...☘Tak ada kata terlambat,...
...bila masih bisa dihadapi☘...
Masih dalam cerita lanjutan dalam bab satu. Baca baik-baik, agar tidak bingung menyikapinya.
Jerman di malam itu begitu sunyi, gadis itu duduk di depan cermin. Menatap wajah dirinya dengan penuh luka, rasa hatinya sudah remuk, tak ada lagi cinta, yang ada hanya kepahitan tentang dirinya sendiri.
"Aku hamil? Aku sudah hamil."
Vava yang terus mengelak, tentang apa yang sudah terjadi. Dia belum bisa menerima kenyataan pahit ini.
"Kakak sudah tahu, kenapa Kak Britney diam saja? Tidak memberitahu keadaan Vava. Kenapa Kakak berbohong sama Vava? Kenapa Bang Evan juga baru cerita setelah bertemu pria itu? Mama juga, terus Papa kenapa hanya diam?? Seolah-olah nggak ada yang terjadi sama Vava."
Batin Vava dengan sedih, semua sudah menutupi dari dirinya, bahkan dokter dan suster juga tidak ada yang mengatakan kepada Vava. Yang saat itu terbaring lemah, bahkan tekanan darahnya sangat rendah.
"Aku tidak bersalah, aku tidak bersalah."
Tegasnya dan menangis lagi, dengan tatapan runtuh, air mata itu terjatuh. Sirna sudah harapan cinta Vava, untuk masa depannya. Hal yang tidak bisa diterima, dengan hati dan pikirannya.
"Lingga? Lingga?! Pria itu bernama Lingga?"
Batin Vava seolah mempertanyakan sosok pria itu. Malam itu, pagi itu. Vava sudah berusaha untuk melupakannya, pagi dengan rasa kelam, bagiakan racun yang bisa membunuh Vava. Tapi dirinya tidak mengingat apapun, kecuali sosok yang memeluknya erat, ketika terbangun dari tidurnya.
Bahkan Vava masih mengenakan gaun hitamnya, seolah tidak ada hal negatif dari dirinya. Tapi memang benar, malam itu Vava dalam dekapan Lingga Mahatma.
"Baik, baiklah!! Aku akan menjaga anakku. Tapi aku tidak ingin menikah dengan Lingga Mahatma."
Vava yang tidak bisa menahan dirinya, sebuah malam yang tadinya bersenda gurau, dengan canda tawa bersama teman-temannya. Tapi pagi tak berdosa itu, Vava mulai berubah perasaan. Rasanya sudah hancur, dan itu tidak akan pernah menyelamatkan dirinya.
Banyak alasan yang tidak diungkapkan, Jonathan tidak tahu akan hal itu. Tapi dia memang mendua, dan itu kesempatan Vava untuk mengatakan pisah, cinta untuk Jo Jo berakhir sudah. Hanya rasa berdosa yang menemani dirinya.
"Aku harus pergi." lirihnya, yang masih memandang buruk masalahnya.
Jerman, tengah malam begitu sunyi. Sekarang, Vava yang berjalan ke luar apartemen. Langkah kaki yang pelan, dan melewati koridor. Tidak ada seorangpun yang berjalan di malam itu, kecuali Vava.
Udara yang dingin, membuat Vava bersedekap, mantel yang ia pakai sudah tebal, tapi rasa dingin itu masih menusuk tulang Vava.
"Kenapa dingin sekali?" Keluhnya, dan masih berjalan.
Sebuah taxi ia hentikan, dan mulai menaiki taxi itu.
Jerman, jam 01.23. Dini hari. Vava dengan gelisah, melihat ke arah ponsel dan mematikannya.
"Mama, Papa, maafin Vava." Gumamnya dengan hati yang meronta, dilema dan rasanya ingin sekali pergi jauh, meninggalkan semua keluarganya.
Kota Munich yang menawan di malam hari, sangat menyilaukan mata. Vava yang bersandar pada kaca jendela taxi itu, dan pandangannya fokus ke sisi kiri.
Sebuah gereja yang dia lewati, Vava yang masih gelisah, kembali mengingat akan kebesaran Tuhan Yang Esa.
"Tuhan, maafin Vava."
Suara hati itu, dengan tulus dan ari mata jernih itu kembali mengalir, butiran setiap tetesan air mata itu, tertuang jutaan rasa.
"Kamu hidup dalam diriku, aku akan berusaha mengayangimu."
Batin Vava dan mulai memegang perut ratanya. Vava sangat kurus dan perutnya masih rata.
Di saat Jerman masih gelap, dan yang di Jakarta sudah riuh.
Ada Maeva yang duduk di sofa, dia tinggal di rumah Mamah Sarah dan Abah Ferdi. Mereka sudah tahu tentang kondisi Vava.
"Mamah, harusnya Tante Vanesa itu dulu kesana menemani Vava. Pasti nggak akan ada kejadian seperti itu." Ucap Maeva, yang memangku buah hatinya.
"Tetap saja sayang, itu katanya Vava ada pesta, terus dikerjain temannya, lalu bertemu pemuda itu. Vava ditanyain sama pemuda itu, Vava cuma bilangnya Jo Jo. Terus identitas Vava nggak ada, akhirnya diajak ke kamarnya, karena pemuda itu tahu, kalau Vava sama-sama dari Indonesia. Ya mungkin terjadilah kejadian di malam itu. Mama juga nggak mau terlalu menyalahkan Vanesa sama Angga. Tapi kata Abang kamu, pemuda itu sudah datang ke Jerman. Ternyata dia juga tinggal di Jakarta." Balas Mamah Sarah, yang menyuapi cucunya. Anaknya Maeva baru berumur 8 bulan. Susternya sedang mandi, duduk di atas pangkuan sang Mama, dan disuapi Omanya.
"Aneh banget, memangnya pemuda itu sengaja, apa gimana sih? Di Jerman bisa ketemunya orang Jakarta lagi, si Jonathan juga anak Menteng." Ucap Maeva yang selalu menggerutu saja.
Sudah punya anak, tapi dia tidak berubah. Sepertinya tambah bawel, seperti tetangga Britney.
"Entahlah, Mamah nggak tahu. Yang jelas, Mamah bersyukur, Vava tidak sampai sakit. Kata Abang kamu, Vava udah mulai mengerti keadaannya yang sekarang." Ucap Mamah Sarah, dan masih menatap cucunya tampannya, anaknya Maeva juga laki-laki, jadi cucu Mamah Sarah yang perempuan baru Alishba saja.
Maeva mengelap bibir imut bayinya dan mengangkatnya, senyuman bayi tampan itu sangat menggemaskan, ketika sang Mama memandanginya dengan candaan.
"Cilukba.. Arvez,, Cilukba..." Suara Maeva, dengan gemas dan banyinya tertawa.
Mamah Sarah yang pergi menaruh mangkok, dan membuatkan susu untuk Arvez.
Arvezio Ardiwiguna adalah nama buah hati Maeva dan suami keduanya.
Maeva sudah menikah lagi, dengan pemuda yang manis dan dikenalnya dengan tidak sengaja. Maeva dulunya yang dipinang oleh anak dari keluarga Husein, hanya mampu bertahan sekitar satu tahun. Dengan pernikahan pertamanya Maeva tidak memiliki anak dan setelah bercerai, Maeva kembali bebas.
Dulunya merasa menang dari Britney akan dirinya yang tinggal di apartemen, dan tidak akan tinggal dengan mertuanya. Tidak tahunya, Rehan tetap harus tinggal di kediaman keluarga besar Husein, dan Maeva sangat tidak nyaman, terlalu sakit hati dan sering cekcok, akhirnya Maeva meminta Rehan, untuk mengakhiri ikatan pernikahannya.
"Uh... Sayangnya Mama. Mam Mam Mamma." Ucap Maeva yang gemas, perlahan bibir imut itu menirukan Maeva yang menyebut kata Mama. Belum bisa bicara, tapi suara bayi itu seolah sudah bisa menyebut mam mam.
"Sayangnya Papa. Papa mau kerja dulu." Ucapnya yang sangat menggemaskan.
"Papa, yang di cun cuma Arvez. Mamanya belum cun cun." Ucap gemas Maeva, saat sang suami hanya menciumi pipi gemas putranya.
"Emms, emang Mamanya udah mandi?" Tanyanya dengan menggoda.
Maeva menatap suaminya dan berkata, "Mamanya belum mandi. Tapi Mamanya Arvez selalu cantik."
"Ya udah, Papa ke kantor dulu. Nanti di omelin kalau terlambat, soalnya Bu Bos udah mulai ke kantor lagi." Ucapnya dengan santai.
Maeva yang masih menatap suaminya bertanya "Memangnya Britney sudah pulang? Bukannya dia di Jerman sama Bang Evan dan Tante Vanesa?"
"Iya, dia sudah pulang. Minggu pagi sudah sampai di Jakarta. Tapi aku juga belum ketemu sama dia." Jawabnya yang menatap wajah istrinya.
Sosok berwibawa yang sudah memakai jas warna abu-abu tua, dan menenteng sebuah tas laptop, mendekati keluarga kecil yang sedang gemas bercanda dengan bayinya.
"Aksa, kamu nyetir mobilnya Abah aja ya. Abah rada pusing." Ucap Abah Ferdi, dan Maeva mulai menatap Abahnya.
Suami Maeva Fahrani adalah Aksa Ardiwiraguna.
Sungguh tidak disangka, setelah lama melajang setelah berpisah, Maeva yang waktu itu sedang nonton di bioskop. Bisa bertemu dengan Aksa.
Duduk bersebelahan dan sama-sama jomblo. Akhirnya, setelah selesai nonton film, mereka malah saling bertanya tentang pribadi masing-masing.
Ketika pertemuan keluarga besar di Pondok Indah. Maeva mengajak Aksa Ardiwiguna, Pras dan Britney tampak terkaget melihatnya. Tapi Vava malah tertawa tiada henti, karena Vava selalu menganggap Aksa sudah seperti Abang.
Semenjak tabrakan pagi itu, Aksa dan Vava sangat akrab, karena Aksa juga mengganggap Vava seperti adiknya. Sangat lucu, dan Vava juga langsung setuju kalau Maeva bisa menikah dengan Aksa. Dan itu sekitar 2 tahun yang lalu, tapi Vava tidak bisa menghadiri acara pernikahan Maeva dan Aksa.
"Kalau Abah pusing, mendingan istirahat aja di rumah. Nggak usah kerja dulu, lagian Britney sudah pulang. Biar wakil direktur aja yang kerja." Ujar Maeva.
"Tetap Abah harus kerja. Ini ada ketemu klien penting." Ucap Abahnya dan mulai mengangkat cucunya dari gendongan Maeva.
"Arvez, Opa berangkat kerja dulu. Arvez sayang sama Mama, sama Oma, dan suster Rini dulu. Opa nanti cepat pulang." Ucap Ferdi
Karena anak Maeva itu sangat dekat dengan Opa Ferdi. Begitu juga Ferdi sebagai kakeknya, yang menyayangi cucunya. Dari bayi baru lahir, Arvez cenderung anteng bila di gendong Opanya. Apalagi kalau sedang rewel di malam hari, bila di gendong Opanya langsung diam dari tangisnya.
...Di rumah Pras dan Britney....
"Papa, Alishba mau sama Papa." Pinta gadis kecil dengan suara yang gemas.
Pras yang masih duduk dan menikmati sarapan paginya, menatap putri kecilnya lalu berkata "Iya, nanti Papa yang antar Alishba ke sekolah, terus nanti sore, Mama yang jemput Alishba. Soalnya nanti Papa pulang malam lagi." Ucap Pras.
Gadis kecil itu mulai cemberut. Selama satu minggu lebih hanya bersama Papanya. Sekarang, Papanya mulai sibuk kerja.
"Papa, jam berapa pulangnya?" Tanya Alishba, yang masih memanyunkan bibir imutnya.
"Jam 8 malam sayang, kamu nanti malam bobok dulu aja kalau sudah ngantuk. Papa nanti masih banyak pekerjaan." Ujar Pras yang tersenyum, dan mulai mengangkat cangkir kopi dengan kanannya.
Britney yang sudah cantik dan sangat menawan. Berjalan mendekati suami juga anaknya, senyuman manis tersirat di wajah cantiknya.
"Alishba sayang, kamu kenapa?" Tanya Britney, yang mulai duduk di sebelah anaknya dan mengelus rambut putri kecilnya.
Alishba yang menoleh dan mendongak ke wajah sang Mama berkata, "Papa mau pulang malam. Alishba jadi sedih. Papa sibuk lagi, Alishba mau sama Papa."
Pras tersenyum manis dan sangat menyentuh hatinya. Sang putri kecil itu, sudah mulai sendu, bahkan mengatakan, kalau dia ingin bersama Papanya.
"Sayang, Papa kerja dulu. Besok Papa pulangnya lebih cepat. Minggu lalu Papa udah libur satu minggu. Jadi Papa banyak pekerjaan, sama seperti waktu Alishba ijin sekolah, waktu itu Alishba ikut Mama ke Bali. Terus Bu guru, kasih tugas banyak buat Alishba, jadi Papa juga seperti itu. Tugas Papa sekarang banyak sekali." Jelas Britney, dan Alishba begitu memperhatikan Britney. Alihsba sangat fokus menyimak, apa yang Britney jelaskan.
Alishba mulai menatap sang Papa, tadi Pras hanya menunduk saja. Akhirnya kedua wajah itu bertemu.
"Papa, siapa yang memberikan tugas banyak ke Papa? Apa Papa juga punya guru seperti Alishba?" Tanya Alishba.
"Iya sayang, ada Pak Bos. Pak Bosnya Papa itu, sangat disiplin, jadi Papa harus mengerjakan tugas Papa tepat waktu." Ucap Pras dengan gaya yang tidak pernah berubah. Tengilnya itu nggak ilang-ilang, dan semakin seperti anak muda.
"Siapa Pak Bos itu Papa? Alishba mau kenal, Papa sama Mama juga kenal ibu gurunya Alishba." Tanya Alishba yang masih polos.
Anak-anak memang selalu penarasan, satu ucapan kata yang salah, pasti akan menjadi pertanyaan, lagi dan lagi. Pertanyaan itu tidak akan ada ujungnya, dan rasa penasaran itu semakin tinggi.
Britney dengan tersenyum berkata "Alishba, sudah sayang. Ayo buruan makannya, nanti kita bisa terlambat ke sekolah."
Britney yang sudah sarapan, dan mulai minum teh hangat. Masih tersenyum gemas, saat sang Putri kecilnya begitu menggemaskan.
Alishba cukup aktif dalam segala hal, bahkan banyak sekali pertanyaan yang dia ajukan, ketika sedang berkumpul dengan Papa dan Mama.
"Sayang, Papa mau siap-siap. Nanti Papa tunggu di mobil." Ucap Pras yang berdiri dan mengelus rambut Alishba, lalu bergegas pergi meninggalkan meja makan itu.
Alishba masih cemberut, Britney mulai menyeka bibir imut Alishba, yang terkena bekas susu vanila.
"Mama, Alishba mau ambil tas." Ucapnya, lalu beranjak dari tempat duduknya.
Britney hanya menggeleng saja. Butuh penyusaian baru untuk Alishba, padahal hanya satu minggu Alishba bersama Papanya.
Kenapa hal itu membuat Alishba jadi terbiasa. Mungkin Pras terlalu sibuk bekerja, jadinya sang anak butuh waktu berdua, ternyata satu minggu itu, cukup membekas dalam hati anaknya.
"Mas, anak kita sedih. Nanti Mas pulang sore saja." Ucap Britney, dan merapikan kerah kemeja yang dikenakan suaminya.
"Sayang, aku tahu. Nanti aku usahakan, agar bisa menjemput Alishba. Aku pagi ini juga ke RM, apa kita berangkat bereng aja?"
"Iya, Mas bawa mobil lama aja. Mobilnya Rendy biar di rumah. Nanti Mas masukan ke garasi." Ucap Britney, yang masih memegang dada suaminya dan wajah itu sangat dekat.
"Baiklah, ayo kita berangkat. Nanti Abah nungguin kita." Ucap Pras dan tidak lupa mengecup bibir istrinya.
"Emss. Iya Mas, aku ambil blazer dulu." Balas Britney dan pergi.
Pras lalu keluar dari kamar itu dan sangat tengil. Mulai mengeluarkan mobil istrinya dari dalam garasi, Alishba yang menuruni tangga, sudah menggendong tas merahnya.
"Sayang, semua sudah dibawa?"
Britney, lalu mengecek ulang semua yang ada dalam tas dan juga bekal Alishba.
"Mama, Alishba berangkat dulu ke sekolah." Ucap Alishba, dan mulai mencium tangan Mamanya.
Britney menatap putri kecilnya dan berkata, "Sayang, kita berangkatnya bareng. Mama sama Papa, mau antar Alishba ke sekolah. Nanti sore Mama sama Papa juga jemput Alishba."
"Mama beneran? Mama nggak bohong?" Tanya Alishba dengan penasaran dan suaranya sangat unyu.
"Beneran sayang, Papa sama Mama, nanti sore jemput Alishba, terus beli es krim." Jawab Britney, dan Alishba mulai memeluk sang Mama.
Mereka berdua sudah berjalan menuju mobil, Pras dengan cepat mengunci rumah, dan masih saja tidak ada pembantu di rumah itu. Karena segala sesuatunya, masih dengan kompak dikerjakan berdua.
"Papa, let's go." Teriak Alishba.
"Okey Baby." Suara Pras yang sangat nyaring, dan tersenyum tengil, sang istri menoleh ke arah anaknya yang sangat senang, dan tidak henti tersenyum gemas.
Mobil itu mulai melaju dengan cepat dan Alishba sangat senang. Papa dan Mama akan mengantar ke sekolah. Sudah lama sekali kedua orang tuanya tidak mengantar ke sekolah, biasanya Pras dan Britney bergantian, saat mengatur waktu khusus untuk anaknya.
"Mama, Alishba senang sekali." Suara itu begitu imut.
Saat ini mereka sudah ada di halaman sekolah Alishba. Yayasan swasta dan tidak hanya TK. Di sekolah itu, seperti tempat penitipan anak usia dini. Belajar, bermain dan banyak teman untuk Alishba.
"Benarkah?" Tanya Britney dengan gemas.
"Iya Mama. Alishba senang." Suaranya sangat menggemaskan.
Britney dan Pras tersnyum melihat anaknya yang sangat senang.
"Papa mau berangkat ke kantor. Alishba sekolah dulu, nurut sama bu guru. Nanti sore Papa sama Mama akan jemput Alishba." Ucap Pras, yang gemas dan Alishba masih dalam dekapannya.
Alishba mulai masuk ke dalam ruangannya. Pras mulai melepaskan tangannya, saat mengantar ke pintu masuk, dan Britney masih berbincang saat menyapa guru-guru Alishba.
...Selamat sekolah Alishba 😍😘...
Semoga kalian suka dengan cerita dalam bab ini.
Terima kasih untuk Like, Komentar dan Vote dari kalian semua. 🤗😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
EsterEka.
vava harus na km bersyukur punya keluarga yg sekali aja buat km dn mendukung dlm keadaan apa pun itu, terlebih lingga yg bersalah dan sikap gentlement na mau bertanggung jawab atas kesalahan na, hahaha tak kira arka bakal sm vava, tp sm maeva takdir dr author vie Mempertemukan kalian,
mas pras makin mesra and care bgt sm keluarga na, alisha kayak perangko sm papa na, nempel mulu, alishba pengen me time am papa na tuh.
2021-05-02
0
Asih Faza Karimatunnuzulla
hadir thor
2021-02-26
0
Noejan
Hadirr ☺
2021-01-18
0