Kasus Kematian Mahasiswa Universitas Luxess 03

Pagi ini aku dan James berangkat ke tempat kejadian dengan menaiki kereta api. Sebenarnya aku sudah memesan taksi. Namun, saudaraku itu keras kepala, ia bersikeras berangkat ke sana dengan kereta api. “Begini kan enaknya. Sudah lama aku tak menaiki kereta api. Benar-benar hari yang indah,” ujarnya menatap ke luar jendela.

Aku hanya geleng-geleng kepala. Cuaca pagi ini begitu buruk, ibukota diguyur hujan semalaman. Dan pagi ini puncaknya, hujan turun dengan cepat dan deras, disusul suara gemuruh dari langit.

Jangan lupakan kilatan cahaya bermuatan listrik yang sewaktu- waktu dapat menyambar jendela di kereta api.

Rel kereta berdecit saat kami tiba di stasiun. James bangkit dari duduknya. “Nah, Agatha. Penjara sedang menunggu dua orang yang akan singgah di hatinya,” ujarnya tersenyum aneh.

Aku angkat tangan jika saudaraku sudah bicara dengan kata- kata konotasi. Ia berusaha keluar dari gerbong yang kami tumpangi. Orang-orang berdesakan menuju pintu keluar. Mengingatkanku saat menaiki kereta di Negeri Sakura, Jepang.

“Universitas Luxess hanya berjarak 500 M. Bagaimana jika kita jalan kaki saja?” tawar James.

“Ya. Olahraga baik untuk kesehatan,” jawabku. Kami berhenti di tepi jalan saat kendaraan melesat dengan cepat di jalanan.

Menanti cahaya merah di lampu lalu lintas.

James memperhatikan wanita yang nekat menyeberang di saat suasana tidak mendukung. Wanita itu terlihat bersolek ria dan tak peka dengan lingkungan sekitarnya. Banyak pengendara yang rem mendadak dan membunyikan klakson. Sadar akan ulahnya, wanita itu mempercepat langkahnya. Ia sampai tepat di samping kami. Wajahnya sangat pucat. Mungkin kaget karena kejadian tadi.

“Huh, dunia makin kacau saja!” komentarku. James hanya mengangkat bahunya dan menarik tanganku untuk menyeberang.

Kedatangan kami di universitas disambut baik oleh pihak kepolisian. Terutama tamu yang sempat berkunjung ke apartemen kami tadi malam.

“Kami menyimpan sepatu korban seperti yang Anda minta.

Dan ini surat kematian yang ditulis korban.” Tuan Alberth menyerahkan sepasang sepatu berwarna biru muda dan secarik kertas lecek. James berusaha memecahkan teka-teki rusaknya sepatu Sarach Pailouw. Entah informasi apa yang akan didapatnya dengan memperhatikan kerusakan di hak sepatu itu.

“Viktor mengatakan padaku, jika Sarach dipercaya oleh perdana mentri untuk menyerahkan dokumen penting ke kedutaan Rusia. Kurasa dokumen itu otak di balik kejadian ini. Pelaku mungkin mengincar dokumen itu dari awal. Dan mengira jika kertas penting itu ada dalam hak sepatu korban,” jelas James.

Aku terlonjak mendengarnya. Bukan aku saja yang merasa terkejut, sepertinya klien kami lebih terkejut mendengarnya.

“Kurasa itu tidak mungkin. Hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Kami juga baru mengetahuinya setelah membaca buku harian korban,” bantah Viktor.

“Itu hanya kemungkinan saja. Belum tentu benar. Mari kita lihat apa yang bisa kita dapat melalui kertas lecek ini,” ucap James meraih surat kematian yang sudah lecek itu. Matanya berbinar saat melihat kata terakhir di surat itu. “Kenapa kau tak memberi tahu jika ada inisial di akhir surat ini?” tanyanya agak kesal.

Tuan Alberth tersenyum tipis. “Seperti yang kau lihat. Itu hanya kata yang tak penting, kepolisian juga sudah memastikan hal itu. S.P sudah jelas itu inisial korban,” jawabnya. James berdecak senang mendengar jawaban Tuan Alberth.

___ OE DJ J TJ S.P ___

Seperti itu bunyi suratnya. Tak ada bedanya meskipun ada kata S.P. Sudah jelas itu inisial korban.

“Well, sudut pandang kita memang berbeda!” ucap James bangkit dari duduknya. Menghisap kokain dan mondar-mandir seperti kemarin malam. Tingkah saudaraku itu makin aneh saja. James mengeluarkan bubuk kopi dari saku kemejanya.

“Kasus ini membuatku bingung. Kopi mungkin bisa meringankan pikiranku.” James terus mengoceh dan tak sengaja menumpahkan bubuk kopi itu ke lantai. Namun, terkesan disengaja.

“Biar kubersihkan,” tawarku. Tapi, James menolaknya. Ia bahkan menyuruh klien kami agar membiarkan noda itu di lantai hingga pagi tiba.

“Kurasa penyelidikan kami sampai di sini saja. Jaga kesehatan kalian!" ucap James.

Klien kami langsung berdiri. Tuan Alberth memasang ekspresi kesal di wajahnya yang pucat. “Anda tidak bisa pergi begitu saja. Bagaimana nasib universitas ini?” tanya Tuan Alberth marah.

“Itu bukan urusanku. Aku akan kembali kesini besok pagi.

Ayo Agatha! Sebaiknya kita minum coklat panas di pagi yang dingin ini,” balas James menyeretku keluar dari perpustakaan.

Selama perjalanan pulang, James hanya sibuk dengan korannya.

Aku beberapa kali memancingnya agar menyinggung soal kasus Sarach Pailouw. Namun, James bisa menghindar dengan cerdik. “Agatha, tolong kirim pesan pada Tuan Alberth. Pinta padanya untuk menyebutkan teman korban yang berinisial S,” pintanya sambil melipat koran.

“Apa kau mengira jika inisial di surat kematian itu ditunjukan untuk pelaku? Dan kau mengira teman korban yang melakukan pembunuhan itu?” tanyaku penasaran.

“Tidak juga. Hanya membuat korban sekarat,” jawab James enteng.

“Sandy Risma Heriadi, Saralee Cavali, Suwandi Priutomo, Sasha Poernama, Sheila Nicolas.” Aku membacakan pesan dari Tuan Alberth.

James menyimpan telunjuknya di dagu. Aktivitas yang di lakukannya ketika berpikir. “Ah! Tak terasa kita sudah sampai di apartemen!” serunya dengan senyum misterius.

“Kau patut mencurigai Sasha Poernama. Apa kau tidak mengira jika pesan itu mengacu padanya? Misalnya OE. Itu sangat jelas, James!” seruku tiba-tiba.

“Lalu DJ, J dan TJ itu apa maksud dan tujuannya?” tanya James.

“Itu hanya kata yang tidak penting. Korban menulisnya agar pelaku tidak curiga dengan surat yang ditulisnya,” jawabku masuk akal.

James terkekeh mendengarnya. “Pertama kau bersikukuh jika korban tak mungkin menulis surat kematian. Lalu tiba-tiba kau menuduh orang dengan fakta yang tak masuk akal,” sindirnya terkekeh geli sedangkan aku langsung mendengus sebal.

Besoknya, pagi-pagi sekali James mengajakku ke universitas Luxess. Ia terlihat sangat bersemangat. Dan aku tak tega membiarkannya melakukan penyelidikan sendirian. “Hah, aku tak sabar mengetahui siapa pelakunya!” Dia bergumam saat berusaha membuka pintu perpustakaan. Ia mendapatkan kunci duplikat dari klien kami.

James mengeluarkan kaca pembesarnya. Membungkukkan badannya ketika berjalan. Ia mengarahkan kaca pembesar itu pada noda di lantai yang kemarin ia buat. Aku terkejut saat saudaraku tiba-tiba berteriak senang.

“Dapat! Sepatu berkualitas bagus dengan merk John's dan ukurannya 45. Hanya ada satu toko dengan merek sepatu itu di kota ini!” teriak James. Ia berjalan dengan sangat cepat hingga aku kewalahan. Kami menaiki taksi untuk sampai di tempat yang James maksud.

Sebuah bangunan sederhana dengan tulisan John's di jendelanya, oke nama merek sepatunya kusamarkan saja. Aku menunggu James yang sedang mengobrol dengan pemilik toko sepatu itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!