu untuk memperalat dirinya.

Mengingat peristiwa tadi siang di tempat rahasia di sekolahnya, Keiyona mendadak merasakan gejolak di perutnya. Ia mengingat kembali apa yang dilihatnya, tentang perbuatan Bram. Apa yang menyebabkan anak lelaki itu berbuat senekat itu?.

Beban hidup yang terlalu berat kah?. Pertanyaannya, sepelik apa beban hidup anak berusia belasan tahun yang bahkan masih bisa disebut ingusan. Bram orang kaya, setiap hari diantar jemput sopir dengan mobil mewah, bahkan ditunggui. Orang tua Bram sungguh royal, membayar sopir khusus untuk anaknya.

Terbayang betapa kecewa orang tua Bram jika mengetahui perilaku anak kesayangannya. Menilik usia Bram yang baru tiga belas, mungkin empat belas tahun dengan nekat memakai barang laknat, bukanlah hal yang bisa dianggap maklum. Keterlaluan, bisa dikatakan kelewat batas. Apakah dia tidak memikirkan jerih payah orang tua,

setidaknya masa depan dirinya sendiri.

Berbanding terbalik dengan Keiyona. Untuk sekolah saja ia harus bersusah payah meyakinkan donatur jika dia tidak akan mengecewakan. Yang bisa ia lakukan hanyalah membuat orang yang sudah menggelontorkan dana untuknya tersenyum senang. Dia tidak akan pernah membuat orang baik hati menyesal di kemudian hari. Meskipun sang donatur tidak pernah meminta apapun darinya.

Pertanyaan demi pertanyaan berputar-putar di dalam kepala gadis itu. Membuatnya sulit tidur.

Bram menelpon Pak Jono, sopir pribadinya untuk menjemput di tempat Keiyona meninggalkan dirinya. Di depan Panti Asuhan.

Pak Jono sudah kebal dengan kelakuan anak majikannya. Setiap hari ada saja yang diperbuat.

Mulai dari datang ke sekolah mengaku sebagai orang tua Bram yang berakibat mendapat bonus ceramah panjang kali lebar dari sang guru BK, mengambil raport anak nakal itu sampai hal remeh temeh yang nyeleneh, seperti saat ini.

Lelaki paruh baya itu selalu dibuat bingung oleh Bram. Menunggu berjam-jam di sekolah, nyatanya anak brengsek itu sudah pergi menjauh. Entah kapan anak itu menghilang, Pak Jono kehilangan jejak. Untung sayang, butuh uang gaji dari Pak Hutama adalah poin utama. Anak dan istrinya butuh diberi makan. Biaya sekolah mahal.

Mobil berwarna merah itu berhenti tepat di hadapan Bram. Anak lelaki itu duduk termenung memegang botol minuman dingin yang tadi diberikan gadis berkuncir kuda buruannya.

Bram membuka pintu belakang mobil, memasukinya lalu duduk di jok belakang. Ia menyelonjorkan kaki sejauh mungkin. Kepala ia sandarkan. Lelah. Wajahnya penuh peluh, layaknya orang berlari berkilo-kilometer. Nyatanya memang demikian. Ia menguntit seorang gadis cupu teman sekolahnya, berkilo-kilometer.

“Habis ngapain Den?“ tegur Pak Jono.

“Menjalankan misi.” Sahut Bram, asal. Anak lelaki itu malas menanggapi, ia terlalu lelah.

“Pak, tahu nggak kenapa orang bisa tinggal di panti asuhan?“  Pertanyaan Bram terdengar sangat konyol. Usianya tidak kecil lagi tapi otaknya tidak mampu mencerna hal seremeh itu.

“Banyak hal Den. Biasanya anak-anak itu kurang beruntung. Ada yang dibuang keluarga, ada yang memang keluarganya sudah meninggal dan masih banyak hal lain yang menjadikan mereka harus menghuni Panti.” Pak Jono menjelaskan sambil menahan kesal. Betapa tidak, seorang anak SMP bisa-bisanya mengajukan pertanyaan

seperti itu.

“Pak Jono tahu nggak sih apa aja yang dilakuin papa di luar sana?“

Pertanyaan itu terdengar sederhana, namun membutuhkan jawaban super kompleks. Pak Jono tak mampu menjawab.

“Aden ini lucu. Bapak kan setiap hari nempel sama aden, bahkan sedari aden kecil. Lalu, dari mana bapak tahu apa saja yang dikerjakan papa aden.”

Pertanyaan sederhana itu dapat memunculkan cerita panjang apabila salah menjawab. Pak Jono tahu, sangat tahu perihal majikannya dari obrolan sesama sopir, sopir pribadi Pak Hutama. Ia sengaja menutup rapat mulutnya demi menjaga perasaan majikan kecil itu. Bocah lelaki yang ia jaga melebihi anaknya sendiri.

Bocah lelaki itu beranjak besar. Penuh selidik. Ia merasa hampa. Tinggal di rumah mewah bergelimang materi. Tapi tidak dengan perhatian. Bram sengaja membuat onar, kemudian berkenalan dengan barang laknat demi mendapatkan perhatian orang tuanya. Nihil.

Bocah kaya raya nan malang. Di saat anak-anak lain digandeng orang tua ketika momen pengambilan raport, dia tidak. Hanya pak Jono yang setia mendampingi. Terkadang ia merasa iri. Ia merasa seperti anak pak Jono. Pria paruh baya itulah yang selalu memberi semangat dan petuah pada dirinya. Cukup kah?.

Tidak! Bram mengharapkan sentuhan orang tua. Mungkin Pak Hutama merasa telah cukup memberi materi. Membahagiakan dengan caranya sendiri.

Salahkah dirinya yang menginginkan lebih?  Apakah itu yang dinamakan serakah?. Bram ingin sekali saja egois. Ia ingin menguasai perhatian orang tuanya, sedikit saja. Tidak perlu banyak.

Hingga saat ia terjerumus menikmati sentuhan barang haram, orang tuanya tidak juga peka. Salahkah? Jika itu bukan salahnya lalu salah siapa?.

Jelas itu salah Bram. Anak lelaki itu seharusnya susah mampu memilah. Dia bukan anak kecil lagi. Bahkan sudah bisa membuat anak kecil apabila tergelincir sekali lagi.

Bayangan gadis berkuncir kuda itu kembali muncul. Bram berusaha membandingkan hidupnya dengan hidup gadis itu. Mungkin jawabannya hanya satu, kurang bersyukur.

Tidak, Bram ingin egois... Sekali saja. Kali ini saja.

Ia memandangi lalu lalang kendaraan lain dari kaca di sebelah kanannya. Kepalanya penuh, ia sangat lelah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!