Akhirnya dengan berat hati Pakde Adi memberikan restu untuk Giwang dan Agung.
“Ingat uang dua juta ini hanya untuk membayar makan si Giwang selama tinggal di sini,” ujar Bude Nanik ketus.
“Ibu,” suaminya tidak setuju dengan ide istrinya.
“Sudah Bapak meneng wae,” istrinya kembali menatap pria yang duduk sembari menundukkan kepalanya.
“Ingat kamu harus menyiapkan uang untuk acara kalian,” ujar wanita paruh baya itu sembari sibuk dengan uang yang di tangannya.
“Maaf Bude, saya tidak punya uang lagi, jika di izinkan saya mau menikah dulu dengan Giwang dan setelah ada uang kami akan mengadakan resepsi,” ujar Agung.
“Jadi kamu mau nyoblos dulu gitu!” seru Bude Nanik marah.
“Bu bukan begitu saya hanya belum ada uang,” jelasnya gugup.
“Yo wes kamu nikahi saja dulu Giwang setelah ada uang rayakan pernikahan kalian,” timpal Pakde Adi.
“Ibu enggak setuju,” ujar istrinya sewot. Pakde Adi langsung menarik tangan istrinya masuk ke bagian dalam rumahnya.
“Sudah toh Bu, sekarang ada pria baik-baik mau melamar Giwang, terus Ibu memaksanya untuk resepsi, mana ada uangnya Bu,” pria paruh baya itu mengambil uang yang ada di tangan istrinya.
“Loh Pak, kok di ambil,” istrinya bingung.
“Bapak mau mengembalikan uang ini ke Agung,” sahut suaminya.
“Ojo toh pak,” Bude Nanik menahan tangan suaminya agar tidak masuk ke ruang tamu.
“Yo wes tak biarkan mereka menikah, tapi aku enggak setuju kalau si Giwang tinggal di sini,” ujar istrinya.
Tidak ada yang bisa di lakukan suaminya selain merelakan Giwang menikah agar terbebas dari omelan istrinya dan terbebas dari pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah ada habisnya.
Giwang mendengarkan itu semua, dia sedih karena Budenya sangat membencinya.
Pakde Adi dan Bude Nanik kembali ke ruang tamu. Dan duduk berhadapan dengan Agung.
“Kami merestui kamu dan Giwang menikah,” ujar Pakde.
“Tapi uang nikah cari sendiri,” timpal Bude Nanik. Suaminya langsung menatapnya dan Bude Nanik langsung memasukkan uang yang dua juta ke dalam bh miliknya.
“Saya akan mencari uang untuk pernikahan kami,” ujar Agung senang.
“Yo wes, kapan kamu akan menikahi Giwang?” tanya Pakde lagi.
“Secepatnya Pakde,” sahutnya.
Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya, ada rasa sedih ketika harus melepaskan keponakannya yang sudah seperti anaknya sendiri.
“Pakde akan memanggil Giwang,” pria paruh baya itu masuk ke dalam dan tentu saja dengan menarik paksa istrinya agar mau masuk ke bagian dalam rumahnya.
“Ayo masuk,” tarik suaminya.
Tidak berapa lama Giwang keluar.
“Pakde sudah merestui kita,” ujar Agung senang.
“Iya Mas, aku sudah mendengar semuanya.” Tidak ada rasa kebahagiaan dalam dirinya.
“Kamu kenapa dek?” tanyanya.
“Mas mau cari uang di mana lagi?” tanya Giwang kasihan.
Agung bingung, kerjanya serabutan dan untuk mengumpulkan uang dua juta itu tidaklah mudah untuknya dan kenyataannya uang itu tidak bisa di pakainya untuk biaya menikahi Giwang, uang itu malah di ambil Bude Nanik.
“Nanti Mas pikirkan, yang jelas Mas akan menikahi kamu,” pria itu pamit dan segera pergi dengan motor bututnya.
“Apa motor ini aku jual,” gumam Agung.
Di kamar Giwang senang akan segera keluar dari rumah itu tapi di satu sisi dia sedih harus berpisah dengan Pakde Adi dan Yayuk.
Tiga hari kemudian.
Agung datang ke kediaman Pakde Adi dan Bude Nanik.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Dodit yang kebetulan sedang duduk di bawah pohon sembari bermain gitar.
“Aku mau bertemu Pakde Adi,” sahutnya.
“Iya tapi ada urusan apa?” tanya Dodit ketus.
“Aku sudah ada uang untuk menikahi Giwang,” sahutnya lagi.
“Oh jadi si Giwang mau nikah,” Dodit tersenyum mengejek, dia berdiri dan memperhatikan Agung dari atas sampai bawah.
“Uang pajak,” Dodit menyodorkan tangannya ke arah Agung.
“Uang?” Agung bingung.
“Sebelum kamu menemui Bapakku, bayar uang pajak,” Dodit tetap menyodorkan tangannya di hadapan Agung. Dengan terpaksa Agung merogoh saku celananya dan menyerahnya uang lima ribu ke Dodit.
“Lima ribu? Kamu pikir aku anak SD,” gerutu Dodit.
“Tapi...” Agung bingung, jika dia menunjukkan uangnya ke hadapan Dodit pasti pria itu akan mengambil semua uangnya, padahal uang itu untuk biaya menikah.
“Aku tidak punya uang banyak, uang ini untuk biaya menikah kami,” jelas Agung.
“Aku tidak minta banyak, cukup selembar uang merah sudah cukup,” ujar Dodit.
Tidak ada pilihan lain selain menyerahkan uang seratus ribu ke Dodit.
“Ni,” Agung meletakkan uang itu di telapak tangan Dodit.
“Pintar,” Dodit tersenyum dan berjalan ke arah motornya.
“Loh mau ke mana?” tanya Agung bingung.
“Mau main,” sahut Dodit sembari menyalakan motornya.
“Tapi kamu belum memanggilkan Bapak kamu?” tanya Agung bingung.
“Panggil sendiri, aku bukan budak mu,” Dodit tersenyum. “Hei,” ujar Dodit lagi.
Agung membalikkan badannya melihat ke arah Dodit.
“Kalau belum ada modal enggak usah maksa kawin,” ujar Dodit dan segera berlalu meninggalkan pekarangan rumahnya dengan mengendarai motor.
“Ibu dan anak sama saja,” gerutu Agung dan berjalan mendekati pintu.
Mengetuk pintu dan tidak berapa lama Giwang keluar.
“Mas Agung,” Giwang tersenyum. Menurutnya kedatangan Agung akan membawakan kabar baik untuknya.
“Mas sudah ada modal nikah,” Agung menunjukkan uang yang ada di dompetnya.
“Simpan jangan di keluarkan,” bisik Giwang sembari memperhatikan keadaan rumah Pakde Adi.
“Kenapa?” tanya Agung bingung.
“Nanti di ambil Bude,” bisik Giwang lagi.
“Siapa yang datang!” teriak Budenya.
“Mas Agung,” teriak Giwang.
Wanita paruh baya itu langsung berlari menuju ruang tamu. Dia ingin melihat uang yang di bawa Agung.
“Loh ada Agung,” ujar Pakde Adi yang baru tiba dari bekerja.
“Pakde baru pulang?” tanya Agung penasaran.
“Lah iya, pabrik baru tutup,” sahut Pakde Adi.
Agung merasa di kerjai Dodit, kenyataannya Pakde Adi tidak di rumah dan baru pulang, dia rugi seratus ribu.
“Motor kamu mana?” tanya Pakde.
“Sudah saya jual untuk modal nikah,” sahut Agung.
“Oh,” pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya.
“Jadi berapa uang yang kamu dapat dari hasil menjual motor?” tanya Bude Nanik.
Agung ingin menyebutkan nominal yang di dapatnya tapi Giwang menyenggol lengan pria itu.
“Sudah tidak usah di sebutkan, urus saja surat-surat kalian, jika sudah di urus dan tanggalnya sudah di tetapkan Pakde akan menikahkan kalian,” ujar pria paruh baya itu.
“Baik Pakde,” sahut Adit.
***
Keesokan harinya
Agung dan Giwang mengurus surat-surat pernikahan mereka, dalam satu hari semua surat selesai di urus.
Dan jadwal pernikahan mereka di adakan dua hari lagi.
“Mas, aku pakai baju apa nanti?” tanya Giwang.
“Uang Mas tinggal ini,” Agung menunjukkan sisa uangnya.
“Kalau beli kebaya cukup tidak?” tanya Agung.
“Enggak tau Mas,” Giwang memikirkan cara agar calon suaminya tidak mengeluarkan uang lagi.
“Mas, kita ke rumah Siti,” ajak Giwang. Dengan sepeda ontel mereka pergi ke rumah Siti.
“Duh mesranya,” goda Siti ketika melihat sahabatnya datang dengan sepeda ontel dan diboncengi kekasih hatinya.
Giwang tersenyum dan langsung menceritakan tentang pernikahannya yang akan di adakan dua hari lagi.
“Di mana nikahnya?” tanya Siti.
“Di kantor KUA, kami tidak punya tempat dan menurutku lebih baik di sana,” jelasnya.
“Oh gitu, jadi kamu mau aku bantu apa?” tanya Siti.
“Bisa pinjamkan aku kebaya sehari saja, uang kami tidak cukup untuk menyewa ataupun membeli kebaya,” jelas Giwang.
Siti masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan membawa kebayanya.
“Ini untuk kamu, aku sudah tidak cukup memakai kebaya itu,” ujar Siti.
Semenjak menikah badan Siti lebih berisi dari yang dulu.
“Apa kamu yakin?” tanya Giwang lagi.
“Iya sayang, itu untuk kamu, dan untuk riasan aku akan memanggil perias dan soal biaya aku yang akan bayar,” ujar Siti.
“Terima kasih,” Giwang senang dan kedua sahabat itu saling berpelukan.
Bersambung...
Bantu Vote ya
Ig anita_rachman83
🌷🌷
Plagiarisme melanggar Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
@☠⏤͟͟͞R Atin 🦋𝐙⃝🦜
Kasian giwang pakdhe
2024-05-29
0
Atin⁰¹
Sahabat yg baek
2024-05-26
0
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Pengertian banget Siti
2022-04-01
0