Keiyona
Bel berdenting tiga kali pertanda sekolah usai. Aku bergegas merapikan tas. Ingin segera menemui Shanti meminjam catatan. Kemarin aku tidak pergi sekolah, Ibu Panti sakit. Aku harus menggantikan beliau mengurus adik-adikku.
Khawatir Shanti keburu pulang, aku setengah berlari menyusuri lorong menuju kelas 8-C, kelas Shanti. Ruang kelas kami hanya berjarak dua ruang, aku di kelas 8-A. Di sekolah ini aku tidak banyak memiliki teman. Aku hanyalah makhluk tak kasat mata bagi mereka. Tidak ada yang menyadari keberadaanku. Mungkin karena status sosial. Hanya Shanti yang mau peduli. Anak itu dikaruniai jiwa sosial yang cukup baik.
Kelas 8-C kosong, hanya satu buah tas di atas meja Shanti. Aku lega mendapati pertanda Shanti belum pulang. Aku duduk menunggu Shanti. Cukup lama.
Kepala Shanti menyembul dari balik pintu. Senyumnya mengembang mendapati diriku duduk di kursinya. Gadis itu cukup menawan meskipun bukan idola sekolah. Shanti termasuk siswa berprestasi. Dia lebih beruntung dariku, memiliki keluarga yang utuh. Penuh kasih sayang.
“Hai, Kei ada apa?“ sapanya.
“Aku pinjam catatan kemarin Shanti.” Shanti membuka tas mengambil buku yang aku minta. Dia memberikan buku itu padaku.
“Besok balikin ya, lusa aku ada ulangan.”
“Iya.” Aku menerima buku pemberian Shanti, memasukkan ke dalam tas sekolahku.
Shanti merangkul bahuku berjalan bersisian keluar menuju gerbang sekolah.
“Tadi kamu kemana Shan kok lama?“ tanyaku.
“Toilet. Perutku mulas, biasa sedang haid.” Shanti menjelaskan.
Kami berpisah di depan gerbang, dia berjalan ke arah kiri sedangkan aku ke arah kanan.
Aku terbiasa berjalan kaki ketika pergi ke sekolah, begitu pula sepulang sekolah. Menghemat uang saku. Jarak sekolah dengan panti tempat aku tinggal cukup jauh, sekitar 3km. Tidak apa, aku sudah terbiasa. Aku tidak ingin menambah beban, bisa bersekolah saja aku sudah sangat bersyukur.
Menurut ibu panti, aku ditemukan beliau ketika menjelang pagi. Menangis di dalam keranjang, masih merah. Mungkin baru beberapa hari dilahirkan. Ibu panti memberiku nama Keiyona. Bicara kasih sayang, aku tidak pernah kekurangan kasih sayang. Ibu panti sangat menyayangiku, sama halnya dengan suami ibu panti, Pak Muslih. Pasangan yang belum dikaruniai keturunan hingga kini, adalah orang pertama aku kenal, memiliki ketulusan yang
tak bisa diragukan lagi. Sejak saat itulah mereka menjadi orangtuaku. Ketika ada orang tua yang ingin mengambil kami dari panti, ibu tak pernah memberikanku. Entah alasan apa. Suatu hari ibu pernah menanyaiku perihal orang
tua kandungku, apakah aku berniat mencari mereka. Namun aku tidak pernah berkeinginan mencari mereka. Aku telah dibuang. Jika mungkin terbersit penyesalan di hati mereka, tentu mereka akan mencarikan ke tempat di mana
mereka menaruhku. Aku akan menunggu.
Hari ini matahari sangat terik. Aku mempercepat langkah demi mempersingkat waktu agar tidak terlalu lama tersengat matahari.
Setengah perjalanan sudah kulalui. Hatiku tidak enak. Seperti ada yang mengikuti. Aku takut dia berniat jahat padaku. Buru-buru aku mengenyahkan pikiran buruk itu. Apa gunanya berniat jahat padaku, aku tidak punya uang. Tidak ada satupun barang berharga yang aku bawa, aku tidak punya. Aku hanya khawatir orang jahat itu, membunuhku. Aku bergidik ngeri membayangkan yang tidak-tidak.
Aku menoleh ke belakang, kosong. Mempercepat langkah lebih baik, pikirku. Sebentar lagi sampai, tenanglah. Aku berusaha menghibur diri di tengah kerisauan.
Benar saja, gerbang bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Sejati” sudah bisa aku jangkau dengan pandanganku. Aku berlari kencang lalu berhenti seketika. Aku yakin penguntit itu akan mengikuti berlari. Dan akan menabrakku
ketika aku tiba-tiba menghentikan langkah. Dalam hitungan detik, aku sudah bisa menangkap basah si penguntit.
“Brak”
Betapa terkejut ketika aku mendapati si penguntit itu adalah… Bram. Bramasta si idola sekolah sekaligus si pembuat onar. Mau apa dia?. Dia terjatuh menimpa tubuhku. “Shit! Kenapa bisa seceroboh ini sih, sudahn tertangkap basah membuntuti masih ditambah adegan jatuh menabrak. Gue yakin setelah ini bakal mendapat bonus tamparan.”. Bram berucap lirih, masih tertangkap pendengaranku.
“Kenapa sih elo hobi banget mengumpat. Mulut lo kotor banget. Dan ngapain lo ngebuntutin gue? Kalau gue nggak kenal sudah pasti gue akan mengira elo berniat menculik gue.” Aku semakin gemas.
“Fiuh… elo pikir gue sudi ngikutin elo sejauh ini. Shit! Gue capek banget gara-gara elo.” Dia berusaha menyalahkan aku. Aku berusaha sekuat tenaga tidak tersulut emosi. Aku berjalan menuju warung demi menyembunyikan ekspresi wajahku. Berapa menit kemudian aku kembali membawa sebotol minuman dingin. Aku mengulurkan botol minuman itu ke arahnya. Dia hanya meneliti botol yang kutawarkan padanya. Aku tahu air liurnya sebentar lagi menetes. Tidak mudah berjalan sejauh ini jika tidak terbiasa, aku maklum.
“Elo laki-laki tapi mulut kayak perempuan. Elo sendiri yang membuntuti gue tapi elo menyalahkan gue. Aneh!”. Aku menatap sinis. Melemparkan botol minuman dingin itu tepat ke depan muka bocah tengil itu, beruntung dia bisa menangkap botol itu. Jika tidak, wajahnya pasti sudah tak berbentuk.
“Minum! Kalau elo beneran mati nanti arwah lo pasti akan menuntut balas. Orang model elo itu hanya bisa menyalahkan orang lain”.
Setelah mengucapkan itu aku berlari memasuki gerbang sebuah bangunan bertuliskan “Panti Asuhan Kasih Ssjati”.
“Woy cewek tunggu! Ini punya lo kan?“ Dia berteriak memanggil seraya memamerkan bros hello kitty milikku. Peristiwa nahas itu nyaris membuatku lupa pada benda yang selama ini kujaga sepenuh jiwa, benda peninggalan orang tuaku satu-satunya.
“Gue akan kembalikan bros ini setelah elo bisa menjamin keselamatan gue.” Setelah melemparkan ancaman dia bergegas berlari meninggalkan tempat itu.
Tubuhku lemas bak tak bertulang. Rasanya tak sanggup lagi untuk sekedar berjalan. Sejujurnya aku ingin sekali berteriak meluapkan emosi. Urung kulakukan. Tak ingin membuat seisi panti menjadi gaduh.
Bersembunyi di kamar mandi adalah pilihan terbaik saat ini. Tempat paling aman menumpahkan segala gundah. Tak perlu orang lain tahu. Lagipula aku tidak ingin membuat Ibu panti mengkhawatirkan keadaanku. Ibu terbaikku itu tidak akan membiarkan airmataku mengalir. Beliau adalah orang pertama yang akan maju ketika ada yang berani menyakitiku.
Salah satu alasanku tidak ingin mencari orang tua kandungku adalah beliau. Aku tidak ingin membuat ibu panti merasa sedih. Beliau seringkali mengatakan bagaimana jika suatu saat aku bertemu orang tua kandungku. Akankah aku meninggalkan panti ini. Atau bila suatu saat aku telah mandiri. Sejak saat itu aku menutup rapat mulutku jika itu berkaitan dengan orang tua kandungku.
Setiap kali ada yang datang bermaksud mengambil salah satu dari kami, ibu selalu menyembunyikan aku. Kalaupun terdesak ibu selalu mengatakan bahwa aku adalah anaknya. Aku yakin ibu memiliki harapan terhadapku.
Hanya aku yang beliau rawat sejak bayi merah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments