Renata menyandarkan kepalanya di dinding dekat jendela. Pemandangan yang terlihat hanyalah rumah komplek dan polisi yang wara-wiri. Renata masih belum dapat melakukan apapun. Ia masih shock dan Evano memintanya untuk tetap tinggal di rumahnya sementara. Renata tidak punya pilihan lain selain menurutinya.
***
Mahendra, adalah seorang jaksa yang dikenal dengan kegigihannya. Ia juga dikenal sebagai pengusut kasus hingga ke akar. Hari ini dia berada di TKP dimana seorang wanita berusia empat puluhan diduga tewas bunuh diri. Mahendra memperhatikan kondisi jasad Kinanti yang terbujur di lantai rumahnya.
Kinanti memiliki sayatan di pergelangan tangan dan memercikkan darah sehingga noda darahnya mengenai bajunya. Sayatan itu terlihat seperti Kinanti memiliki dua sayatan. Mahendra juga mendapat informasi dari tim forensik, ketika disemprotkan cairan luminol, darah hanya terlihat di sekitar tubuh korban dan sedikit darah di dekat dapur.
Saat ini Mahendra tidak dapat menyimpulkan apapun. Karena masih belum memiliki hasil yang pasti mengenai kasus ini.
"Tidak ada kah suami dan anak dari Ibu Kinanti?" tanya Mahendra pada detektif yang berada.
"Suaminya dikabarkan belum pulang beberapa hari ini menurut kesaksian para tetangga. Tapi anaknya, Renata, sedang menenangkan diri karena shock melihat kondisi Ibunya." jelas salah satu detektif.
"Bawa jenazah ini ke forensik dan saya akan menemui anaknya." ucap Mahendra.
"Dimana anaknya sekarang?"
****
Pintu kamar tamu yang Renata tempati diketuk dan Evano segera membuka pintunya. Tatapan mata Renata terlihat kosong. Ia seperti tidak tahu apa yang harus ia perbuat.
"Ren, ada yang ingin menemuimu." kata Evano.
Renata tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah Evano.
"Ada jaksa kesini. Temuilah, Ren. Siapa tahu ada sesuatu."
Renata beranjak dari tempat tidurnya dan segera merapikan bajunya yang terlihat berantakan. Renata keluar dan duduk tepat di hadapan Mahendra.
"Iya, Pak."
"Nona Renata. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan meninggalnya Ibu Kinanti." Mahendra mengatakannya dengan tegas seolah tidak ada keraguan dalam nada bicaranya. Renata menatapnya dengan sedikit tajam.
"Nona Renata, dimana Anda berada pukul 13.15 sampai 15.15 siang ini?" tanya Mahendra.
"Saya pergi ke toko kue. Membeli kue untuk Ibu karena Ibu suka kue. Mungkin sekarang kue yang saya beli masih di motor." jawab Renata.
Mahendra terdiam sebentar dan menengok ke arah belakang dimana ada beberapa polisi. Mahendra memintanya untuk mengecek motor Renata yang masih ada kue, seperti kata Renata.
"Apakah Anda tahu beberapa orang yang sekiranya berhubungan dengan Ibu Anda belakangan ini?" tanya Mahendra.
"Saya tidak tahu." jawab Renata.
Beberapa saat kemudian, polisi kembali membawa sekotak kue yang memang masih di gantung di motor.
"Mungkin saya masih sedikit shock, Pak. Tapi saya ingat betul siapa yang suka adu mulut dengan Ibu saya."
"Siapa?"
"Ayah saya. Tapi saya tidak tahu dimana ia tinggal dan juga nomor hapenya."
"Lalu bagaimana kamu bisa yakin itu Ayahmu?"
"Ayah datang kerumah sesekali walau dalam keadaan mabuk. Saya tahu persis."
Mahendra terlihat semakin bingung. Ia tahu ini bukan hanya sekedar kasus bunuh diri biasa. Renata sejak awal bertemu dengan Mahendra sama sekali tidak menunjukkan kesedihan yang seharusnya terlihat di wajah Renata.
"Saya tidak tahu harus bicara apa lagi. Saya masih sangat shock. Saya harap Bapak bisa menemukan sesuatu dari kasus Ibu saya." ucap Renata.
Tapi yang Mahendra sadari adalah tatapan mata Renata yang begitu kosong. Mahendra memakluminya, mungkin karena ia masih sangat shock dan melihat Ibunya terbujur di lantai rumahnya.
***
Renata kembali lagi ke kamarnya. Evano mungkin benar bahwa Renata masih benar-benar shock. Saat ditanyai oleh jaksa tadi ia tidak melihat air mata ataupun kesedihan di wajah Renata.
"Maaf, Pak. Mungkin Renata masih shock. Ia sangat dekat dengan ibunya. Dan kehilangan Ibunya saat ini membuatnya tidak bisa berpikir jernih." kata Evano.
"Apa kau pemilik rumah ini?" tanya Mahendra.
"Iya betul."
Mahendra mengeluarkan kartu namanya dan memberikannya pada Evano.
"Hubungi saya jika Nona Renata tahu sesuatu mengenai kasus ini."
"Baik, Pak."
Mahendra dan beberapa polisi lainnya pergi meninggalkan rumah Evano. Evano meletakkan kartu nama jaksa itu di meja bukunya dan melihat Renata sekali lagi. Renata masih sama. Menatap kosong ke arah jendela.
"Ini kartu nama jaksa itu. Kalau ada sesuatu yang kamu ketahui, hubungilah." kata Evano meletakkan kartu nama itu di dekat tangan Renata.
Renata tidak bereaksi apapun. Ia hanya melirik kartu nama itu. Mahendra.
***
"Tutup kasus ini." kata Kepala Jaksa pada Mahendra di ruang kerjanya.
"Tapi, Pak..." Mahendra masih bersikeras untuk mengusut kasus Kinanti.
"Sudah terbukti, korban melakukan bunuh diri dirumahnya. Apalagi yang kau butuhkan?" tanya Kepala Jaksa yakin dengan penyelidikan hari ini.
"Saya masih belum yakin, Pak. Tim forensik belum memberikan hasil pada kami mengenai pemeriksaannya." sergah Mahendra.
"Begitukah? Sampai berapa hari bahwa kau yakin kalau ini hanyalah kasus bunuh diri biasa?" tanya Kepala Jaksa memastikan Mahendra.
"Maaf, Pak. Saya harus menyusuri kasus ini lebih dalam. Tapi jika..."
Kepala Jaksa langsung memotong ucapan Mahendra.
"Lima hari. Kamu saya beri waktu lima hari menyelesaikan kasus ini. Jika tidak ada bukti yang lebih mendalam, kasus ini saya tutup sebagai kasus bunuh diri biasa. Kau sanggup?"
"Baik. Terima kasih, Pak!" Mahendra langsung menunduk memberi hormat pada atasannya dan pergi meninggalkan ruang Kepala Jaksa.
Mahendra segera kembali ke ruang kerjanya. Sekretaris dan detektif yang biasa menangani kasus sebagai satu tim dengan Mahendra, disibukkan dengan beberapa kasus yang harus ditinjau.
"Ibu Liliana, Pak Nugraha, kita punya waktu lima hari untuk menyelesaikan kasus Ibu Kinanti. Jika lewat dari lima hari, Pak Kepala akan menutupnya sebagai kasus bunuh diri biasa." jelas Mahendra kepada para staffnya.
"Baik, Pak."
"Ibu Liliana, tolong cek panggilan telpon dan pesan milik Ibu Kinanti. Pak Nugraha saya minta tolong cek CCTV terdekat yang ada di komplek rumahnya."
"Baik, Pak."
Mereka bekerja sama, berusaha menemukan apa yang sebenarnya terjadi pada Kinanti. Mahendra yakin, ada sesuatu yang disembunyikan Renata. Wajah Renata yang ia temui kemarin terlihat sangat gelap dan hampa.
Mahendra merasakan keganjilan pada tatapan mata Renata. Tapi, pelaku selalu kembali ke TKP. Mahendra akan mengecek ulang TKP besok pagi.
***
Pagi sekali, Renata datang ke rumahnya yang sudah di garis polisi. Ia menatap nanar rumah yang kosong itu. Rumah yang selalu ia tinggali dengan hangat dan canda tawa bersama Ibunya, kini sudah sirna. Harapan satu-satunya Renata selama hidupnya sudah tidak ada. Renata hanya bisa menatap foto bingkai yang selalu Ibu bersihkan. Foto bingkai di meja penuh dengan foto dirinya bersama Ibu.
Hampir tidak ada foto Ayah. Ya. Ayah sudah pergi beberapa tahun lalu bersama seorang wanita yang terobsesi dengannya. Walaupun Ayah sesekali kembali pada Ibu, lantas hal itu tidak pernah membuat Renata bahagia. Ayah yang mempunyai tempramen tinggi selalu Renata hindari.
Renata mulai menangis ketika ia melihat garis putih yang melingkar di lantai. Disinilah Ibu terbujur lemas tidak berdaya. Ia selalu mengingat senyum Ibu dengan hatinya yang rapuh, semakin lama senyum Ibu semakin membuat Renata sakit. Renata menepuk-nepuk dadanya dengan keras. Ia mencoba menghilangkan sesak didada.
Dimana ia tidak akan pernah melihat senyum Ibu lagi untuk selamanya. Ia berteriak dalam kepiluan. Hati yang baru saja rapuh, kini menjadi hampa karena kehilangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Isnaaja
baru juga sehari kenapa pa jaksa sudah mengambil kesimpulan kalau ini bundir biasa??
apakah Renata memiliki kepribadian ganda? kalau iya bisa jadi dia yang membunuh ibunya
2021-05-27
3