Menangis tidak akan ada gunanya, karena suaminya juga tidak akan mendengar tangisannya.
Tidak ada yang di tinggalkan Agung untuk istrinya. Uang makan sama sekali tidak di tinggalkan, mau tidak mau untuk bertahan hidup sampai dapat kiriman dari suaminya, dia harus kembali berjualan.
Giwang membuka dompetnya. Terlihat ada uang kertas ribuan yang lecek. Dia menghitung uangnya. Uang yang di dapatnya dari hasil berjualan.
“Ada dua ratus ribu, ini bisa aku gunakan untuk modal jualan kue,” gumamnya semangat.
Dengan sepeda ontel dia pergi ke warung untuk membeli bahan, dan di sana dia bertemu Bude Nanik.
“Bude,” sapa Giwang dengan menundukkan kepalanya.
“Mau ngapain kamu di sini?” tanya Budenya ketus.
“Mau membeli bahan kue,” sahutnya.
Tiba-tiba wanita paruh baya itu tertawa. “Pasti si Agung tidak sanggup membiayai hidup kamu, makanya dia meminta kamu untuk jualan,” ejek Budenya dan terdengar pembeli yang lain.
“Tau enggak, si Giwang ini sewaktu tinggal di rumahku, makannya banyak banget, sekarang suaminya tidak sanggup,” Budenya bergosip dengan pembeli yang lain.
Giwang buru-buru membeli bahan untuk membuat kue, dia tidak ingin mendengar fitnah yang di ucapkan Budenya.
“Ya Allah, kenapa masih saja Bude membenciku, berikan aku kebahagiaan,” gumamnya sembari menaiki sepeda ontel satu-satu miliknya.
Giwang berpikir untuk menemui Siti dan menanyakan tentang kepergian suaminya.
Temannya terlihat sedang duduk di beranda sembari memegang ponsel.
“Giwang,” Siti menyambut temannya.
“Lihat, Mas Paijo membelikan ponsel baru untukku,” Siti menunjukkan ponsel baru yang di milikinya.
Giwang tersenyum, seumurnya belum pernah mempunyai benda kecil yang berbentuk persegi panjang.
Siti mengajaknya untuk berfoto. “Lihat kameranya bagus banget,” ujar Siti senang. Dan dia lupa menanyakan maksud kedatangan temannya ke rumahnya.
“Sit,” ujar Giwang pelan.
“Iya,” Siti terlihat sibuk berselfie ria.
“Apa kamu tau tentang keberangkatan Mas Agung dengan suami kamu?” tanyanya.
Mendengar penuturan temannya Siti meletakkan ponselnya.
“Tau, memangnya kenapa?” tanya Siti penasaran.
“Mas Agung tidak mengatakan ini sebelumnya ke aku,” ujar Giwang.
“Yang benar? Mas Agung bilang sudah mengatakan ke kamu dan katanya kamu setuju,” ujar Siti mengatakan seperti yang di katakan Agung kepadanya.
“Memang Mas Agung mengatakan kepadaku ingin pergi bersama Mas Paijo ke kota, tapi aku tidak setuju, dan dia pergi diam-diam tadi malam,"
Giwang menunjukkan surat yang di tinggalkan Agung untuknya.
Siti membaca surat itu. “Duh kenapa Mas Agung berbohong,” ujar Siti.
“Mungkin dia sengaja mengatakan seperti itu agar Mas Paijo mengizinkannya ikut,” sahut Giwang.
“Mungkin juga, tapi kamu tidak perlu khawatir, Mas Agung akan mengabari kamu dan mengirimkan uang untuk kamu,” ujar temannya.
“Terima kasih mau mendengar semua kisah ku,” ujar Giwang.
“Ah seperti orang lain saja, kita sudah bersahabat sejak kecil sampai sekarang,”
Giwang pamit pulang dan Siti melihat ada bungkusan plastik yang tergantung di sepeda milik temannya. “Kamu baru belanja?” tanya temannya.
“Iya, belanja untuk jualan besok,” sahutnya.
“Loh kenapa jualan, kamu tunggu saja kiriman dari Mas Agung,” ujar temannya sembari menatap Giwang yang sendu.
“Apa uang dari Mas Agung kurang?” tanya temannya lagi.
“Enggak kurang,” sahut Giwang.
“Kalau enggak kurang kenapa harus jualan, sudah cukup kamu berjualan sedari sekolah menengah pertama dan sekarang setelah menikah masih berjualan lagi,” temannya menggelengkan kepalanya.
“Mas Agung tidak meninggalkan uang sepeser pun,” ujar Giwang.
“Apa! Suami macam apa yang pergi tidak meninggalkan uang untuk istrinya,” gerutu Siti.
“Mungkin Mas Agung tidak punya uang lagi, makanya tidak meninggalkan uang untukku,” Giwang membela suaminya.
“Aduh Giwang, kamu itu terlalu baik apa terlalu lugu,” ujar Siti sewot. “Kamu itu sudah menjadi tanggung jawabnya, pergi bekerja di luar kota bukan melepaskan tanggung jawab begitu aja,” gerutu temannya.
“Enggak usah jualan, pakai saja uangku dulu,” ujar Siti.
“Terima kasih tapi aku akan tetap jualan,” Giwang pergi meninggalkan rumah temannya.
“Giwang-giwang kamu itu terlalu baik, tidak pernah membantah sama sekali,” gumam temannya.
Di dalam perjalanan pulang Giwang memikirkan ucapan temannya tentang tanggung jawab, tapi dia menepis pikiran buruk tentang suaminya.
***
Di kota
Agung dan Paijo baru tiba, sementara waktu dia tinggal di kos Paijo sampai mendapatkan pekerjaan. Paijo mengabari istrinya jika dia sudah sampai dengan selamat.
Sedangkan Agung sedang membuat surat lamaran yang akan di titipkannya ke Paijo besok.
Keesokan harinya Paijo membawa surat lamaran temannya. Dia menunjukkan surat lamaran itu kepada atasannya.
“Kita tidak membutuhkan cleaning service lagi,” ujar atasannya.
“Tapi kasihan teman saya, tolong Pak,” ujar Paijo memohon. Pria yang berumur itu, terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Apa teman kamu bisa menyetir?” tanya pria itu.
“Tentu bisa Pak, dia kerja di bengkel dulunya, dia paham dengan mesin,” sahut Paijo.
“Bagus kalau begitu, besok datang jam delapan pagi,” ujar pria paruh baya itu.
Paijo bekerja di perusahaan otomotif, karena tidak mempunyai keahlian dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih dan tentunya juga mendapatkan gaji yang lumayan besar di bandingkan kerja di kampung.
***
Di kampung
Giwang menjajakan dagangannya ke warga kampung, dalam sekejap kue yang di jualnya habis.
“Alhamdulillah,” gumamnya senang. “Kalau setiap hari aku dapat uang seratus ribu, Mas Agung tidak perlu bekerja lagi di kota,” gumamnya senang. Mampir ke warung dan membeli bahan kue untuk besok.
Di warung dia bertemu dengan Budenya lagi.
“Ada yang baru seminggu nikah di tinggal suaminya,” ejek Bude Nanik. Dan Ibu-ibu yang ada di situ langsung berbisik-bisik. Dengan cepat kepergian Agung tersebar di kampung.
“Biasanya umur pernikahan yang masih seumur jagung lagi mesra-mesranya tapi ini,” Bude Nanik mengejek keponakannya.
“Pasti sudah enggak perawan makanya suaminya kabur,” ujar salah seorang wanita.
“Mas Agung mencari pekerjaan di kota Bude,” jelas Giwang.
“Alasan,” cibir Budenya. “Agung itu menyesal karena dia tidak mendapatkan wanita perawan,” ujar Budenya.
Menurut Giwang tidak ada yang bisa di jelaskan kepada Budenya pastinya wanita paruh baya itu tetap berpikiran jelek tentangnya. Dengan tergesa-gesa Giwang membeli bahan kue dan langsung pergi meninggalkan para Ibu-ibu yang suka bergosip.
“Kuat Giwang,” gumamnya dan berusaha untuk sabar dengan semua ucapan para Ibu-ibu.
Di jalan dia bertemu dengan Siti.
“Giwang!” teriak Siti sembari menekan klakson motornya. Siti mendekati temannya.
“Mas Paijo dan Mas Agung sudah sampai kota tadi malam,” ujar Siti.
“Oh ya,” Giwang senang.
“Mas Agung sudah mengabari kamu?” tanya temannya.
“Belum, aku tidak punya ponsel seperti kamu, mungkin Mas Agung akan mengabari lewat surat,” sahut temannya.
“Oh mungkin juga, ya sudah nanti kalau Mas Agung balik minta ponsel, jadi kalian bisa berkomunikasi setiap hari,” ujar temannya dan segera pergi meninggalkan Giwang.
***
Keesokan harinya di kota.
Agung bersama Paijo menemui pria paruh baya yang bekerja sebagai HRD.
“Pagi Pak, ini teman saya,” ujar Paijo.
“Pagi, silakan duduk,” ujar pria itu dan menyuruh Paijo untuk kembali bekerja. Setelah melakukan wawancara pria paruh baya itu langsung menerima Agung.
“Kamu di terima di sini sebagai sopir, tugas kamu hanya menjemput dan mengantar staf yang bekerja di sini,” ujar pria paruh baya.
“Terima kasih Pak, tapi saya belum tau jalan di sini,” ujarnya jujur.
“Tenang, sopir yang lama akan menemani kamu selama seminggu sebelum keluar,” jelas pria itu.
Agung menerima pekerjaan itu dengan gaji yang di tawarkan sebesar empat juta dan tentu membuatnya senang.
Bersambung...
Bantu vote ya.
Ig anita_rachman83
🌷🌷
Plagiarisme melanggar Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
Kabarin istrimu dulu mas Agung
2024-05-27
0
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Semoga kerjaan Agung lancar yaa
2022-04-01
0
RedLips 💋
Jgn aneh2 gung
2022-01-10
0