Menguntit

Bramasta

Gue memikirkan seribu cara demi membungkam mulut cewek itu, yang gue nggak tahu namanya. Sebelum menjalankan satu persatu siasat itu, gue harus lebih dulu cari tahu namanya. Masa iya gue menyebutnya ‘Mawar’, itu terdengar seperti nama samaran tokoh wanita di acara-acara kriminal yang ditayangkan di teve.

Sekarang ini gue lebih terlihat seperti detektif Conan. Yang jelas gue harus memastikan dia nggak akan buka mulut.

Gue buru-buru membereskan tas. Ketika bel berbunyi gue harus langsung tancap gas membuntuti cewek itu. Sejujurnya di kelas pun terasa nggak berfaedah. Nggak ada sedikitpun pelajaran yang nyangkut ke otak tumpul

gue yang udah oleng karena obat-obatan laknat itu. Tapi mau bagaimana lagi tubuh gue udah terlanjur nagih.

Satu menit…

Satu menit terasa sangat lama ketika seseorang diharuskan menunggu. Bel itu belum terdengar lagi sejak berdering terakhir ketika Bram berada di tempat rahasia itu. Mata Bu Nilam menatapku penuh selidik. Mata itu selalu mampu menembus jantung siapapun yang ditatapnya, sangat membunuh. Beliau menilai gelagatku.

“Bram! Coba jelaskan tentang perang Diponegoro!”

Pertanyaan Bu Nilam bak granat yang dilempar tiba-tiba, meledakkan terpuruk kepala tanpa isi. Bayangan gue berada di dalam peperangan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro seolah nyata. Gue berlarian mencari tempat persembunyian, menyelamatkan diri dari lemparan-lemparan bom. Suara mesiu menusuk tajam di telinga. Kalau udah begini gue merasa sangat bersalah, bahkan sekedar berdiri beberapa menit ketika upacara bendera gue selalu bikin onar.

“Bramasta…!”

Suara mesiu berdesing kembali. Ooh salah, itu suara Bu Nilam, delapan oktaf. Telinga gue berdenging, Bu Nilam berteriak tepat di sisi kiri telinga gue.

“Kriiiing… “

Bel berdering pertanda pelajaran usai. “Yes!” gue bersorak kegirangan. Artinya gue nggak perlu menjawab pertanyaan itu, sekarang. Gue bebas. Bu Nilam menjewer telinga gue, wajahnya tampak sangat kesal. Telinga

gue sepertinya akan panjang sebelah, Bu Nilam menariknya meluapkan emosi. Tubuh gue ikut terbawa mengikuti arah jalan wanita cantik itu. Gue meringis minta ampun, beneran ini sakit banget. Sepertinya Bu Nilam menggunakan kekuatan matahari, bahkan hanya sekedar untuk memberi pelajaran bocah seperti gue. Rintihan

minta ampun dari mulut gue memang nggak pernah mendapat respon. Semua guru di sekolah ini sudah tidak menggunakan perasaan jika itu berhubungan dengan gue.

Segala sesuatu ada masanya, sama seperti cengkeraman tangan Bu Nilam pada telinga gue. Gue nggak mau membuang waktu, segera berlari lebih baik, menunggu di depan gerbang sekolah. Hal pertama yang harus dilakukan adalah: mencari tempat persembunyian. Misi pertama ini adalah membuntuti anak perempuan itu sampai rumahnya.

Lima belas menit berselang belum juga ada tanda-tanda kemunculan cewek itu. Keramaian ketika bubar sekolah sangat kentara dari tempat tersembunyi ini, tepat di sebelah kanan gerbang sekolah. Dari sini gue bisa melihat dengan jelas siapapun yang berlalu lelang keluar masuk gerbang sekolah. Isssh kaki gue menjadi santapan semut merah lapar, sakit, panas dan sekarang gatal. Gue menghentak-hentakkan kaki bergantian, berusaha mengusir kerumunan semut itu. Berhasil. Tapi tidak dengan leher, gantian leher gue kena gigit.

Shiiiitt!!

Tak terhitung sudah berapa kali gue mengumpat hari ini. Kesiapan demi kesialan selalu saja membuntuti hidup gue sepanjang hari ini.

“Ck aaaah elah kemana sih nih cewek lama amat. Jangan bilang dia ke ruang BK.”  Bayangan gadis itu melapor seketika memenuhi ruang otak gue.

Rasanya pengen keluar dari sini, mencari tahu apa saja yang dikerjakan cewek itu hingga membutuhkan waktu sebegitu lama. Tapi itu akan merusak misi pertama gue. Ah ya sudah lebih baik menunggu, sebentar lagi mungkin.

Gue sangat bahagia ketika harapan itu terkabul. Sesosok gadis cupu berkuncir kuda dengan poni ala gorden jendela dan kacamuka. Gue pantas bersorak dalam hati. “Yes!”

Gue mengambil jarak sekitar sepuluh meter di belakang, mengikuti dan mengamati. Jika dilihat dari belakang gadis itu tampak kurus, tubuhnya tidak terlalu tinggi paling sekitar 155cm. Semoga dia nggak sadar dibuntuti.

Gadis itu terus berjalan. Gue mulai merasa kelelahan. Demi apa, ini rasanya sudah sekitar 3 km gue berjalan membuntuti dia. Sejauh ini rumahnya dan dia berjalan kaki?. Apakah dia juga setiap hari berjalan kaki seperti ini berangkat dan pulang sekolah. Iiiisshhh anak yang aneh.

Bukan tidak ada kendaraan umum yang bisa ia tumpangi, sungguh sangat banyak. Bahkan sebagian besar hanya berisi beberapa penumpang. Lalu kenapa gadis itu memilih berjalan kaki?. Pertanyaan demi pertanyaan berkeliaran di otak gue. Sungguh nggak habis pikir. Dimana gue yang selalu hidup enak ternyata teman gue ada yang seperti ini. Yang gue tahu selama ini sekolah gue itu sekolah favorit. Siswa siswi berasal dari keluarga yang berada kalaupun tidak bisa dikatakan kaya raya. Tapi kenyataan di depan mataku ini seketika menghantam jantung gue. Betapa nggak bersyukur gue selama ini.

Keringat bercucuran membasahi kening dan leher gue. Baju seragam yang gue kenakan pun rasanya sudah basah. Udara hari ini sangat terik, terlebih di jam seperti ini, jam 2 siang.

Gadis itu mempercepat langkahnya, begitu juga gue. Gue nggak mau kehilangan jejak. Dia setengah berlari meninggalkan gue. Tampaknya dia sudah menyadari ada yang membuntuti.

Di saat gue ikut berlari mengejar tiba-tiba dia berbalik badan dan gue menabrak dia.

“Brak”

Gue terjatuh menimpa tubuh gadis itu. “Shit! Kenapa bisa seceroboh ini sih, sudah tertangkap basah membuntuti masih ditambah adegan jatuh menabrak. Gue yakin setelah ini bakal mendapat bonus tamparan.” Ucap gue lirih.

“Kenapa sih elo hobi banget mengumpat. Mulut lo kotor banget. Dan ngapain lo ngebuntutin gue? kalau gue nggak kenal sudah pasti gue akan mengira elo berniat menculik gue.” Ucapan sinis khas ibu-ibu tersakiti.

“Fiuh… elo pikir gue sudi ngikutin elo sejauh ini. Shit! Gue capek banget gara-gara elo.” Gue berusaha menyalahkan dia dengan harapan membuat kesal. Tapi kenyataan yang gue dapati berbanding terbalik. Dia

berjalan menuju warung. Berapa menit dia muncul kembali membawa sebotol minuman dingin. Tangannya mengulurkan botol minuman itu ke arah gue. Gue meneliti dinding botol, titik-titik embun bergantian mengalir membuat tenggorokan gue seolah berteriak. Bagaimana tidak, berjalan sejauh 3 km di bawah terik matahari

di jam 2 siang rasanya sangat menyiksa. Tapi jiwa kelaki-lakian gue mendadak berontak. Dia hanya membeli satu botol dan itu diberikan ke gue, sementara dia pun sama, berjalan seperti gue. Gue lelaki yang nggak bisa terima kekalahan apalagi jika itu datangnya dari seorang perempuan. Big No!

“Elo laki-laki tapi mulut kayak perempuan. Elo sendiri yang membuntuti gue tapi elo menyalahkan gue. Aneh!" Dia menatap sinis. Melemparkan botol minuman dingin itu tepat di depan muka gue, beruntung gue bisa menangkap botol itu. Jika tidak, wajah tampan gue pasti sudah tak berbentuk.

“Minum! Kalau elo beneran mati nanti arwah lo pasti akan menuntut balas. Orang model elo itu hanya bisa menyalahkan orang lain.”

Setelah mengucapkan itu dia berlari memasuki gerbang sebuah bangunan bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Ssjati”.

“Woy cewek tunggu! Ini punya lo kan?“ Gue berteriak memanggil seraya memamerkan bros hello kitty miliknya. Dia tampak terkejut dan berlari ke arah gue.

“Gue akan kembalikan bros ini setelah elo bisa menjamin keselamatan gue”. Setelah melemparkan ancaman gue bergegas berlari meninggalkan tempat itu. Dari ekspresi yang ditunjukkan jelas dia mengkhawatirkan bros itu. Oke itu senjata utama gue.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!