Yang terjadi dalam novel ini adalah fiksi.
Mahendra tiba di kantor kejaksaan. Ia menyerahkan buku yang sudah ia dapatkan dari rumah Kinanti.
"Pak Nugraha. Ini buku yang saya dapatkan di TKP. Coba cek rekening Kinanti selama setahun terakhir. Apakah ada uang masuk setiap bulannya sekitar lima sampai sepuluh juta." kata Mahendra menyerahkan buku keuangan yang Kinanti miliki.
"Baik, Pak." asisten Mahendra, Nugraha yang selalu mengecek ini dan itu dengan sigap mencari data rekening milik Kinanti.
"Bu Lili, tolong cek panggilan telpon milik Kinanti selama setahun terakhir juga. Dan cek pemilik nomor telpon itu masing-masing."
Liliana segera mengerjakan apa yang Mahendra perintahkan. Mahendra memiliki firasat yang cukup bagus setelah menemukan siapa yang mengirimi uang kepada Kinanti tiap bulan dan melihat catatan telponnya.
Mahendra menggantung mantelnya dan hendak memeriksa kembali kasus Kinanti.
Hape Mahendra berbunyi saat ia sedang meneliti kembali kasus Kinanti. Dari LFN.
"Pak Jaksa, kami sedang mengautopsi jenazah saudari Kinanti." kata seseorang dari pihak LFN.
"Apakah sudah ada perintah dari kejaksaan untuk mengautopsinya?" tanya Mahendra.
"Keluarga dari saudari Kinanti telah menyetujui untuk autopsinya."
Mahendra tidak menjawab apapun lagi. Ia menutup panggilan telpon itu dan segera mengambil mantelnya lagi.
"Aku akan ke LFN. Jenazah Kinanti sedang di autopsi." kata Mahendra pada asistennya.
"Tapi, Pak, ini..."
"Kabari saya lewat telpon ya. Saya berangkat sekarang." Mahendra segera menutup pintu kantornya.
Liliana dan Nugraha terlihat sangat bingung. Padahal baru saja Nugraha memulai pencarian rekening milik Kinanti.
"Aku pikir ini kasus bunuh diri biasa, Bu." kata Nugraha.
"Aku pikir juga begitu, Pak. Tapi kalau kasus bunuh diri biasa, kenapa kita harus memeriksa rekening dan catatan panggilan telponnya?" Liliana berpikir sama dengan rekannya.
"Apa ada sesuatu dibalik semua ini ya. Kenapa semuanya terasa lebih rumit?" Nugraha semakin berpikir lebih jauh dari apa yang seharusnya dilakukan.
"Iya benar. Aku rasa kasus ini lebih rumit."
***
Renata tidak sanggup lagi melihat tubuh Kinanti dibedah. Ia segera keluar dari ruang autopsi. Awalnya Renata merasa pusing melihat tubuh Kinanti dibelah dan perlahan Dokter Azri menyayat lagi beberapa organ yang lainnya untuk diperiksa.
Tapi karena Renata tidak sanggup lagi untuk melihatnya ia hanya duduk di ruang tunggu. Ia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa yang empuk.
Mahendra datang dengan tergesa dan melihat Renata yang sedang duduk di ruang tunggu. Ia mengatur napasnya dan menghampiri Renata dengan perlahan.
"Nona Renata.." panggil Mahendra.
Renata melihat seseorang yang memanggilnya. Dan itu adalah jaksa yang kemarin ia temui.
"Apakah Ibu Kinanti sedang di autopsi?" suara Mahendra terdengar tidak beraturan. Ia terengah karena sempat berlari sedikit menuju LFN.
"Iya, Pak. Ibu saya sedang di autopsi." Renata membenarkan posisi duduknya walau tubuhnya terasa lelah. Mahendra duduk tepat di depan Renata.
"Nona Renata. Kalau boleh, saya tanya.. mengenai Ibu Kinanti.." Mahendra sedikit ragu jika Renata mau bekerja sama dengan kejaksaan.
"Iya, Pak. Ada sesuatu yang ingin ditanyakan?" Renata tidak menunjukkan keantusiasan berbicara dengan jaksa. Tapi Mahendra mengerti. Siapa yang suka jika orang yang sudah meninggal dibicarakan? Terlebih lagi itu adalah Ibunya sendiri.
"Apa Nona yakin, kalau Ibu Nona melakukan tindakan bunuh diri?" Mahendra bertanya dengan perlahan. Ia takut sekali jika menyinggung perasaan Renata.
Tapi reaksi Renata lain. Ada sedikit keantusiasan dari nada bicaranya.
"Kenapa Bapak bisa bertanya seperti itu?"
"Maaf. Sebelumnya saya belum bapak-bapak. Tapi saat saya memeriksa rumah Nona, sebagai TKP, saya menemukan buku keuangan yang sepertinya cukup rutin ditulis oleh Ibu Anda." jelas Mahendra.
Renata terlihat agak bingung. Ia mengingat kegiatan Kinanti. Tapi jarang sekali ia melihat Kinanti sibuk menulis apalagi tentang uang.
"Yang saya tahu, Ibu saya setiap punya uang, selalu disimpan sebagai uang mati. Jadi uang itu terkadang memang dipakai jika diperlukan. Tapi saya tidak pernah melihat Ibu menulis tentang uang."
"Mungkinkah kamu tahu dimana uang yang biasa Ibumu simpan?" tanya Mahendra.
"Saya tidak tahu persis. Tapi jika memang ada saya coba cari nanti."
"Kita bisa ke rumahmu bersama-sama. Dan juga, apakah sekiranya kamu tahu kalau Ayahmu mengirimkan uang setiap bulannya pada Ibumu?"
Renata terlihat semakin bingung.
"Ayah kirim uang?" tanya Renata dengan heran.
Mahendra menyembunyikan rasa penasarannya. Walau ia ingin sekali sedikit jawaban dari Renata agar ada sedikit pencerahan dari kasus ini.
"Aku tidak pernah tahu soal uang dan Ibu tidak pernah cerita. Aku saja bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan makan. Kalau Ibu memang punya uang, seharusnya tidak membiarkan aku bekerja dari satu toko ke toko lain." Renata menjawab pertanyaan Mahendra dengan jujur. Ia memang tidak tahu menau soal uang yang Kinanti punya.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke rumahmu untuk mengecek uang yang disimpan Ibumu?" tanya Mahendra. Kali ini ia tidak ragu-ragu lagi pada Renata. Ia yakin bahwa Renata juga sama penasarannya dengan Mahendra.
Agak sedikit membutuhkan waktu untuk mendapat jawaban dari Renata, karena Renata berpikir dulu, apakah ini benar atau tidak.
"Apakah kau yakin bisa membantuku?" Renata masih terlihat belum yakin pada Mahendra.
"Apa kau ragu padaku? Aku jaksa. Aku akan menuntut siapapun yang melakukan hal yang tidak adil." Mahendra meyakinkan Renata bahwa ia bisa memercayainya.
"Kalau begitu, kau harus percaya. Ibuku bukan bunuh diri. Tapi ada seseorang yang sudah membunuh Ibuku." Renata sangat percaya diri dengan apa yang ia rasakan ditambah lagi Dokter Azri berkata ada yang aneh pada Kinanti.
"Kita akan tahu setelah kita menyelidikinya."
Mahendra dan Renata bangkit dari duduknya dan mereka bergegas untuk pergi ke rumah Renata.
***
Nina tidak bisa menggunakan perhiasan yang diambil dari Kinanti. Tapi ia sempat menyimpan beberapa gelang dan cincin disakunya. Nina yakin, bahwa Candra tidak akan mengetahuinya. Nina ingin suatu hari nanti Candra hanya akan melihat dirinya, bukan Kinanti lagi. Karena Kinanti tidak terlihat seperti Nyonya pemilik perusahaan besar. Kinanti lebih mirip dengan pesuruh yang hanya bisa mengenakan baju yang biasa saja.
"Nina!" Nina segera menyimpan cincin dan gelang milik Kinanti di tempat yang aman, yang tidak akan diketahui oleh Candra.
Sebenarnya Nina mempunyai ketakutan tersendiri ketika Candra memanggilnya. Tetapi ia bisa menutupi ketakutan itu karena Candra sudah memberikan segala hal mewah yang Nina minta.
Candra mempunyai ruang pribadi bawah tanah yang hanya bisa dimasuki oleh Nina dan Candra. Bahkan Ibunya sekalipun tidak bisa memasukinya.
Nina menuju dapur, memotong buah apel untuk Candra. Tidak banyak, hanya sekitar 6 potong untuk pemanis setiap kali Nina datang ke ruang bawah tanah.
"Apel lagi?" tanya Ibu Candra melewati Nina yang membawa piring kecil.
"Iya, Ibu." jawab Nina pelan.
"Kamu seperti tidak tahu saja kesukaan Candra. Belajarlah dari Kinanti. Dia tahu kalau Candra suka buah anggur dan melon." Nina hanya diam dan tidak merespon Ibu mertuanya yang selalu bicara kasar dan sinis terhadapnya.
Nina berjalan pelan melewati Ibu mertuanya dan menuju ruang pribadi mereka di bawah tanah.
Setelah memasuki ruang bawah tanah, tidak ada yang spesial dengan ruang itu. Hanya ruang santai untuk menghabiskan waktu dengan home theatre pribadi. Ruangan itu terlihat remang-remang karena Candra mematikan lampunya, hanya ada layar besar untuk menonton film.
Tapi kali ini Candra tidak menonton film. Ia hanya memutar video Mozart yang dimainkan dengan nada yang penuh emosi.
Nina sedikit berkeringat dingin. Tetapi ia mencoba tersenyum pada Candra.
"Kau memanggilku?"
Candra memakai sarung tangan tipis, dan menoleh ke arah Nina. Ia mengencangkan volume suara lagu Mozart.
"Mengapa kamu tidak pernah merasa menyesal?"
"Menyesal apa maksudmu?" tanya Nina tidak mengerti.
"Mengapa kamu selalu mengganggu Kinanti?"
Belum sempat Nina menjawab pertanyaan Candra, piring yang Nina pegang terjatuh. Candra melayangkan tinju di pipi kiri Nina.
Aaah!
"Kau seharusnya tidak pernah mengganggunya!"
Lagi-lagi Nina berteriak.
"Ampun Candra! Maafkan aku! aaahhhh!!"
Tapi percuma saja. Tidak ada yang bisa mendengar teriakan Nina. Karena ruang pribadi itu benar-benar di desain seperti bioskop dengan dinding yang tebal dan kedap suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
cici cici
masih nyimak Thor
2025-01-31
0
Isnaaja
belum paham apa maksudnya,
2021-05-27
2