"Saya akan menikahi Rachel Sasmita Wijaya."
Pria itu mengulangi perkataan lagi dengan penekanan yang lebih dalam.
"What? Are you crazy?" Rachel membulatkan mata dengan penuh geraman. Menunjukkan ekspresi ketidaksetujuan yang begitu kental.
Akan tetapi, berbeda dengan reaksi yang orang tuanya lakukan.
"Baik lamaran mu saya terima, hubungi orang tuamu dan kita urus pernikahan kalian dengan secepat mungkin." Wijaya kembali berucap lantang tanpa keraguan.
Rachel membelalak. Jantungnya bergemuruh hebat dengan tubuh yang langsung terguncang. Seolah kilat baru saja menyambar dirinya. Sama sekali tak mengerti dengan kegilaan yang terjadi. Jika tujuannya untuk memberikan efek kejutan, tentunya sudah berhasil. Karena saat ini dirinya benar-benar terkejut luar biasa.
"Tunggu! tunggu dulu! Apa maksudnya ini? Menikah? Siapa dengan siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan kamu dengannya."
"Me? With him?" Rachel melototkan mata pada pria yang saat ini duduk tenang di sofa. Bahkan dengan santainya mengumbar senyum tipis penuh percaya diri. "Oh, NO!" tolaknya lantang.
"Tak ada penolakan. Kalian harus menikah sebelum foto-foto ini tersebar dan merusak reputasi Daddy di kampus!"
"Dad!" teriak Rachel dengan frustrasi. "Aku ini bukan kucing yang dinikahkan begitu saja dengan mudahnya. Lagi pula, Daddy dan mommy juga belum mengetahui asal usul laki-laki ini. Latar belakang keluarganya, bibit, bebet, dan bobot. Aku tidak mungkin menikah begitu saja dengan laki-laki asing!" seru Rachel. Menunjukkan penolakan luar biasa.
"Rachel, kamu pikir Daddy sebodoh itu? Daddy tidak mungkin menikah kamu dengan orang yang tidak benar. Daddy sudah mencari tahu seluruh informasi tentang dirinya sampai ke akar-akar sebelum memutuskan hal ini."
"But, dad ... I never do that." Rachel memekik. Sorot mata bulatnya menyiratkan permohonan teramat sangat. "Dan pria ini ... Aku benar-benar tidak mengenalinya. Bahkan aku baru melihat wajahnya saat di bandara tadi. Entah dia orang gila dari mana, yang pastinya ini semua hanya akal-akalannya saja!"
"Sayang, jangan sembarangan mengatai orang seperti itu!" Seru Amitha.
"Tapi ini memang benar, Mom. Bagaimana pun ini semua tidak masuk akal!"
Rachel mencengkeram kepala dengan kedua tangan. Kepalanya benar-benar terasa hampir meledak. Ia membisu sekian detik lamanya lalu, terburu-buru meraih tas tangan yang tergeletak di atas meja.
"Rachel, mau kemana sayang?" tanya Amitha.
"Aku harus mencari tahu asal usul foto itu juga pria ini!"
"Stop! kembali duduk. Kamu belum boleh pergi ke mana-mana," tahan Wijaya.
"Tapi, Dad ...."
"Daddy bilang duduk, ya, duduk!"
"Aku tak bisa menerima ini, Dad. Aku harus mencari tahu. Bisa saja 'kan dia mengatur semua ini untuk menipu kita?"
"Jangan mengada-ada, foto itu sendiri sudah menjadi bukti kesalahanmu, dan kamu harus bertanggung jawab untuk itu, titik!"
Rachel terpaku di tempat. Ia mengatupkan kedua bibir rapat-rapat dan termangu, tapi hatinya bergemuruh hebat di dalam sana. Bola matanya sampai berkilat-kilat penuh amarah, menunjukkan sikap permusuhan luar biasa pada laki-laki yang masih saja duduk tenang tanpa rasa bersalah.
Menarik napas panjang, Rachel pun kembali berkata. "Kalau begitu berikan waktu untuk aku dan dia bicara empat mata," pintanya.
"Okey, no problem. Kalian berdua memang perlu berdiskusi dan saling mengenal sebelum menikah. Tapi sebelum itu berikan paspormu Rachel?"
"Pasporku? Buat apa?" tanya Rachel dengan heran.
"Yah, untuk jaga-jaga. Mungkin saja kamu akan kabur setelahnya."
"Astaga, Dad. Segitu tak percayanya Daddy padaku?"
"Daddy itu sangat mengenalmu, Rachel. Kamu punya seribu cara untuk bisa kabur dari rencana itu. Dan Daddy sama sekali tidak menginginkan hal itu," tukas Wijaya.
Rachel langsung merogoh tas tangan kesayangannya, mengeluarkan paspor dan langsung menyerahkannya pada Wijaya. Kemudian bergegas keluar bersama dengan pria aneh nan misterius yang bahkan namanya saja tidak ia ketahui.
* * *
Sedan hitam kini melaju dengan santai, alunan musik saxophone milik Kenny G mengalun lembut dari celah-celah audio mobil.
Kini Rachel sudah terduduk diam di atas mobil milik pria itu. Pandangannya lurus ke depan mengamati aspal yang mereka lewati. Sementara otaknya berfikir keras menyusun rentetan pertanyaan untuk pria di sampingnya.
"Aku tidak menyangka kamu berani keluar berdua dengan orang asing sepertiku," tanya pria itu tiba-tiba dan berhasil memecah keheningan.
Rachel mengembuskan napas panjang, memutar bola mata lalu, membalas perkataan pria itu dengan malas. "Kamu sendiri sadar kalau kamu itu orang asing untukku. Kenapa malah nekat mau menikah denganku?"
Pria itu tidak segera menjawab pertanyaan Rachel, dia hanya melirik sekilas dan tersenyum tipis, kemudian kembali membisu. Hanya helaan napas panjangnya yang terdengar beberapa kali.
Hal itu mengundang rasa penasaran Rachel, hingga membuat wanita itu refleks melirik ke arah pria tersebut.
Pria dengan struktur rahang yang tegas. Hidung tinggi bak perosotan, serta alis tebal yang berbaris dengan teratur. Jelas pria itu orang asing bagi Rachel, tapi entah mengapa terasa sedikit familier. Seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Entahlah, Rachel sama sekali tidak mengingat di mana pastinya. Dan tak ingin repot-repot untuk sekedar mengingatnya.
"Masih menuntut jawabannya?" tanya pria itu lagi. Menyentak Rachel dari keterpakuan menatap wajahnya.
"Doesn't every question need an answer?"
Rachel bertanya balik disertai kepala yang ikut menoleh ke samping. Bersamaan dengan pria itu yang juga menoleh ke arah Rachel. Membuat keduanya secara tak langsung saling bertatapan.
Tatapan mata Rachel menyiratkan sejuta rasa penasaran, tapi pria yang menatap dengan sangat lekat itu malah memberikan tatapan yang sangat sulit untuk dijabarkan selama sekian detik dan lekas mengalihkan perhatian kembali ke jalan di depan sana.
"Hmm ... Aku akan menjawab semua rasa penasaranmu itu, tapi sebelum itu ...."
Pria itu kembali tersenyum tipis lalu melirik jam tangan mahal yang melingkar pada pergelangan tangan. "Kau tidak lapar? sekarang sudah jam delapan malam dan aku belum makan apa-apa sejak terakhir kali di pesawat tadi. Sepertinya kamu juga begitu. Bagaimana kalau kita bicara sambil dinner?"
Rachel berfikir sejenak, ia melirik jam di pergelangan tangannya yang memang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit.
"Okey, up to you," jawabnya malas.
Pria itu menyeringai tipis dan segera memutar kemudi berbelok ke kawasan kuliner. Berhenti tepat didepan Restoran seafood khas Indonesia.
Tanpa menunggu aba-aba dari pria itu, Rachel langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke restoran dengan langkah anggun. Meninggalkan pria yang datang bersamanya jauh berjalan di belakang.
Restoran bergaya rustic dengan nuansa tradisional itu tidak begitu ramai, mungkin karena sudah lewat dari waktu jam makan malam. Hanya ada beberapa pasang keluarga yang terlihat, sehingga mereka bebas memilih tempat dengan pemandangan alam terbuka. Suara gemericik air dari kolam ikan terdengar jelas dari tempat mereka berdua yang kini sudah duduk saling berhadapan.
"Mau makan apa?" tanya pria itu, sambil membuka-buka buku menu.
"Aku tidak lapar."
"Di sini tidak ada menu tidak lapar."
"Aku bilang, aku tidak lapar!" Rachel memberi penekanan dalam perkataan.
"Bagaimana kalau pesan yang sama denganku?"
Dengan kesal, Rachel menyambar buku menu di tangan pria itu. "Kamu tidak dengar aku bilang apa?"
"Memangnya kamu bilang apa? Dari tadi kamu belum menyebutkan makanan apa yang kamu mau."
Pria itu menatap Rachel dengan kedua alis yang terangkat menunggu jawaban.
Rachel membuang napas kasar. Ia cukup lelah untuk meladeni kekonyolan pria itu, dan memilih menyerah.
"Pesankan Orange juice saja. Hanya itu. No other!"
Senyum pria itu terkembang. Ia menaikkan tangan memanggil seorang waiters dan dengan lincahnya memesan cukup banyak menu.
Diam-diam Rachel mengamatinya dengan seksama. Cahaya lampu yang sedikit dibuat remang, membuat pantulan cahaya itu memantul pada sebagian sisi wajahnya. Membuatnya terlihat sangat tampan tapi juga sedikit misterius.
"Aku tampan, ya?" tanya pria itu tiba-tiba, membuyarkan lamunan Rachel.
Rachel jadi gelagapan ketahuan mengagumi wajah tampan itu. Iris mata berwarna coklat muda berpadu hijau keemasan yang bening menatap Rachel dengan lembut, membuat wanita itu tiba-tiba canggung menerima tatapannya. Sebelum akhirnya Rachel tersadar akan tujuan sebelumnya.
"So, who are you? Apa tujuanmu melakukan hal ini? aku tahu jelas kalau itu bukan kamu. Terlihat jelas kalau postur tubuhmu dari belakang berbeda dengan pria yang ada dalam foto itu. Aku bukan orang bodoh yang tidak bisa membedakannya, dan jelas juga kamu tidak sebodoh itu sampai mau bertanggung jawab atas hal yang tidak kamu lakukan. Lagi pula aku ini baik-baik saja, i'm not pregnant. Jadi, beri penjelasan padaku sekarang juga."
"Namaku Mahavir Alister." Pria itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan kanan ke depan.
Rachel sedikit ragu tapi akhirnya ia menyambut tangan itu dan menjabatnya sekilas.
"Kalau kukatakan aku adalah dewa penolongmu, apa kamu percaya?" lanjut pria bernama Mahavir itu.
Rachel menaikkan satu alis, pertanda heran dengan perkataan pria itu.
"Tak usah menatap seolah aku adalah seorang penjahat kelas kakap. Aku tidak seburuk itu."
Rachel mendengkus dan memutar bola mata. "Tak ada orang jahat yang mau mengaku kalau dia buruk."
Pria bernama Mahavir itu langsung terkekeh dan geleng-geleng kepala. "Aku tahu, kok, kamu tidak melakukan hal memalukan di foto tersebut. Pria di foto itu juga memang benar bukan aku, tapi wanitanya memang benar dirimu."
"Kamu!"
"Dengarkan dulu sampai selesai. Jangan menyela perkataanku."
Rachel sekali lagi mendengkus. "Baiklah, lanjutkan."
"Tanpa kamu sadari, hari itu kamu menjadi salah satu korban dari kelompok yang merupakan sindikat penipuan dan pemerasan yang sering melancarkan aksinya di hotel-hotel besar. Akan panjang kalau aku menceritakannya sekarang, akan lebih baik pula kalau kamu tidak mengetahui kronologi kejadian hari itu."
Rachel menautkan kedua alis tak mengerti.
"Lalu, apa hubungannya dengan kamu yang mau menikah denganku?"
"Karena foto-fotomu yang terlanjur tersebar. Walau pun kamu memang tidak melakukan apa pun, tapi foto-foto itu sudah terlanjur tersebar di dunia maya dan ikut menyeret namaku."
"Kenapa namamu bisa terseret?" tanyanya semakin tidak mengerti.
"Karena aku mengaku jika kita sepasang suami istri yang baru menikah."
"APA?!" Bola mata Rachel membulat penuh.
"Calm down. Dengar dulu penjelasanku."
"Penjelasan seperti apa?"
"Sebagai pemilik hotel tempat kejadian tersebut, aku harus menjaga keamanan dan kepercayaan para tamu. Kalau mereka mengetahui hotel milikku kebobolan sindikat penipu, bisa langsung jatuh di mata orang-orang."
"Dengan cara mengorbankanku?"
"Justru aku ikut membantumu. Dengan pengakuanku, nama besarmu tidak ikut tercoreng. Dengan kata lain kita saling membantu jika menikah."
Rachel mengernyitkan dahi. Kedua tangannya disilangkan ke depan dada dan sedikit memajukan wajah ke depan. Seakan menantang pria dihadapannya. "Kenapa kamu harus repot-repot membantuku?"
"Karena namaku sudah dibawa-bawa kedalam masalah ini," ujar Mahavir, ikut memajukan wajah ke depan hingga jaraknya lebih dekat ke wajah Rachel.
"Tapi 'kan kita masih bisa mencari jalan keluar yang lain!" Rachel tak mau kalah.
"Sepertinya cuma ada satu jalan keluar." Pria itu bersikeras.
"Tapi tidak juga dengan menikah!"
"Mau tidak mau, kita harus melakukannya." Mahavir berucap dengan tegas.
"Tapi sayang sekali, aku sama sekali tidak mau menikah!" seru Rachel, dia memberikan tatapan tajam dan dingin ke Mahavir.
"Itu hal yang tidak bisa kamu putuskan seorang diri," ujar Mahavir, memundurkan wajah dan tubuh ke belakang hingga bersandar ke kursi lalu menyilangkan kedua tangan di depan dada. Menunjukkan gesture tubuh yang sama kuatnya dengan wanita angkuh di depan sana.
Emosi Rachel mulai naik ke ubun-ubun, dengan kesalnya dia bangkit dari duduk dan memukul meja dengan keras, membuat orang-orang sontak melihat ke arahnya.
"I'ts my life. Ini kehidupanku, kuputuskan sendiri. Tak ada orang lain yang bisa mengaturku seenaknya!" teriak Rachel.
Mahavir masih terduduk dengan santai sambil menguljm senyum tipis.
"Apa sampai saat ini kau belum membuka media sosialmu? Apa kamu sesibuk itu hingga tidak mendengar satupun berita tentang dirimu? Aku yakin rumor dirimu dengan diriku saat ini sudah panas diperbincangkan di jagat dunia maya."
"Ma-maksudmu?"
"Duduklah dulu, dan coba nyalakan ponselmu. Kamu akan mendapatkan jawabannya."
Rachel akhirnya duduk kembali, buru-buru mengambil ponsel dari dalam tas dan mengaktifkannya.
Ting ... ting ... ting ...
Serentetan bunyi pesan masuk. Rachel membuka salah satu akun sosial media, dan ternyata benar.
Rumor tentang dirinya membanjiri halaman depan akun gosip yang tidak bertanggung jawab.
Rachel memperbesar foto postingan terakhir, dan sukses membuatnya terperanjat. Tangan kirinya bergerak membekap mulut sendiri yang sempat ternganga saking terkejutnya.
"Inikan Foto di bandara tadi? tapi ... Kamu
..?" Rachel terkejut bukan main tatkala melihat begitu banyak postingan yang memuat potret dirinya dengan pria dihadapannya itu.
"Kamu tidak sadar bukan kalau sudah menjadi incaran para netizen? Karena itulah tadi aku mengambil inisiatif untuk mendekatimu, agar mereka bisa menangkap foto bersama kita dan benar-benar percaya jika kita berdua memang benar-benar sepasang pengantin baru.
Rachel yang terperangah mendengar cerita itu, hanya bisa terus menscroll laman berita di ponsel. Dan semakin terkesiap kala melihat banyak foto-foto lainnya yang memuat dirinya bersama dengan pria itu dalam satu frame. Entah itu di sengaja atau tidak, yang jelasnya, orang-orang akan berpikir mereka memang memiliki hubungan.
Rachel bergidik ngeri melihat laki-laki itu.
"You stalked me?"
"Don't worry, aku sudah bilang aku bukan orang jahat. Aku ini penggemar fanatikmu, Yang sejak dulu sudah terpikat padamu."
Bola mata cokelat Rachel bergulir menelisik pria di hadapannya dengan saksama.
"Who are you? Siapa kamu sebenarnya?"
"Apa setelah mengenaliku, kamu akan bisa menerimaku?"
"Tergantung siapa dirimu!"
"Okey. Aku adalah anak tunggal dari keluarga Alister. You know Alister?"
"Apa salah satu keluarga berpengaruh di London?"
Mahavir tersenyum tipis. "Ayahku adalah James Alister pemilik dari Alister Corporation"
Rachel memicingkan mata mencoba mengingat nama Alister yang cukup sering didengarnya. Sepertinya dia pernah melihat profil James Alister di salah satu majalah bisnis.
"Apa dia pemilik jaringan Hotel terbesar di Eropa dan Asia?" Ujar Rachel memastikan.
Pria itu hanya mengangguk tanpa melepaskan pandangan ke arah Rachel.
"Wow unbelievable. Ternyata kamu sehebat itu. Kalau begitu, sekali lagi aku tanya, apa motifmu yang sebenarnya? apa yang anda mau Mr. Mahavir Alister?"
Mahavir mencondongkan tubuh ke depan kembali dan mengunci tatapan matanya ke arah Rachel. "Kamu lupa? aku sudah katakan berkali-kali sejak tadi, jika aku ingin menikah denganmu," tegasnya, menunjuk ke wajah Rachel yang mulai terlihat memerah saking menahan ledakan emosi.
"Kamu juga sudah lupa? Aku juga sudah berkali-kali katakan jika aku tidak mau menikah!" tukas Rachel tak mau kalah.
"Kamu tidak punya pilihan lain, Rachel. Kecuali kalau kamu mau reputasimu jatuh dan nama baik orang tuamu tercoreng. Asistenku di London sudah menanganinya dengan baik, bila kamu menolak, yang malu kamu sendiri. Lagipula kamu pun tidak akan rugi menikah denganku bukan? bagaimana?"
"Kenapa begitu??"
"Yah, karena status dan latar belakangku akan membuatmu semakin naik daun. Ingat, aku bukan orang sembarangan, begitu banyak wanita yang mengejar-ngejar ku di luar sana, dan itu pasti suatu keuntungan buatmu bisa menikah denganku," ujarnya percaya diri, mencoba berkompromi.
"Percaya diri sekali, Anda?"
"Karena aku memang orang yang seperti itu. Aku tidak akan percaya diri ini jika tidak layak bersanding denganmu."
"Mengapa kamu begitu ingin menikah denganku?"
"Karena kamu cantik," jawab Mahavir dengan santai. "Lalu apa alasanmu tidak mau menikah denganku?" tanyanya balik.
Rachel kembali mengernyit. "Karena aku tidak mengenalmu!"
"Aku mengenalmu dengan baik, dan kamu bisa pelan-pelan mengenalku. Bagaimana?"
"Aku tidak menyukaimu!" seru Rachel kembali. Memberi penolakan besar.
"Bagian mana dariku yang tidak kamu sukai?"
"Pokoknya aku tidak mau menikah denganmu!"
"Tapi aku sangat ingin menikahimu."
"Kamu ini tuli atau apa?"
"Pendengaranku masih berfungsi dengan baik. Tapi dalam kamusku tidak ada penolakan."
"Dan dalam kamusku tidak ada pemaksaan!"
"Kalau begitu, kita lihat saja. Kamus siapa yang menang," ucapnya sambil menyunggingkan senyum kemenangan.
"Apa kamu mencintaiku?" tanya Rachel kemudian setelah lama terdiam.
Mahavir sedikit tersentak ditodong pertanyaan itu. Ia mendadak salah tingkah dan ekspresi mukanya berubah seketika. Dengan segera ia meneguk air putih yang barusan saja diantar oleh seorang waiters.
"Emm ... Makananku sudah datang. Kalau begitu, aku makan dulu, sejak tadi aku sudah lapar. Okey?"
Pria itu mengerlingkan mata, membuat Rachel semakin bergidik melihatnya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Mabuok Hape
mm, baru masuk ni mbak chitrana....
cerita nya .....ku baca dulu.
nanti baru coment...☺️
2022-10-15
0
Catharina GaniRosa
bagus ceritanya, penulisan sangat Rapi dan mudah dibaca.
2021-02-17
1